Kamis, 25 Desember 2008

Love will set you free...

Love will set you free...

Benarkah?

Lalu apa yang dapat dikatakan, saat cinta mengukung dengan sedekimian hebatnya, hingga terasa menyakiti?

Ketika cinta berpaling,maka siapakah yang paling merasa sakit?

Tentunya yang mencintai, dan bukannya yang dicintai.

Maka dimanakah: Love will set you free?

Tidak ada perasaan merdeka yang benar-benar dalam suatu cinta. Selalu ada rasa cemburu, resah, kebosanan,dan curiga.

Love will set you free?

Free?

Mungkin, hanya ada satu cinta yang akan selalu membebaskan. Dan itulah cinta yang benar2 hakiki.  Cinta pada Illahi Rabbi. Yang akan membebaskan. Dan selalu indah, bahkan sebelum waktunya benar-benar indah.

Love will set you free...

Believe?

Insya Allah...

Sabtu, 20 Desember 2008

Harun Yahya Akan Dipenjara???

Di tengah hari yang indah dalam aktivitas yang masih sangat padat, saya mendapatkan sebuah berita aneh ketika membuka email.

Adnan Oktar alias Harun Yahya terancam dipenjara tiga tahun! Dalam artikel itu, disebutkan bahwa karya-karya harun yahya dianggap menyebarkan kebencian dan fitnah.

Membaca artikel itu, saya berpikir,Benar atau sekedar hoax ya?

Memang Harun Yahya telah berkali-kali dijebak dalam makar kaum kuffar. beliau pernah masuk penjara karena sejumlah besar kokain ditemukan di rumahnya. Beliau juga pernah dijebloskan ke rumah sakit jiwa. Begitu banyak makar yang telah dilaluinya, dan Alhamdulillah Allah menyelamatkannya hingga sekarang.

Dan ini, apalagi?

Rabu, 03 Desember 2008

Sentuhlah Dia Tepat di Hatinya

Seorang dosenku pernah berkata,"Bukan hi-tech masalah kita. Tapi Hi-Touch."

Touch. Sentuhan.

Ya,semakin lama,saat jaman bergeser ke arah kemajuan,

semakin canggih teknologi kita,

maka ada yang semakin hilang.

Perhatian yang semakin berkurang...

Dan sentuhan pada manusia...

Dosen ini bercerita tentang suatu kasus di rumah sakit. Saat ini teknologi dalam bidang pengobatan tengah berkembang dengan pesatnya, dan banyak peralatan medis yang dapat dioperasikan otomatis. Dengan satu tombol, data tentang tekanan darah pasien, denyut nadi,suhu tubuh dan sebagainya dapat terukur. Cepat dan akurat. Dokter tidak lagi harus menjelajahi satu lengan pasien untuk mencari denyut nadi. Tidak perlu lagi meraba dahi pasien untuk merasakan suhu tubuh. Semua dapat dilakukan dengan satu tombol.

ya, hanya dengan satu tombol.

Tapi apa yang terjadi?

Suatu hari alat pengukur tekanan darah di rumah sakit itu rusak, dan dokter ini tidak diberitahu. Dia datang pagi-pagi dan langsung dihadapkan dengan pasien. Sedikit menekan tombol, dia telah mendapatkan data tekanan darah, denyut nadi,dll dari si pasien. Semua terlihat normal. 

Hanya beberapa waktu berselang, pasien tersebut meninggal dunia. Dan sang dokter baru diberitahu bahwa alat tersebut rusak setelahnya.

See?

Dalam dunia kesehatan, masalah tekanan darah adalah suatu masalah yang memilki urgensi sangat tinggi. Tekanan darah yang tidak terkendali, merupakan suatu gejala gangguan sistem kardiovaskular (jantung-pembuluh darah). bicara tentang jantung dan pembuluh darah, maka itu adalah pekerjaan kedaruratan dimana nyawa manusia dipertaruhkan. Ketepatan yang dibutuhkan menyangkut menit. Dalam 4 menit jantung berhenti, kematian sel-sel otak (biologis) terjadi, pasien lewat. Dalam 4 menit atau maksimal 6 menit, sebuah keluarga dapat kehilangan orang-orang yang dia cintai.

Mungkin sedikit sentuhan bisa menyelesaikan segalanya. Tanpa bermaksud berandai-andai, jika si dokter ini sempat sedikit saja meraba pergelangan tangan pasien ini, dia akan tahu bahwa denyut nadinya abnormal. Tindakan kedaruratan dapat segera dilakukan dan pasien ini akan dapat melewati krisis. Tapi ia tidak melakukannya. Dan ini salah.

Dan berapa banyak sentuhan dalam hidup yang dapat menyelamatkan nyawa seseorang?

Bahkan yang bukan dokter pun dapat melakukannya.

Dalam insidensi kasus bunuh diri di kota-kota besar, sebagian orang yang melakukannya adalah orang-orang yang kesepian. Bagaimana seseorang dapat merasa sepi?

Saat hidupnya sepi dari sentuhan, bahkan sentuhan verbal.

Saya ingat sebuah kisah di Chicken Soup for Teen Soul,

Seorang siswi SMU yang tengah mengalami depresi hebat memutuskan untuk bunuh diri. Di malam tahun baru, di saat kedua orang tuanya keluar rumah untuk menghadiri sebuah acara, dia memutuskan bunuh diri dengan cara terjun dari jembatan.

Nah, dia keluar rumah dengan hati hancur. Sebelum mati, ia ingin meninggalkan surat untuk orang tuanya. Maka ia membuka kotak surat.

Di dalamnya ada beberapa surat, dan salah satu surat itu ditujukan untuknya.

Jantungnya berdentang-dentang seperti bunyi bel raksasa. Seumur hidup dia tidak punya teman, dan tidak ada yang bicara dengan tulus padanya, apalagi menulis surat.

Isi suratnya sederhana: tawaran untuk berteman.

Dan dia masuk ke rumahnya. Hari itu, ia memutuskan untuk tetap hidup.

See again?

Ada sentuhan verbal di sana. Sentuhan yang membawa "kehidupan" bagi manusia lain. Dan yang bukan dokter pun dapat melakukannya.

Siapa saja dapat melakukannya.

Jadi, sentuhlah orang-orang yang ada di dekatmu. Karena satu sentuhan dapat membwakan makna yang begitu besar dalam hidup.

Selasa, 02 Desember 2008

Bukan Sekedar Mencari Jodoh

Bukan salah saya, jika saya selalu saja bertemu dengan orang-orang yang mencari jodohnya di dunia maya. Seperti seseorang teman di YM yang terpaksa saya offline kan untuk selamanya. 

sebenarnya bukan karena dia asyik bicara tentang nikah aja sih, tapi karena dalam pembicaraan kami yang terasa sangat mendzalimi (soalnya saya hanya boleh dengar, gak boleh ikutan komentar ataupun mengganti topik) dan berdurasi nyaris 2 jam itu, dia memaksa saya menerima semua ide2nya.

Saya: Tapi kan.. (pertama)

Teman: kamu kok gitu sih? (kayak lagu.hehe) masa kamu mikir gitu

Saya: bukan gitu, tapi...(masih sabar)

Teman: eh,pikiran kamu kok sempit banget.

Saya:(mulai naik pitam)saya kan berhak ngasih pendapat juga (udah di perbatasan kesabaran)

Teman: emang susah kalau cewek pikiran sempit

AAargh... Astaghfirullah... Kesaaaal! kesal banget. Trus ngobrolnya gak boleh diganti topik. harus soal nikah terus. Sampai saya tanya,

Saya: kamu kok suka banget ngobrol soal nikah?

Teman: kan sunnah rasul

Saya: tapi kan gak harus mikirin itu terus 24 jam?

Teman: tapi itu kan urgen banget

Saya: iya, tapi ada hal2 penting lain yang bisa diomongin kan

Teman: emang kamu mau bilang masalah nikah ini gak penting?

Gubrak dot com deh. Plis...masalah nikah emang penting. Urgen juga. Umat ini perlu regenerasi, penerus estafet dakwah yang berkelanjutan. Tapi,menjadikan nikah sebagai satu2nya topik yang pantas dan harus dibicarakan, sehingga mengesampingkan hal2 lain yang tak kalah pentingnya (seperti perasaan lawan bicara yang emosinya udah naik ke ubun2), apa tidak menunjukkan kemandekan pikiran?

Hufff...Capek banget

trus pas saya iseng tanya

Saya: emang gimana cara cari jodoh yang tepat

Teman: ya seperti ini. Ngobrol, trus kenalan (kebalik ya?) setelah itu difollow up

Jadi...dari tadi dia mau ngobrol sama saya untuk evaluasi calon istri?

TIDAAAAK!

Langsung saya permisi, dan say goodbye forever.

Ya Allah....itu momen paling mengherankan dan ngeselin dalam hidup saya.

