Apakah kalian pencari kebenaran?
Mungkin, karena kebenaran seharusnya tidak perlu dicari. Tapi aku tetap salut dengan para pencari kebenaran, dan bahkan lebih salut dengan orang-orang yang telah menemukannya.
Mengapa? Sebab tidak banyak orang yang bersedia mencari kebenaran, kebanyakan dari manusia hanya menempuh jalan yang telah tersedia baginya. Jalan yang diikuti oleh lingkungan, orang tua… jalan yang dia tahu, tanpa peduli apakah kebenaran memang berada di sana atau tidak. Memilih tanpa kesadaran, hanya karena tidak memiliki keberanian dan rasa ingin tahu. Yang sayangnya kebanyakan manusia memang memilih jalannya dengan cara seperti itu
Aku belajar dari seorang teman luar biasa cara berbeda tentang hidup. Seorang teman yang mencari kebenaran, hingga ia kembali ke titik yang semula dilewatinya. Tapi yang tidak disadari banyak orang, ia berubah, karena kini ia menyelam. Tidak lagi tenggelam.
###
“Aku pernah mencari kebenaran,” demikian Ary mengawali kisahnya.
“Bukan dengan cara yang biasa, tapi dengan cara yang luar biasa.”
“Apa… “ aku hendak bertanya. Tapi langsung merasa itu pertanyaan konyol,. Dia berjilbab, agamanya tidak mungkin lain lagi.
Ary melanjutkan. “Ketika remaja, aku pernah mengalami masa-masa sulit. Saat-saat aku mulai mencari tuhan dan mempertanyakan kembali agama dan eksistensiku;siapa aku, darimana aku berasal, untuk apa aku ada. Aku berjilbab sejak SD, tapi tidak banyak yang kuketahui ttng agamaku. Aku tahu shalat, aku tahu mengaji, tapi lebih dari itu, aku tidak tahu apa-apa.”
Ary berhenti sejenak.”Hingga aku memutuskan untuk mencari kebenaran. Dengan cara yang sederhana, aku memulai petualanganku. Hanya dari literature, aku menemukan bahwa mencari kebenaran itu berarti memilih di antara banyak jalan. Untuk itu, aku memutuskan meninggalkan pengajian yang telah kuikuti dari lama. Kupikir untuk mencari kebenaran kita harus berada di daerah netral.”
Ary menghitung,”Aku mulai mempertanyakan paham yang kuanut, agama yang kuanut. Hingga aku hampir melirik yang lain. Katolik awalnya terlihat sebagai suatu pilihan. Hingga suatu malam aku terbangun, tenggelam di kegelapan… dan sadar bahwa aku tidak akan bisa hidup tanpa jilbabku, shalat, dll. Aku tahu; aku tidak akan pergi ketempat lain lagi, Islam adalah rumahku.”
“Tapi aku masih gelisah. Bahkan dalam Islam aku melihat jalur yang begitu banyak. Dan jalur kebenaran ada diantaranya.aku mencoba menekuni, berpikir asal tidak mengorbankan agama, semuanya boleh. Aku melirik Islam liberal, sejenak. Lalu segera berpaling. Mual. Aku tidak suka pada kebebasan yang tidak bertanggungjawab. Entahlah. Lalu aku mulai gandrung pada sosialisme, lalu belajar filsafat. Membaca Niestzhe, bahkan Karl Marx. Tapi semua itu tidak membuatku merasa lebih baik. Aku tidak mendapatkan teman berdiskusi yang sesuai, hingga paham yang diam2 mulai membuatku tertarik ini hanya melayang-layang di benakku, tidak memiliki tempat untuk berlabuh.”
“di saat itu situasi makin buruk. Filsafat mulai membuatku tertekan. Aku mulai mempertanyakan eksistensi Tuhan, itu momen terendah dalam hidupku. Aku merasa tidak memilikiNya, bahwa Dia tidak peduli pada keberadaanku, dan bahkan aku bertanya-tanya apa Dia pernah peduli pada hambaNya. Dan bahkan suatu pertanyaan konyol mulai timbul tenggelam di benakku: apakah Dia ada?”