Yang menjadi bahan pemikiran setelah itu, berapa banyak orang seperti Teman saya yang baik itu? Mungkin dia bukanlah orang pertama. Mungkin dia juga tidak sendiri. Ada banyak orang yang ikhtiar mencari jodoh dari depan komputer mereka. Salahkah itu? Entahlah. Mungkin karena keyakinan saya tentang asal usul jodoh masih sangat idealis sekali, jadi saya merasa tidak berhak menghakimi Teman saya itu,dan orang2 yang seperti dia. Meski agak gerah juga. Karena tujuan saya menjelajahi dunia maya lebih ke petualangan mencari ilmu, hikmah, dan ukhuwah yang berserakan, kehadiran orang2 seperti Teman saya yang baik itu menjadi batu kerikil yang harus diwaspadai (maaf ya kalau agak kasar).

Dan dimanapun ada adab dalam melakukan segala sesuatu.

Karena di dunia maya seperti ini pun, hukum Allah tetap berlaku kan? Meski di YM kita dapat ngobrol secara privat dengan siapapun, dengan gaya bahasa separah apapun, dan pikiran bahwa tdak ada yang melihat, hukum Allah masih tetap berlaku. Dia melihat setiap kata yang kita ketikkan di layar, tiap foto atau gambar yang kita privatekan di FS, dan semuanya...

JAdi, jangan merasa Aman dari perhitunganNya!

Wallahua'lam

Astaghfirullah..

Jumat, 28 November 2008

Akan Pergi bersama Hujan

Hujan, rasa apakah yang larut dalam tiap nadanya?

Keindahan... 

Sedikit sunyi, mungkin juga hening, tapi satu kata mewakili segalanya

Bening...

Adakah rasa besinya darah

Dan asinnya air laut yang menghitam di ujung kota, saat bening menerpa?

Juga suara senapan yang mengiringi tidur anak-anak di masa silam, mungkin di masa depan belum sirna

Saat-saat indah itu mengatakan bahwa Tuhan belum tidur di bumi Aceh

Juga dimanapun ada udara bergerak

Di langit, di bumi, tak terbatas

Aku tahu bahwa Ia mendengar semua jeritan dan cabikan luka

Dan Ia, akan selalu hidup dalam tiap hujan yang berlalu

*Puisi ini dibuat untuk mengenang (hampir) 4 tahun tsunami, dan 3 tahun perjanjian damai.

Aceh telah (hampir) damai, moga untuk selamanya. 

Kamis, 27 November 2008

Berpikir tentang Monyet...Hmm...

Kenapa aku yang serius ini tiba2 bisa berpikir tentang monyet?

tidak lain dan tidak bukan karena sebuah chat dengan teman sekampung tentang krisis ekonomi dunia yang dianalogikan dengan memakai monyet.

Katakanlah dialognya seperti ini:

mujahidah_aqsa: o ya, bang.krisis ekonomi yang terjadi di dunia saat ini karena apa sih? 
mujahidah_aqsa: maaf ganti topik, tiba2 ingat lagi
ngomong sama master ekonomi:d
yuri_randa: fyuuuh..:D
yuri_randa: abang jelasin ngerti nggak?
mujahidah_aqsa: pake bahasa kedokteran bisa gak bang?:D
yuri_randa: bubbling effect
yuri_randa: tau?:p
mujahidah_aqsa: maksdnya?
yuri_randa: apa ku bilang..:))
mujahidah_aqsa: pake bahasa sederhana aja bang
mujahidah_aqsa: kayak bicara sama anak TK gitu
mujahidah_aqsa: :P
yuri_randa: kita pake bahasa orang aceh..
mujahidah_aqsa: ok
yuri_randa: ada orang yang suka nangkap monyet..
yuri_randa: nah..abang datang untuk beli monyet dikampung itu..
yuri_randa: abang bilang..klo satu monyet harganya 10 rupiah..
yuri_randa: terus mereka cari monyet itu dan jual ke abang..
yuri_randa: nggak lama kemudian abang bilang lagi klo abang mau beli monyet itu bisa laku 30 rupiah..dan bang jual tuh monyet..
yuri_randa: nggak lama..
yuri_randa: monyet itu sampai pada harga 100rupiah..
yuri_randa: terus tiba2 abang kabur..
yuri_randa: sedangkan monyet yang udah ditangkap itu bertumpuk..dan jadi masalah..
yuri_randa: lalu ada sekretaris abang..
yuri_randa: dia bilang klo dia mau beli monyet itu dengan harga 5 rupiah..
yuri_randa: lalu apa yang seharusnya kamu lakukan?:D
mujahidah_aqsa: jual aja semua monyetnya dengan harga 5 rupiah,daripada gak terjual sama sekali
yuri_randa: nah akhirnya siapa yang rugi?
yuri_randa: sedangkan monyet itu untuk apa dek?
mujahidah_aqsa: orang yang nangkap tuh monyet
yuri_randa: apa ada yang berubah dengan monyet?
mujahidah_aqsa: enggak, 
yuri_randa: itulah yang terjadi dek..
yuri_randa: jadi sistim kapitalis menghancurkan semuanya.
yuri_randa: karena semuanya hanya sebuah issue..
yuri_randa: padahal semuanya masih dalam virtual..
mujahidah_aqsa: jadi monyet itu adalah uang?
yuri_randa: sehingga semuanya hanya efek pengembungan
yuri_randa: bukan gitu pointnya..
yuri_randa: tapi mereka menjual barang yang harganya cuma 10 lalu mengisukannya akan ada pembeli dengan harga 100 rupiah..
yuri_randa: sedangkan pada dasarnya itu hanyalah sebuah issue yang hanya bertujuan agar barang itu laku cepat..
yuri_randa: walaupun pada dasarnya barang itu tidak akn naik sama sekali..


nah, mujahidah_aqsa itu ade dan yudi_randa itu si pembeli monyet eh, bukan...maksudnya pakar ekonomi yang mengerti tentang tata cara penjualan monyet.hehehe... enggak ding

Nah, saudara2 mengerti enggak dialog ini? soalnya saya belum ngerti!

Ada yang berbaik hati menjelaskan lagi tanpa menyebut-nyebut monyet?

maklum, hari ini saya memang telmi.

Senin, 27 Oktober 2008

Sombongnya Manusia2 Medis

Alhamdulillah...
setelah sekian lama vakum dari nge blog, akhirnya hari ini aku bisa kembali

Kembali berbagi, semuanya...
Dan untuk hari ini, ada sebuah cerita tentang manusia
dengan sebuah profesi
yang membuatnya seolah-olah dapat menguasai nyawa manusia:

Dokter
dan para petugas medis di sekitarnya

Fragmen 1:

"Langsung aja naik ke tempat tidur!"
Kami tercekat melihatnya. Bapak itu, pasien yang baru saja diperintah oleh si petugas juga kelihatan bingung. Ia hanya menatap mesin yang berbentuk seperti tempat tidur itu dengan tak yakin.

"Gimana naiknya?" ia bertanya lemah, tapi sang petugas tidak memperdulikannya. ia sibuk dengan sejumlah catatan. Kami, para mahasiswa FK yang diberi tugas untuk mengunjungi bagian radiologi hanya dapat tertegun.

"Kenapa? naik pak." sahut petugas itu dengan tajam. Kali ini bapak itu naik dengan taku2, mungkin juga bingung. dengan tak sabar, petugas itu mengarahkan posisi bapak yang sakit itu.

Lagi2, kami hanya terdiam

...Bersambung^^

Kamis, 02 Oktober 2008

Ikhwan Dilarang Baca!!!

Kenapa harus dengan ikhwan? Lelaki biasa saja sudah cukup! Kata seorang saudariku, setelah kami melalui sesi dialog yang cukup panjang.

Aku terdiam. Sungguh, sulit untuk menolak semua kata-katanya.

Kali ini kami berdiskusi tentang munakahat atau pernikahan. Jujur, dalam usia menjelang 20 tahun, entah mengapa topik ini sering sekali muncul. Mungkin karena banyak teman-teman seangkatan yang telah lebih dulu menggenapkan separuh dien. Atau sebab-sebab yang lain.
Entahlah.

Dialog ini sebenarnya bukan tentang pernikahan. Awalnya kami hanya membahas dinamika dakwah kampus yang memang cenderung centang prenang, lalu berlanjut ke masalah ghirah dakwah yang cenderung menyurut,hingga ke ikhwan dan akhwat dengan ghirah keislaman yang tetap tinggi di tengah badai, lalu dan lalu, ketika dan ketika...

"Tapi ikhwan pun, juga manusia." celutuk saudariku ini.
"Hmm?"
"Iya, bahkan lebih dari manusia."
Aku terdiam, menebak-nebak arah pembicaraan saudariku satu ini. Sepertinya ia pingin ngomongin tentang makhluk langka yang bicaranya suka nunduk-nunduk, berjenggot, dan selalu kelihatan jenggotnya di acara-acara dakwah alias ikhwan, nih. hmm...

Selanjutnya, ia mulai bercerita tentang pengalamannya dan situasi yang telah ia lihat di lembaga dakwah kampusnya di salah satu PTN yang paling ngetop di Indonesia. Tentang kecenderungan ikhwan-ikhwan yang masuk golongan garis keras, untuk selanjutnya menikah hanya dengan akhwat-akhwat yang the best.