“Saat itu momen paling buruk dalam hidupku.” Ary menghela nafas.”aku setengah atheis. Atau bahkan sudah atheis. Aku shalat, aku membaca Al-Qur’an, tapi semua hanya ritual. Aku tidak tahu harus melakukan apa untuk Tuhan yang tidak kupercaya. Hingga aku berkali-kali berpikir untuk bunuh diri. Berpikir untuk menemuiNya langsung hingga semua keyakinanku kembali.”
Ary melanjutkan, lebih tenang.”Saat itu aku kehilangan semua pegangan. Kehilangan semua teman-temanku. Aku tenggelam dalam semacam depresi, buku diaryku masa itu kusebut Sadnessnest. Sebab memang hanya menampung catatan depresiku. Semakin lama, keadaan semakin tidak tertahankan. Sehingga aku memutuskan untuk tidak memikirkannya dan fokus pada pendidikanku.”
Ary tercenung.”saat itu seorang teman baikku datang. Dia menawariku sesuatu jamaah. Semacam aliran, yang berbeda dengan pengajian yang sempat kuikuti dulu. Aku tertarik, tapi hanya sebentar. Di aliran itu, kebanyakan pengikutnya memiliki perilaku yang buruk. Mereka senang menghina aliran lain bahkan mengkafirkan. Menyakiti sesama. Buat apa? Buat apa hidup dengan simbol-simbol agama belaka lalu menyakiti sesama manusia? Bukan seperti itu sikap seorang muslim yang baik, pikirku saat itu. Lalu aku hengkang dan tidak pernah sekalipun datang lagi.”
“kejadian sesaat itu membuat depresiku kian buruk. Aku kembali merasa Islam telah menjadi agama yang buruk. Tidak ada lagi orang-orang yang memegang kebenaran di dalamnya. Semua hanya bertengkar dengan sesama. Mempertanyakan hal-hal remeh dan meninggalkan substansi, semua membuatku nyaris kehilangan kepercayaan. Tidak ada ulama yang dapat dijadikan panutan. Semuanya hanya mencari keuntungan semata. Aku putus asa. Aku bahkan hampir menanggalkan jilbabku.”
Ary terdiam, agak lama.”Suatu hari, aku memutuskan mengunjungi pengajian yang telah lama kutinggalkan. Bukan dengan aliran itu, tapi dengan kelompok pengajianku sendiri. Aku hanya merasa lelah dan berharap bisa mendengar sesuatu. Aku tidak berharap atau berpikir apa-apa. Saat itu aku hanya duduk, diam. Hingga saat aku ditanyai tentang kabarku, aku mulai bercerita. Dan menangis.”
Mata Ary agak berkaca, lalu ia kembali tersenyum.”Saat itu Murabbiku memelukku, dan dengan lembut, dia menyuruhku untuk kembali menekuni semua amalan wajib dan sunnah yang telah lama kutinggalkan, dan meminta jawaban dari semua keraguanku pada Allah.”
“Tiba-tiba, semua terlihat mudah. Meski tertatih, aku kembali shalat wajib dan sunnah secara rutin. Aku bertanya banyak hal padaNya. Saat itu pertanyaanku sangat konyol. Aku berdoa seperti anak kecil yang meminta permen. Aku merengek memintaNya menjawab berbagai pertanyaanku. Aku memintaNya mempertahankan diriku agar tidak jatuh. Aku manja, mengemis, merengek, memaksa di hadapanNya.”