"The best disini semuanya. Cantik, sholehah, pinter. Bahkan kadang fisik mendapat prioritas utama di atas semuanya."
Tapi, bisik hatiku. Bukankah Rasulullah sendiri telah...?

"Memang," jawabnya cepat. Seolah bisa membaca pikiranku."Rasulullah mengisyaratkan kecenderungan laki-laki adalah pada 4 hal itu. Tapi, bukankah poin terakhir yang paling digaris bawahi oleh Rasulullah, yaitu agamanya?"

Lebih lanjut, ia mengatakan dengan nada keras. Bahwa para ikhwan itu, yang notebene pengetahuan agamanya (harusnya) lebih baik dari para 'laki-laki biasa' malah memilih calon istrinya berdasarkan kiteria fisik yang utama. Seolah-olah, diantara banyak akhwat yang tersedia, ikhwan itu menderetkannya dari yang tercantik hingga yang tidak, lalu memilih yang tercantik. bukan berdasarkan tingkat keshalehan dan ghirah keislamannya.

"Seolah-olah semua akhwat itu sama tingkatannya. Yang membuatnya lebih unggul hanya kecantikannya. Bahkan banyak akhwat yang hatinya terlanjur patah duluan saat mencintai seorang ikhwan, karena sadar bahwa ia tidaklah secantik bidadari."

Aku merenung saat mendengarnya. Memang banyak sekali sebelum ini, kudengar kisah tentang para akhwat-akhwat dengan semangat jihad yang tinggi, lalu menua dalam penantiannya menunggu jodoh karena fisiknya sedang-sedang saja. Sedangkan akhwat yang biasa-biasa saja dari segi pemahaman keislaman, semangat jihad, dsb, namun memiliki fisik ala putri salju, lebih mudah mendapatkan jodoh!

Masya Allah...

Aku mencoba berhusnudzon terhadap ikhwan-ikhwan itu.
"Mungkin," kataku saat itu."Bukan maksud mereka mendewakan fisik di atas segalanya. Hanya sebuah kewajaran, jika seorang laki-laki (siapa saja) mendambakan istri cantik penyejuk mata. Apalagi seorang ikhwan, yang dengan aktivitas dakwahnya yang berat mendambakan seorang bidadari saat pulang ke rumahnya."

Saudariku ini terdiam. Tapi lantas ia meneruskan dengan sebuah kisah, tentang seorang cowok playboy yang keren, kaya, pintar dan terlihat memiliki segalanya dari dunia.

"Pada akhirnya, ia memilih menikahi seorang perempuan yang shalehah, yang sangat sederhana dan berwajah "biasa saja". Ia ingin seorang yang bisa membimbingnya lebih dekat dengan Allah, dan mendambakan sebuah rumah tangga yang dihiasi keikhlasan dan pembelajaran. Ia ingin istri yang bisa mendampinginya untuk belajar bersama tentang hidup dan kemuliaan."

Lagi-lagi aku terdiam. Ingatanku melayang pada sebuah buku yang pernah kubaca (afwan, lupa judulnya). Dalam salah satu paragraf, disinggung mengenai keberadaan akhwat-akhwat sepuh, yaitu para aktivis dakwah yang Allah belum memperkenankan jodoh untuk mereka hingga di usia senja. kesabaran mereka, husnudzan mereka terhadap para ikhwan...

"Seharusnya, para ikhwan bisa lebih dari para laki-laki biasa itu." Ucap saudariku memutus lamunanku.

Yah, tapi bukankah ikhwan juga laki-laki biasa?
Mereka dapat khilaf, dapat sombong, dapat tersilaukan dengan dunia
Mereka bukan malaikat...

Dan pada akhirnya, sebuah kesimpulan. Seperti yang telah diucapkan saudariku yang cantik di awal kisah ini.

Ah, aku merasa tidak pantas menjudge ikhwan-ikhwan itu.
Sungguh! Aku sadar mereka juga manusia. Penuh khilaf.
Dan lebih tidak pantas lagi untuk bersuudzahan pada mereka
Mungkin mereka bukan menikah karena kecantikan, tapi Allah lah yang berkenan memberikan bidadari di dunia karena keikhlasan mereka dalam dakwah

Mungkin...
Mungkin...
Terlalu banyak mungkin...

"Ya Allah, jauhkanlah kami dari prasangka terhadap saudara kami..."

Sabtu, 27 September 2008

Munafiknya seorang Muslim

Muslim garis keras?

Entahlah, baru beberapa hari ini kata itu mampir ke telingaku. terasa sebagai tema yang menarik untuk diperbincangkan.
"Terus kenapa?" tanyaku.

"Maksudnya: munafik." jawab temanku itu kalem.

Aahh???
Masya Allah...

Kok bisa gitu?
kejarku.

Percakapan berlanjut. Temanku lantas menceritakan tentang sesosok ikhwan yang begitu tinggi ghirah keislamannya, lalu lantas menjadi begitu munafik saat mengambil sikap antara amanah yang telah ia emban dan terima dengan beasiswa untuk kuliah ke luar negeri. hingga akhirnya ia memilih yang kedua dan mengkhianati amanah teman2 nya. Meski nama ikhwan tersebut sengaja tidak disebutkan oleh temanku ini, hatiku jeri juga mendengarnya.

Memang, temanku ini termasuk muslim yang moderat. Dalam arti, ia bukan seorang aktivis dakwah.meski begitu, ia termasuk pro dakwah. hingga ucapannya itu cukup mengagetkan juga. meski aku tidak setuju dengan pelabelannya yang terkesan agak semena2. Tapi ucapannya itu patut menimbulkan perenungan.

Apakah lantas karena sikap seorang ikhwan antah berantah itu maka seorang muslim yang begitu tinggi ghirah keislamannya hingga dilabeli cap garis keras harus lantas berlabel munafik?

Ahh... entahlah.

Sampai kapan cahaya islam harus selalu tertutup oleh bayang2 kelam penganutnya?
Sampai kapan islam dan muslim harus terpisahkan jaraknya?

Sungguh, tanpa bermaksud menghakimi ikhwan yang kata temanku tadi cukup terkenal sebagai aktivis dakwah garis keras yang selalu frontal dalam memojokkan kebatilan, apakah pantas meninggalkan dakwah demi keuntungan pribadi semata?

Think it!

Rabu, 03 September 2008

BUKU BUKA BUKU, Sampah Peradaban

Adakah keindahan saat hati tidak sejalan dengan otak?

Saat membaca aneka buku "margasatwa" seperti Saman, Larung... otak serasa begitu mendidih dengan aneka rasa nano-nano. Keliaran, jijik, sebel, muak, marah, dll menjadi satu. tumplek blek.

Masya Allah...

Sebenarnya bagi saya, buku adalah pencerah, pengusung peradaban umat. Buku bukan sekedar bacaan ringan saat otak dan otot sudah penat dengan pekerjaan sehari-hari. Buku punya makna yang lebih dari itu. Bahkan buku juga bukan sekedar pemuas fantasi saat masa pubertas dan post-nya terlewati.Jelas bukan! Buku tidak punya arti serendah itu. Yang punya makna serendah itu bukan buku. Hanya kertas bungkus pisang goreng yang dicetak di percetakan, cuma itu.

Karenanya, saya bangga dibilang kutu... eh, PREDATOR BUKU. BANGGA, BANGGAAAA!!!

Minggu, 20 Juli 2008

5 pespektif Manusia, Oleh tentor bahasa Inggris

Suatu hari, aku dan Ririn, teman kecilku duduk di suatu tempat.

"Perspektif itu, dibagi 5." tuturnya memulai kuliah. Dengan terpukau, aku duduk mendengarkan.

"Yang pertama Biological perspektif. Artinya tuh asumsi mengenai psikologi manusia dari segi metabolismenya sebagai makhluk hidup. Mulai dari hormon yang dikeluarkan, cara kerja saraf-saraf, dan lain-lain." 

aku masih bergeming mendengar penjelasan siswa lulusan Meulborne (benar gak ejaannya?) ini.

"Yang kedua Kognitif perspektif. Asumsinya adalah manusia memiliki memori. Dan Itu dimulai dari suatu stimulan, lalu dengan adanya attention, maka...bla bla bla."

Hemm... aku manggut-manggut. Paham nih ceritanya...

"Yang ketiga Learning perspektif."

"Maksudnya rin?" Kejarku sambil menanti ia meneguk jusnya.

"Ibaratnya tuh, kita itu terbentuk dari apa yang kita pelajari. suatu yang sudah kita pelajari dari lama, membentuk psikologis kita. Disini ada peran reward dalam pembentukan pola."

"Misalnya anjing. Jika dalam seminggu ia diberi makan setelah membunyikan bel, maka selanjutnya si anjing akan mengasosiasikan bel dengan makanan. akibatnya ia akan menunjukkan reaksi psikologis yang berhubungan dengan makanan saat mendengarkan bel. walaupun makanannya gak ada."