“Semua terasa mudah. Seketika itu juga. Aku mulai mampu melihat. Seolah-olah kemarin seseorang meletakkan sumbatan di telinga dan penutup di mataku. Aku mulai melihat banyak hal tentang hidup yang sebenarnya tidak kulihat. Tentang filsafat, sosialisme yang dulu pernah kupelajari. Bahkan aku mulai melihat dan mendengar banyak tentang islam, agama yang sebenarnya kuanut dari dulu tapi tak pernah kupahami.”
“Seolah terbangun dari tidur yang panjang. Pertanyaan tentang Siapa Aku? Dari mana aku berasal? Semuanya terjawab dengan sangat mudah. Setelah itu adalah hari-hari perjuangan. Aku tetap berjuang dengan shalat, membaca Al-Qur’an, shalat malam… dan di titik itulah: kehidupanku kembali.”
Ary tersenyum kembali.”Rasanya tidak percaya begitu mudahnya kehidupanku kembali. Semua masa-masa depresi seolah tidak pernah ada. Bahkan saat aku membaca diary Sadnessnest ku, aku merasa tidak percaya ada manusia yang mampu hidup dengan begitu banyak masalah, atau bahkan manusia itu ada. Padahal manusia itu ada di sini, tepat membaca buku harian itu.”
Sekarang aku masih belajar. Belajar kembali tentang agama, bermacam-macam jamaah, dan terutama, belajar hidup. Belajar tentang kehidupan dan manusia. Tapi semua kujalani tidak lagid engan perasaan tersiksa seperti dulu. Juga bukan lagi untuk mencari kebenaran. Sebab aku telah menemukannya. Aku ada di sini, memilih jalan ini. Bukan dipilihkan untukku, tapi aku memilihnya dengan kesadaranku, setelah aku mengetahui jalan lain. Meski jalan itu tetap jalan yang sama dengan yang kupilih pertama kali, tapi aku tidak menyesali waktu yang kuhabiskan untuk menemukan jalan itu. Karena dengan belajar, aku tidak lagi tenggelam. Aku menyelam. Aku belajar agar tetap menyelam. Mencari makna, hikmah, dan mutiara dalam hidup.”
Menyelam, tidak tenggelam.
Aku bahagia, jawab Ary saat tersenyum. "Di saat aku bisa melihat lagi dengan mata batinku, aku juga menyadari bahwa Dia tidak pernah meninggalkanku. Dia selalu menjagaku ketika aku mempelajari agama dan filsafat dulu. Dia sengaja tidak mempertemukanku dengan siapapun yang dapat kuajak berdiskusi, sebab Dia tidak ingin aku terperosok. Dia mengeluarkanku dari lubang kotoran sosialisme dan filsafat. Dia juga menunjukkan sisi buruk aliran itu sebelum aku terjatuh terlalu dalam. Dia selalu melindungiku, dan menolongku dalam keadaan sulit. Kupikir, Dia tidak ingin aku lemah, Dia ingin aku menjadi hambaNya yang tangguh. Karena itu Allah mendatangkan segala kesulitan ini untukku. Untuk membuatku kuat.”
"Satu lagi yang kupelajari adalah bahwa jalan menuju kebenaran itu berliku. Tapi memutuskan untuk menemukan kebenaran lebih sulit dari sekedar mencarinya. Ada banyak orang memutuskan untuk mencari kebenaran, tapi enggan untuk menemukannya. Menolak menggenggamnya saat kebenaran sudah di depan mata. Hanya terus mencarinya hingga hidupnya berakhir. Padahal kebenaran itu tepat di depannya. Betapa bodohnya. ”
“Aku memilih kebenaran, jalan ini dengan kesadaranku. Bukan karena ini satu-satunya jalan yang kuketahui atau jalan yang paling mudah kutempuh… aku memilihnya dengan kesadaran penuh, setelah terperangkap berkali-kali di jalan yang salah. “
lalu Ary mengulangi,”Menyelam, bukan tenggelam.”
###
Selamat buat Ary, yang tidak hanya berani mencari kebenaran, tapi juga berani menemukannya.