Ririn berhenti sejenak. Menggigit burgernya. Setelah menelan, ia melanjutkan,

"Berikutnya adalah humanistic perspektif."

"Manusia." Sambungku cepat.

"YAp, maksudnya adalah setiap manusia memiliki free will. alias tanpa alasan. Semua yang dilakukannya tidak punya alasan. Hanya pilihannya sendiri."

Aku manggut-manggut lagi sampai kepalaku pusing. Wah, hebatnya penjelasan temanku ini.

"Yang terakhir Freud. Hmm... apa ya istilahnya?"

"Psychoanalisys." Aku menyahut asal-asalan. Agak kaget saat ia mengiyakan.

"Benar. Hanya istilahnya gak tepat gitu sih. Yang jelas, ia mengatakan bahwa psikologi manusia itu dibentuk di alam bawah sadar."

"Seperti anak yang mencintai ibunya?" Aku teringat kutipan tulisan Freud yang pernah kubaca. Ririn mengangguk, "Ya, semacam itulah. Oedipus juga termasuk contohnya."

Setelah itu perbincangan berlangsung singkat, dan kami pulang.

@@@

Hari itu banyak yang kudapatkan. Begitu banyak malah hingga aku tidak begitu mampu mencerna semuanya. STM (short time memory), LTM (long time memory), memori indra... sedikit banyak dari itu yang kuingat.

Suatu stimulan akan menghasilkan STM, lalu jika terus menerus diencodingkan, maka memori itu akan menetap dalam jangka panjang (LTM)

Satu kalimat itu terngiang-ngian terus di kepalaku. Encoding itu, dijelaskan oleh ririn, dapat berupa gambar, suara, atau bahkan imajinasi.

Apakah itu menjelaskan kepadaku mengenai banyak hal?

Mungkin, yang jelas aku teringat untuk tidak bermain-main dengan perasaan, imajinasi, dan pandangan.

Suatu memori yang terus mengalami pengulangan, akan menjadi prioritas dan menyingkirkan hal-hal lain.

Ucapannya memantul-mantul dalam memori indraku.

Bagaimana jika hal sia-sia yang lebih banyak diencoding? Seperti keinginanku terhadap foto "seseorang" yang digagalkan Allah. Bagaimana jika itu tidak gagal?

I think...

Sabtu, 12 Juli 2008

Kiri Itu Seksi!!!

Dulu, di suatu waktu di masa lalu, aku pernah berpikir.

Juga bercita-cita. Juga bertanya.

Pertanyaan khas Karl Marx dan kawan-kawan, "Mengapa di dunia ini ada orang kaya dan orang miskin? mengapa orang kaya semakin kaya dan orang miskin semakin miskin?"

Semua terus saja kutanyakan, berulang-ulang. Dalam akalku yang dangkal, tiap orang mestinya punya takdir yang berdekatan. Terutama dalam masalah ekonomi. Ketidakadilan banyak menimpa orang yang tidak punya cukup uang. Sedang orang yang hidup dalam kelimpahan harta biasanya lebih terlindung.

Aku benci melihat deretan pengungsi Ethiopia, barisan buruh yang hanya dibayar 2ribu per hari dengan sistem kerja yang sangat berat, dan anak-anak busung lapar yang menyendok sisa-sisa sagu yang dicairkan. Bagiku dunia seharusnya tidak seperti itu.

Pertanyaan dan semua cita-citaku ini menuntunku lebih jauh pada satu titik: paham sosialis komunis.

Jika kuingat kembali masa itu, aku yang hanya seorang kutu buku pernah punya obsesi tinggi untuk merubah dunia. Obsesi yang hampir menjauhkanku dari akhirat dan menjadikanku murid Che Guavera: "Kiri itu Seksi!"

Well... setidaknya aku selamat.

Mau tahu ceritanya? Hmm... mungkin lain kali.

Rabu, 09 Juli 2008

Cuap-cuap Mahasiswa FK (Fakutas Kehidupan)

Assalamu'alaikum...

Alhamdulillah... setelah sekian lam (seminggu???) gak nulis di blog, akhirnya bisa welcome back juga. 

Bukan sibuk sih. cuma akhir2 ni aku ingin konsentrasi lebih ke OSCE, akhirnya setelah melalui kengerian dalam ruangan berkubang darah dan kamar urin, aku bisa menghirup nafas dengan lebih lega.

Yang mengiriskan, saat aku melihat dunia luar setelah sekian lama terpuruk dalam lilitan bandage, sarung tangan karet, alkohol, darah, dan buku-buku, daku melihat dunia ini tidak menjadi lebih baik.

Dunia masih saja dipenuhi kemiskinan, kezaliman, penggusuran, keangkuhan kapitalis... Lalu saat aku melihat "istana kapitalis" simpang lima banda aceh, berpadu kontras dengan tramtib yang sibuk mengusur warung-warung di pinggira jalan, aku teringat sebuah kalimat.

"Jika pemimpin telah zalim, maka keberkahan akan hilang dari negeri itu."

Aku merinding. menutup mata. Padahal hari ini bukan tanggal 26 Desember, tapi bumi Aceh seolah masih gempa.

Rabu, 02 Juli 2008

Islam belum KALAH!!!

Islam sudah kalah?
Belum.
Di Belanda misalnya, dengan adanya film Fitna, maka opini dunia menegaskan kebencian Belanda terhadap Islam.
Padahal, faktanya tidak demikian. Film itu dapat dikatakan tidak mewakili siapapun, kelompok manapun, dan ras apapun. Film itu hanya mewakili satu orang, yah katakanlah si pembuatnya.
Info lebih lanjut dapat dilihat di sini: http://www.dakwatuna.com/2008/di-eropa-al-quran-paling-laris/

Yah, setidaknya hal ini cukup melegakan. Kita belum kalah! yah, ditengah badai kepesimisan akan nasib Islam, mungkin terkadang kita lupa. Bahwa Islam bukan ciptaan manusia, dan bukan manusia yang menjaganya. Mungkin kita harus mengenang sesosok manusia dari tanah Arab, yang ketika Ka'bah akan diserang oleh puluhan gajah, ia malah apatis dan sibuk dengan harta kekayaannya sendiri. Saat ditanya, ia hanya menjawab, "Allah yang akan menjaganya..."

Islam tidak akan kalah, pasti...

Minggu, 15 Juni 2008

Matahari yang tidak MEnyengat

Adakah dosen yang benar-benar sosok pahlawan di Indonesia ini?

sedang sebagian besar dari mereka hanya pemburu proyek. peraup keuntungan.

sedikit sekali yang memiliki idealisme sebagai pendidik. Sebagian malah perusak moral murid-muridnya.
Aku termasuk beruntung. karena saat idealismeku terasa tercabik sedikit demi sedikit--sebagian dimakan oleh dosen-dosen kanibal itu--aku berjumpa dengan dosen impianku.

namanya Nurdin Said.
Rasanya ia adalah semua hal menyangkut sosok dosen idealis.
Ia tidak peduli dengan buku teks. Yang dipedulikannya hanya kami.

Pikiran kami yang tertutup... yang diinginkannya hanya membuat pikiran kami terbuka. Open Minded!

Aku teringat Andrea Hirata yang mengisahkan guru inspirasinya: bu Muslimah.
Aku teringat Abdurrahman Faiz: Guru Matahari

Tanpa ia sadari, Ia yang berdiri di depan kelas dengan sepatu ketsnya yang terkadang mengundang gosip dan cekikikan dari genk penggosip sudut, telah menyalakan lilin di hati dan pikiran kami.

Guruku, matahariku...

Selasa, 10 Juni 2008

Saat BAtu Tidak Enggan tuk berbicara


"Umat ini tidak akan pernah memiliki kemuliaan dan meraih kemenangan kecuali dengan Islam. Tanpa Islam tidak pernah ada kemenangan. Kita selamanya akan selalu berada dalam kemunduran sampai ada sekelompok orang dari umat ini yang siap menerima panji kepemmpinan yang berpegang teguh kepada Islam, baik sebagai aturan, prilaku, pergerakan, pengetahuan, maupun jihad. Inilah satu-satunya jalan. Pilih Allah atau binasa!"

Siapakah mujahid yang begitu garang dalam mengobarkan semangat dakwah dan jihad seperti itu?

Ialah sang syuhada. Syaikh Ahmad Yassin (semoga Allah merahmatinya).

Ijinkan saya bercerita sedikit tentang beliau. tidak ada mata yang tidak gerimis saat mengenangnya. Dengan fisiknya yang lemah, kakinya yang lumpuh, dan sebelah mata yang terancam kebutaan, Allah telah memilihnya. sebagai pejuang agamaNya.

Ia adalah masa lalu, masa kini, dan masa depan Palestina. Ialah sang mujahid yang menjadikan tiap batu dan debu di PAlestina dapat berbicara, dan menjadi kekuatan yang dapat melumat tiap tank dan peluru tentara Israel.

Syeikh Ahmad Yasin adalah penjelmaan sadar atas ayat Qs. 9;91-92. Kaum lemah seperti bayi, anak-anak, perempuan, para jompo terbebaskan dari kewajiban bertempur di jalan Allah. Tetapi mereka sama sekali tak terbebaskan dari
‘bertulus hati mencintai, menaati dan mengutamakan Allah dan Rasul-Nya serta berazam untuk membela-Nya kapan saja hal itu dimungkinkan. Adakah kejujuran yang melebihi kesedihan mereka yang datang menyerahkan jiwa raga ke jalan Allah tanpa mampu melengkapi diri dengan keperluan bertempur, lalu “…. Engkau (hanya dapat) mengatakan kepada mereka: ‘Aku tak mendapatkan (biaya membeli kendaraan untuk) mengangkut kalian. Mereka-pun berlalu dengan genangan air mata karena sangat berduka“ (Qs. 9:92).


‘Ia adalah nama generic’, tulis seseorang di sebuah situs internet. Saya setuju itu, karena memang sebelum dan sesudahnya akan tetap ada ikon-ikon kejujuran, pengorbanan dan harga diri yang terus hidup, bahkan sesudah roket-roket menghancurkan jasad mereka. Berpuluh tahun kematian enggan menjemputnya, sampai pada usia sesenja ini, ijabah atas kerinduan syahidnya terbukti. Ia bagaikan Umar bin Khattab yang di bulan wafatnya dan di saat tikaman melumpuhkannya berdoa, "Ya ALLAH, telah tua usiaku, semakin melemah tanagaku. Maka karuniakan daku syahid di Jalan-Mu dan jadikan syahid itu di negeri Nabi-Mu."

Rabu, 04 Juni 2008

Bangkit...MerDEKA!!!

Aku terkesan banget dengan renungan "Menghayati 100 tahun kebangkitan nasional" yang sekarang sering banget ditayangin di layar kaca. isinya sederhana, tapi punya "sesuatu". gak sekedar omong kosong para poliTIKUS.

Bangkit itu susah
Susah melihat orang lain susah
Senang melihat orang lain senang

Bangkit itu takut
Takut korupsi
Takut makan yang bukan haknya

Bangkit itu mencuri!
Mencuri perhatian dunia dengan prestasi!

Bangkit itu malu
Malu jadi benalu
Malu karena minta melulu

Bangkit itu tidak ada
Tidak ada kata menyerah
Tidak ada kata putus asa

Bangkit itu aku
Untuk Indonesiaku

Pantas aja bangsa kita gak bangkit2. Wong yang diomongin semuanya gak ada :)

Senin, 02 Juni 2008

Reformasi telah mati!!!

Indonesia pasca reformasi adalah kesemrawutan. Dan NAD pasca penegakan syariat Islam adalah kebingungan dan masalah yang tiada habisnya. Kaitannya sangatlah erat. System yang lebih kecil ditopang oleh system yang lebih besar, dan kebaikan system yang kecil berawal dari system yang lebih besar. Demikian seterusnya.
Pemerintahan Indonesia pasca reformasi seolah tetap semrawut. Reformasi terbukti tidak banyak menghasilkan pembaharuan, malah sekilas terlihat reformasi hanya membabat sedikit daun yang jelek, sedangkan akarnya masih tinggal. Akibatnya? Hampir 9 tahun sejak reformasi digaungkan, tapi kemajuan bangsa Indonesia tetap jalan di tempat. Para intelektual tetap tidak dihargai, para penipu dan penjilat habis-habisan dijunjug tinggi, kemiskinan mengamuk dahsyat di kawasan urban, dan kezaliman memanjat peradaban. Sepakatlah para cendikiawan menyebutkan bahwa kejujuran, konsep moral, norma, dan entah apa lagi yang diajarkan dalam PMP dengan satu kata :absurd!
Saat-saat gneting ini, bermunculanlah banayk phak dengan menawarkan solusi. Mereka bertopeng aneka rupa; parpol (partai politik), LSM, ormas, lembaga training, dsb, dll. Mereka bermunculan bak katak di musim hujan. Sebagian tulus menawarkan visi memperbaiki bangsa. Sebagian lagi licik, bibinya dimiring-miringkan; lain di mulut lain di hati. Di mulut menawarkan konsep perbaikan bangsa, namun tangan kanan kirinya sibuk menangani dana mark-up proyek, menggerayangi kekayaan bangsa, dan menggerogoti kebudayaan warisan leluhur. Sebagian lagi tulus, tapi limbung di misi dan linglung di cara kerja. Sebagian lagi visi dan cara kerjanya rapi tekoordinasi, tapi tak ragu menggunakan cara-cara keji yang menjauhkan wajah simpatik masyarakt. Kesemua ini menambah kesemrawutan wajah baru Indonesia.
Apa kaitannya dengan kondisi NAD? Tentunya sangat erat. Sebuah Negara adalah sebuah konsep tentang kesatuan. Nasionalisme. Akar yang buruk akan melahirkan daun-daun yang buruk juga. Kekerdilan jiwa bangsa melahirkan kekerdilan jiwa secara nasional. Hal ini dapat dilihat pada interpretasi syari’at Islam itu sendiri: potong tangan, cambuk, rajam, dan berbagai hukuman yang berkesan sadis. Kerdil sekali bukan? Padahal konsep syari’at Islam itu sendiri adalah mengenai cakupan global. Menyeluruh menyelimuti semluruh aspek kehidupan masyarakat, dan semua bersumber ke satu kata: KEADILAN.
“Dan Allah menghukum dengan keadilan. Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah tiada dapat menghukum dengan sesuatu apa pun. Sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Al-Mu’min 40:20)

Itulah konsepnya, keadilan. Jadi bukan sekedar sadisme, pelanggaran HAM, atau apalah seperti yang ditudingkan para orientalis pada syari’at (baca: hukum Islam). Yang salah mendapat hukuman sesuai kesalahannya. Hukuman yang mampu menjerakan setiap pelaku tidnak kejahatan, hingga pada akhirnya menciptakan stabilitas masyarakat yang tentram dan damai. Jangan lupa juga bahwa syari’at tidak hanya menyangkut urusan pidana dan pakaian semata, namun juga mencakup hal-hal yang terkecil hingga yang paling besar. Mulai dari masalah bersuci sampai cara menjalankan suatu Negara. Demikianlah Allah mengatur segala urusan manusia.
Namun, system yang telah berakar ini tidak membuat kita dapat berpikir seluas dan sejauh itu. Sebaliknya malah telah melahirkan penyimpangan pada cara berpikir anak bangsa, hingga jauhnya kita dari makna keadilan, syari’at, kejujuran dan lain-lain. Atau kalaupun ada, sebatas kata. Sebatas wacana yang tersurat atau terkata. Tak ada kerja, tak ada implementasi nyata. Hingga lahirlah istilah NATO (No Action Talk only). Sehingga pendidikan hanya melahiorkan sejumlah pengkhutbah dan orator handal. Tapi lupa mencetak para pekerja kemanusiaan.
Yang kita butuhkan sekarang adalah sebuah perubahan lagi. Sebuah perubahan yang jauh lebih besar dari sekedar reformasi. Perubahan besar yang harus mencakupi segala aspek kehidupan. Bukan seperti evolusi yang berjalan lambat. Melainkan revolusi. Ya revolusi!
Mengapa harus takut dengan revolusi? Jangan menyangka revolusi sekedar sebagai ajang pertumpahan darah. Dimana militer dan rakyat balas menembak, rumah-rumah yang kosong diduduki, perekonomian colaps, dan gambaran mengerikan lainnya. Karena jika pikiran kita hanya sebatas itu, maka jadilah kita orang-orang yang kerdil. Kerdil jiwa, kerdil akal, dan kerdil tubuh. Yang harus dibayangkan adalah lebih jauh lagi, sebauh revolusi pemikiran besar, sebagaimana pemikiran kita direvolusi dulu oleh peradaban Barat. Sebuah revolusi kebudayaan besar, sebagaiman kebudayaan kita kini dijajah oleh globalisasi. Dan sebuah revolusi moral besar, sebagaiman dulu dan kini moral kita dijajah oleh iblis (baik dari golongan jin dan manusia).
Revolusi adalah sebuah tantangan besar. Sehingga hanya orang-orang berjiwa besar saja yang sanggup menjalankannya. Orang-orang berjiwa besr yang siap dengan kerja nyata. Bukan para pengkhutbah yang sembunyi pada saat bom Molotov meledak, melainkan para patriot moral, negara, dan agama yang setia di barisan terdepan. Karena memang revolusi butuh kerja. Daya dan upaya. Tenaga, senjata, dan semangat. Bukannya sekedar lidah dan mikrofon.
Siap dengan revolusi? Revolusi dululah pemikiran kita! Mulai dari diri sendiri, itu yang terbaik. Hingga nanti saat revolusi itu terjadi, yang banyak muncul bukan hanya atlet yang sanggup lari mundur beratus mil, melainkan pejuang tangguh yang siap mati demi moralitas dan kemajuan peradaban.

*Karya ini telah dimuat di rubrik opini Harian Aceh

Sabtu, 31 Mei 2008

TUHAN DALAM LOGIKA HATI

Nitszche mengatakan dengan lantang, “Tuhan telah mati!” Tiga kata yang membuat kaum rohaniawan meraung marah, sedang kaum atheis menjerit senang karena merasakan dukungan kuat terhadap ‘iman’ mereka. Nisztche, bagi kalangan non-believe adalah imam. Yaitu manusia super yang mampu membunuh Tuhan. Begitu hebatnya dan agungnya sosok Nisztche di mata para pembenci tuhan.
Benarkah seperti itu? Faktanya, ‘filsuf ‘ pembunuh Tuhan ini dalam kesehariannya tidaklah tampil sebagai manusia super. Sebaliknya, yang ia lakukan hanyalah mengasingkan diri dan menutup dirinya dari sesama manusia. Satu-satunya teman bicaranya hanyalah anjing pudel kesayangannya. Ia menutupi kelemahan dirinya sendiri dengan penyangkalannya akan Tuhan.
Inilah fenomena dunia purba dengan wajah baru. Fenomena yang sudah ada dari abad awal kehidupan manusia, dan terus ada sepanjang zaman. Penolakan akan Tuhan.
Ditandai munculnya para orientalis, yang memperbincangkan Tuhan dengan nada sinis, membicarakan kebendaan Tuhan, dan menghubung-hubungkannya dengan berbagai konsep ilmu logika. Lalu para komunis yang menganggap kehadiran Tuhan hanya sebagai candu bagi kehidupan manusia, menghapuskan kata agama dari undang-undang dan menjadikan Tuhan sebagai hal yang tabu untuk disebut-sebut.
Sekarang, ijinkan penulis untuk membicarakan Tuhan. Yaitu Tuhan yang menggerakkan alam semesta. Terlepas dari apakah Ia adalah Allah, Yesus, Buddha, Yahwee, atau apalah panggilan yang dilekatkan manusia pada-Nya. Penulis ingin membicarakan tentang penolakan Tuhan oleh sebagian komunitas dunia. Baik lintas pendidikan, organisasi, hingga Negara. Juga mengenai kesalahan persepsi dalam memahami diri Tuhan. Sekedar sebagai bahan perenungan untuk kita semua.
Yang mengejutkan, fenomena penolakan ataupun kesalahpahaman terhadap Tuhan ini bukan saja dilakukan oleh orang-orang yang meneriakkan tentang ajaran komunisme dan atheisme dengan keras saja, tetapi—anehnya—juga dilakukan oleh orang-orang yang sudah memeluk agama tertentu. Bahkan dari umat Islam sendiri, penolakan terhadap Tuhan ini terkadang muncul ke permukaan.
Sebut saja nama Dawam, tokoh Muhammadiyah yang kemudian menobatkan dirinya sebagai pluralis sejati. Secara blak-blakan ia mengungkapkan kegamangannya terhadap eksistensi Tuhan. Baginya, Tuhan itu bisa ada, bisa tidak. Lain lagi dengan Gunawan Moehamad yang mengatakan, “Saya tidak suka Tuhan yang bengis.” Ayu Utami penulis novel “Saman” juga pernah mengatakan dalam suatu wawancaranya dengan radio Female Radio bahwa ia tidak terlalu peduli dengan urusan Tuhan.
Terlepas dari anggapan apapun manusia tentang Tuhan, benarkah manusia bisa menegakkan eksistensi dirinya sendiri? Benar-benar sendirian, tanpa dukungan dari kekuasaan luar biasa yang dipanggil Tuhan?
Jika kita pikirkan dan kita reka ulang. Berbagai fakta menunjukkan bahwa manusia tidak pernah bisa lepas dari Tuhan. Sebagai ilustrasi, seseorang yang terdampar di lautan luas dan terancam dalam badai besar akan reflek minta tolong. Padahal jika dipikirkan dengan logika, pada siapa ia ingin minta tolong? Lautan itu sangat luas, lagipula di tengah badai yang menderu suara lain sekeras apapun pasti akan ditenggelamkan oleh gemuruh badai. Pada siapa sebenarnya ia minta tolong?
Begitu juga dengan para ilmuwan yang cenderung sekuler dan atheis. Mereka mengharamkan kata ‘keajaiban’ di dalam laboratorium karena percaya tak ada yang namanya keajaiban. Mereka percaya semua peristiwa dapat dijelaskan dengan hukum Fisika. Namun kenapa ketika sesuatu yang tidak diketahui atau tidak terduga muncul dan meluluhlantakkan pesawat jet yang telah mereka rancang dengan sangat cermat, mereka dapat menyebut hal misterius faktor X; yang tak diketahui, tak terdefinisi (undefinition). Jika semua dapat dijelaskan dan diprediksi dengan fisika, apa penyebab lahirnya ‘sesuatu yang tidak diketahui’ itu?
Einstein, sebagai seorang ilmuwan fisika terkemuka, sebaliknya sangat menghormati Tuhan sebagai suatu kekuatan misterius di alam yang mengatur keseimbangan di alam. Ia menghormati keberadaan Tuhan sebagai suatu ‘energi’. Dan ia tidak membenci Tuhan atau menganggap Tuhan sebagai suatu benda. Ia punya pemahaman tersendiri tentang Tuhan. Ia mengakui bahwa Tuhan itu ada. Secara pribadi, Einstein adalah sedikit dari kalangan ilmuwan yang sangat bersemangat berbicara masalah teologi.
Semua orang punya pemahaman tersendiri tentang Tuhan. Baik diakui maupun tidak.
Inilah poin dari destruksi nilai ketuhanan pada manusia. Pemahaman mereka akan Tuhan. Pemahaman yang terbentuk dari ilmu, lalu formulasikan oleh lingkungan dan pengalaman. Sebahagian mengikuti petunjuk dari nurani, sebahagian lagi akhirnya tersesat.
Alangkah baiknya jika Tuhan tidak dipahami dengan logika, karena akal manusia yang dangkal dan picik tidak akan mampu memahami dan menafsirkan Tuhan sebagaimana Ia memahami diri-Nya sendiri.
Daripada mencoba merumuskan Tuhan hingga dapat diturunkan dalam sederetan rumus dan persamaan matematika, mengapa tidak mencoba untuk memahami Tuhan dengan hati saja? Memang Tuhan tidak mustahil dipahami dengan akal. Namun pemahaman Tuhan dengan hati menjadikan kerumitan masalah konsep ketuhanan menjadi lebih sederhana. Kesederhanaan yang sebenarnya lebih disukai manusia. Kesederhanaan yang membuat manusia sadar mengenai kebutuhannya akan kehadiran Tuhan.
Apa yang membuat manusia membutuhkan Tuhan? Tidak lain dan tidak bukan karena manusia menyadari, bahkan di bawah alam sadarnya, bahwa manusia adalah bakteri mikroskopis di tengah jagad raya, yang jauh lebih lemah dari bayi tikus sekalipun. Manusia menyadari dengan mata hatinya bahwa alam semesta yang bergerak dengan keteraturan yang sistematis ini tidaklah mungkin dilahirkan dengan kebetulan atau sebab akibat belaka.
Banyak orang dalam sejarah yang telah lebih dulu memahami Tuhan dengan hatinya dan memutuskan bahwa Tuhanlah yang terbaik. Chernenko, seorang pemimpin Uni Soviet yang berpaham komunis, misalnya. Mengakui pada saat sakitnya yang tak tersembuhkan bahwa hanya tuhanlah yang dapat menjadi sandaran dan harapan terakhir manusia.
Semua ungkapan ketidakpedulian pada Tuhan hanya lahir dari kepicikan akal manusia belaka. Namun pada akhirnya, sengaja atau tidak, manusia akan tetap berlabuh dan bersandar pada Tuhan, satu-satunya tempat dimana jiwa manusia dapat terlepas dari terkukungan dan bersih dari segala sampah logika yang memuakkan.

DILEMA PEMIMPIN IDEAL

Sosok-sosok pemimpin besar dalam sejarah merupakan topik yang selalu menyenangkan untuk dibahas. Di Perancis, ada sosok seperti Napoleon Bonaparte yang merupakan tokoh abadi revolusi. Di Amerika Serikat sendiri, ada sosok-sosok yang begitu melegenda seperti Abraham Lincoln dan Kennedy, sehingga sebagian kisah hidup mereka seolah sudah menjadi semacam mitos. Tak jauh-jauh, di Indonesia ada sosok Soekarno yang merupakan singa mimbar terbesar sepanjang sejarah. Saking besarnya nama Soekarno sendiri, orang Indonesia di luar negeri dikenali dari kopiah yang dikenakannya, yang memang menjadi ciri khas Soekarno.
Nama-nama di atas memang hanya secuil kecil dari pemimpin-pemimpin besar dunia. Sebagian masih dianggap sangat kontroversial. Dipuja bagai malaikat di satu sisi, namun juga sekaligus dicaci bagai setan di sisi lainnya. Sebut saja Soekarno yang dipuja sebagai Bapak Proklamator namun dicaci karena poligaminya, juga seperti sosok Imam Besar Khomeini yang kontroversial dengan paham Syiahnya. Karena memang tak ada manusia yang sempurna.
Memilih pemimpin yang tepat seperti mereka memang sangatlah sulit. Apalagi dalam masa-masa sekarang. Di mana para politikus benar-benar tikus dan penjabat sukar dibedakan dengan penjahat. Pemimpin yang benar-benar memiliki jiwa pemimpin seolah telah ditenggelamkan. Rakyat kebingungan, akhirnya muncullah para pemimpin-pemimpjn yang berjiwa boneka.
Bagaimanakah pemimpin yang ideal itu sesungguhnya?
Pemimpin yang ideal bukanlah dilihat dari latar belakangnya. Bila kita mengatakan bahwa pemimpin yang berlatar belakang militer itu cenderung berdarah dingin (seperti Soeharto misalnya), maka dalam sejarah Turki kita akan temukan nama Mustafa Kemal Attarturk yang merupakan seorang pemimpin dan pahlawan Turki yang tanpa cacat cela (di luar paham sekularismenya). Pemimpin ideal juga bukan dilihat dari keadaan ekonominya, karena bukankah Ahmadinejad sendiri berasal dari keluarga yang sangat sederhana? Pemimpin yang ideal juga bukan dilihat dari tingkat pendidikan, ataupun dari silsilah keluarganya. Sama sekali bukan.
Pemimpin yang ideal itu ditandai dari satu hal saja: jiwa yang dimilikinya.
Ya, jiwa pemimpin. Itulah yang seharusnya dimiliki oleh seorang pemimpin. Bukan jiwa penguasa, diktator, apalagi jiwa budak. Sama sekali bukan. Melainkan jiwa pemimpin yang tegas, memiliki pendirian, merakyat, dan mampu menguasai keadaan. Ia tahu apa yang terbaik untuk rakyatnya, bukan apa yang terbaik untuk dirinya sendiri. Ia juga bisa memilah antara saran atau pemaksaan dari pihak asing. Dan ia tidak takut dengan kekuatan asing manapun yang berusaha mengancam kedaulatan rakyatnya.
Pemimpin yang ideal bukanlah pemimpin yang menyembah-nyembah Bank Dunia untuk minta pinjaman, lalu membebankan hutang tersebut pada setiap jengkal punggung rakyatnya yang bungkuk menahan beban kemiskinan. Ataupun pemimpin yang dapat tidur di istana megah dan pesiar ke luar negeri dengan pesawat pribadinya, sementara rakyatnya tidur beralaskan kardus bekas dan sesak dalam kemacetan. Sama sekali bukan.
Pemimpin yang ideal bukan diktator atau penguasa yang membebankan pajak tinggi hingga rakyat harus makan dari sisa-sisa beras. Ia juga bukan budak asing, yang ketakutan dan tunduk pada kekuasaan besar, bahkan sampai rela menghamburkan kas negara hingga mencapai milyaran demi menyambut kedatangan singkat seorang Presiden negara lain yang tidak sampai satu hari. Pemimpin ideal haruslah berani, tegas, dan berjiwa luhur. Ia mempersembahkan hidupnya untuk melayani rakyat.
Pemimpin adalah simbol dari suatu negara. Seperti itukah citra pemimpin, seperti itu jugalah citra negaranya. Tak percaya? Coba lihat, ketika dunia mencaci Amerika dila perang, maka sesungguhnya siapakah yang gila perang? Apakah tanahnya, penduduknya, ataukah tentaranya? Jika dikatakan penduduknya, jelas bukan, karena penduduk Amerika sendiri pun banyak yang menentang perang. Jika dikatakan tentaranya, belum tentu juga. Karena mereka hanya pekerja yang dibayar oleh negaranya. Jadi siapa sebenanya yang punya ide, dana, dan kesenangan untuk berperang? Pemimpinnya pastinya. Pemimpinlah yang sebenarnya disebut negara itu. Dan itulah sebab utamanya mengapa memilih pemimpin yang salah hanya akan menghancurkan negara itu sendiri pada akhirnya.
Tanggung jawab menjadi pemimpin memang sangatlah berat. Di dunia, ia harus benar-benar meletakkan dirinya sebagai pelindung dan pengayom seluruh rakyatnya. Umar ra. bahkan pernah mengatakan bahwa seekor kambing zakat di pinggir sungai Tigris pun menjadi tanggung jawabnya saat ia menjabat tampuk pemerintahan. Padahal itu hanyalah seekor kambing. Begitulah perumpamaan tanggung jawab yang di emban seorang pemimpin. Lalu mengapa kita masih ribut berusaha jadi pemimpin? Tidakkah kita takut dengan firman Allah berikut ini?

“(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya; dan barang siapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikit pun.
Dan barang siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (Al-Isra’ 17:71-72)

Jangan menjadi pemimpin, jika yang terbyang hanya penghormatan ataupun gaji. Apalgi jika menjadi pemimpin negara, uang terbayang hanya istana negara na megah berikut gaji dan segala fasilitas kepresidenan. Sebab bisa jadi bukan itu yang kita kita dapatkan, melainkan cacian rakyat sebelum dan sesudah mati.

Bukan Hanya Salah ‘Para Tikus’

Semua orang pasti mengenal nama Fir’aun. Raja Mesir congkak yang berakhir tragis di Laut Mati. Ia tenggelam di sana sewaktu mengejar Nabi Musa as. dan pengikutnya. Jasadnya lalu terlempar kembali ke daratan dan masih bisa dilihat oleh publik hingga kini.
Sejarah kesombongan Fir’aun dengan kesombongan luar biasa tinggi hingga berani memproklamirkan dirinya sebagai Tuhan, benar-benar sebuah kisah yang pernah terjadi dan mengandung sejuta ibrah untuk direnungkan. Sejarah itu sendiri tertulis di dalam kitab suci dan dibuktikan oleh penelitian ilmiah. Sehingga tak ada alasan untuk mengingkari kisah Fir’aun ini. Dan salah satu dimensi paling menarik dari kisah Fir’aun ini sendiri adalah mengenai kesombongannya. Ya, kesombongan yang begitu tinggi dan mampu membuat kepala Raja Mesir ini menggelembung sebesar dunia.
Kesombongan Fir’aun ini tidak terjadi dengan sendirinya. Ia berani sombong dan bersikap congkak tersebut tentu memiliki dasar. Katakanlah; mungkinkah ia berani bersikap seperti itu jika tidak satu orang pun yang mengukuhkan eksistensinya sebagai Tuhan?
Ya, di sinilah poin penting dari kesombongan Fir’aun. Dukungan dari orang-orang di sekitarnya sebagai pilar pengukuh kesombongannya. Orang-orang di sekitarnya menjilat dan menyembahnya sebagai Tuhan. Yakinlah, jikalau tidak seorang pun mengakui Fir’aun sebagai Tuhan, maka kesombongan Fir’aun tidak akan menggelembung sedekimian besarnya.
Semua renungan ini penulis dapatkan dari sebuah buku kecil berjudul “Bukan Hanya Salah Fir’aun”. Buku sarat hikmah ini seolah meneriakkan peringatan mengenai bencana hebat yang dapat ditimbulkan oleh kesalahan yang ditopang oleh dukungan oleh orang banyak.
Kaitan mengenai fenomena tragis nasib Fir’aun ini sangatlah erat dengan kehidupan rakyat Indonesia dan rakyat di Nanggroe ini. Rakyat yang terlalu penurut pada pemimpin dan bungkam telah kembali berdiri tegak bisu dalam peta pergerakan politik pasca reformasi. Rakyat kecil seolah menjelma kembali sebagai pion-pion belaka. Seandainya ada yang bergerak mengkritik penguasa pun, suaranya begitu lemah dan sayup-sayup hingga hanya sedikit yang mendengarnya.
Contohnya kecilnya bertebaran di sekitar kita. Dalam masalah biroraksi saja, kita masih lemah untuk mengkritik berbagai kecurangan yang jelas-jelas terjadi di depan mata dan mengundang kegeraman. Kita masih bisu saat dimintai ‘uang admisnistrasi’ yang tidak jelas ujung dan pangkalnya saat mengurus KTP atau dokumen-dokumen kependudukan lain. Kita masih menunduk dan mengangguk saat dimintai pungli yang memang jelas ilegal. Yang kita pikirkan hanyalah “Yah, daripada urusannya lama.” Kita ingin semua diperlancar, ingin diri kita tetap aman. Jadi kita bisu, kita hanya mengangguk, tanpa sadar bahwa diri kitalah yang sebenarnya telah menjadi pondasi pendukung sistem yang dzalim ini. Kitalah para supporter alias pendukung utama dari semua akar korupsi di kalangan birokrasi Nanggroe ini.
Diri kita mengumpat, memaki semua bentuk korupsi. Kita teriak “BERANTAS KKN!” tanpa menyadari bahwa kita sendirilah yang telah memupuk dan menyirami akar dari KKN itu. kita tidak berani menggeleng atau minta penjelasan dengan tegas saat dicurangi dalam birokrasi. Mengapa? Mengapa kita memilih diam di depan saat melihat kecurangan dan kebusukan itu terjadi lalu teriak di belakang? Begitu munafikkah rakyat negeri ini?
Jika kita memang benci melihat kemunafikan para pejabat, jika kita memang mengumpat para koruptor, jika kita setuju menjagal para pemimpin yang serakah; seharusnya yang kita lakukan terlebih dahulu adalah mengintrospeksi diri kita sendiri. Tanyakanlah pada diri kita sendiri, tentang berapa banyak dukungan yang telah kita berikan tanpa sadar atau justru dengan sangat sadar terhadap berbagai praktek menyimpang di tanah air.
Saat kita semua berhenti dari menyirami ‘akar’ itu, saat itu juga segala praktek menyimpang itu akan melemah. Namun, jika kita tetap memilih menjadi pribadi pengecut yang hanya tahu berteriak di belakang, maka jangan hanya salahkah penguasa dan kalangan elit di atas sana saat negeri ini benar-benar lumpuh. Meminjam kata-kata Aa Gym: Mulailah dari diri sendiri, mulailah dari hal yang kecil, mulailah sekarang juga.
Sekarang juga, berhentilah memberikan dukungan pada segala bentuk kedzaliman. Agar tragedi Fir’aun dan para pengikutnya tidak terulang lagi di sini.

Busuknya sepotong Hati

“Saya berterima kasih…” kata kuntoro.
Terima kasih kembali, pak!
Menilik berita yang dimuat di harian Aceh, kamis 27 Desember. Penulis begitu terpesona dengan kepiaiwaian kuntoro dalam bersilat lidah, untuk membela dirinya sendiri.
Sekilas isi berita adalah upaya Kuntoro untuk menyatakan semua opini masyarakat tentang kinerja BRR adalah salah. Bahkan Kuntoro mengatakan bahwa rekontruksi Aceh berjalan lebih baik dari pada rekontruksi di Iran, India, dan Turki.
Sekilas, pernyataan ini benar-benar seolah tampak meyakinkan. Namun sayangnya Kuntoro melewatkan fakta bahwa Aceh menerima perhatian dari dunia internasional jauh lebih besar dari yang diterima oleh India, Iran, dan Turki. Bahkan pada tahun 2006, dua tahun pasca tsunami, dana yang mengucur ke Aceh telah mencapai US$ 5,8 milyar, yang terdiri dari pemerintah (US$ 2 milyar), LSM (US$ 1,6 milyar), dan Donor (US$ 2,2 milyar). Ini menunjukkan focus dunia yang sangat besar pada masalah Aceh. Bahkan sekjen PBB Kofi Annan sendiri mengemukakan dalam suatu pernyataannya saat berkunjung ke Aceh, bhwa ia sama sekali tidak menyangka kondisi Aceh ‘separah ini’.
Pada pernyataannya ini, Kuntoro sama sekali tidak berusaha mengklarifikasi berita-berita mengenai kegiatan foya-foya dan pemngahamburan dana dalam tubuh BRR yang justru memperkaya para pejabat dan orang dalam sendiri. Ini menimbulkan pertanyaan: mengapa? Atau pernyataan: jadi benar!
Lebih lanjut, pada paragraph ke-9, kuntoro menjelaskan bahwa ‘masih banyak kekurangan disana sini pada rekontruksi Aceh yang harus diperbaiki’. Pernyataan ini menunjukkan jurang yang sangat besar:masa tugas BRR akan selesai dalam satu tahun empat bulan lagi. Sedangkan ‘kekurangan’ yang disebut Kuntoro sangatlah banyak dan rumit. Mulai dari kekurangan 30 ribu unit rumah untuk dibangun, pendidikan, perbaikan prasarana umum, hingga ke masalah-masalah yang lebih spesifik seputar soal rumah bantuan yang tidak layak dihuni maupun kualitas sarana dan prasarana umum yang dipertanyakan .
Kekurangan yang disebut Kuntoro di atas bukan hanya terlihat saat ini saja. Bahkan saat BRR mulai bergerak di tahun pertama dan keduanya, aneka variasi kelalaian mulai bermunculan.
Pada tahun-tahun awal pasca tsunami, di tahun 2005, BRR memang telah menunjukkan berbagai keberhasilan telah dilakukan dalam rehab dan rekons Aceh, diantaranya; pembangunan fisik yang berupa jalan, jembatan, kegiatan ekonomi berskala kecil, pembangunan sarana dan prasarana, dll. Namun, Daya serap untuk tahun 2005 hanya sebesar 17,61% (US$ 775 juta dari US$ 4,4, milyar). Realisasi daya serap yang sangat minim ini membuktikan bahwa proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca setahun tsunami masih sangat minim dan lambat. Pada tahun kedua, berbagai rumor dan opini masyarakat mengenai kelambanan kerja BRR semakin mengalir deras. Seperti dalam penanganan kemiskinan. Faktanya, upaya perbaikan ekonomi masyarakat pada tahun 2006 dirasakan masih belum optimal. Indikasi ini dilihat dari masih tingginya angka kemiskinan (43,67%) atau 1.760.764 jiwa, pengangguran terbuka (46,88%) atau 1.255.388 jiwa. Langkah-langkah perbaikan ekonomi yang strategis, sistematis dan sinergis pun masih belum kelihatan. Hal ini juga dibuktikan dengan minimnya daya serap anggaran per November 2006 yang hanya sebesar 26,84%.
Dan di tahun ketiga pasca tsuami ini, kritikan kembali mengalir untuk BRR. Salah satunya disampaikan oleh Kepala Bappeda NAD, A.Rahman Lubispada satu sesi seminar dalam workshop tiga hari di Medan bertema "Tiga Tahun Tsunami: Dimana Kita Saat Ini," berakhir Minggu (21/10). Hadir Deputi Operasi BRR-NAD, Edi Purwanto.
Lubis mengatakan, selain pembangunan fisik yang masih belum jelas dan tidak tepat sasaran, pembangunan non fisik yang dilakukan BRR di NAD ternyata juga tidak kelihatan. Padahal dana yang dikeluarkan sudah cukup banyak, dan masa tugas BRR sendiri hanya tinggal satu tahun enam bulan lagi.


Seperti masalah kemiskinan yang belum teratasi, meski jumlah angka masyarakat miskin NAD diakuinya mengalami penurunan. Begitupun masalah jumlah angka pengangguran di provinsi itu.
Kemudian masalah ekonomi desa yang belum bangkit. Menurut Lubis, grafik laju pertumbuhan ekonomi NAD memang sudah positif, namun hal itu bukan dikarenakan bangkitnya sektor riil. Tetapi karena dana pemerintah dan dana donor yang begitu besar di NAD, dan prilaku masyarkatnya yang menjadi sangat konsumtif.
Untuk masalah pendidikan, lanjutnya, persoalan sebenarnya bukan pada masalah fasilitas . tetapi pada mutu dan distribusi pemanfaatan fasilitas yang belum merata. "Secara kualitas, guru yang layak mengajar di NAD jumlahnya kurang dari 50 persen. Dan itupun hanya terkonsentrasi di kota-kota," ujar Lubis.
Begitupun dengan pembangunan infrastruktur, lanjutnya, dari beberapa infrastruktur yang telah dibangun BRR, namun infrastruktur andalan untuk NAD, seperti pelabuhan utama, justru tidak ada.

Semua fakta diatas memicu kemarahan masyarakat semakin memuncak. Ini dapat dimaklumi, karena tindakan BRR juga semakin menunjukkan sikat heartless atau bisa disebut tidak punya hati. Para pejabat dan oknum-oknum yang terlibat di BRR hidup melimpah dengan bermanjakan fasilitas, melancong ke luar negeri, dan menggembungkan kantong mereka dengan gaji yang luar biasa besar.
Sebenarnya, yang harus Kuntoro lakukan bukanlah meminta dukungan eksternal. Bukan juga berkelit dan menganggap dirinya bersih. Hal paling bijaksana yang dapat dia lakukan adalah melihat ke dalam dirnya sendiri. Masih adakah secuil hati dalam dirinya untuk peduli pada nasib ribuan masyarakat Aceh yang tinggal di barak-barak pengungsian, pada orang miskin yang terlunta-lunta tanpa mata pencaharian, ataupun pada nasib Aceh sendiri yang belum pulih dari trauma pasca tsunami.
Terakhir, penulis ingin menyampaikan pesan untuk Kuntoro sendiri, ”Pak Kuntoro, jangan hanya berkata-kata. Jangan hanya juga bekerja untuk dirimu. Jika engkau masih punya sepotong hati, maka bekerjalah untuk nuranimu, untuk kemanusiaan! Jika tidak, percayalah bahwa Tuhan melihat!”