Mungkin aku bisa mencenderai hening. Sebab kini hening sudah tidak bersahabat lagi. Ia bukan lagi hening yang dulu, hening-ku. Kini ia ibarat belibis, terbang kesana kemari sesukanya. Aku mencoba mengerti hening, tapi ia tiada dari diriku. Lalu, kemana akan kucari sesosok hening yang sempurna?
Kucoba, dengan usaha keras untuk menerjemahkan bahasa hening. Aku menari, menarikan tarian yang sunyi, lagu yang meronta… semua demi hening. Hanya agar hatinya yang berpaling kembali padaku.
Mengapa begitu sulit?
Hingga cintaku begitu redam. Kucoba menjauhi hening, membersamai ramai. Tapi ramai tidak punya waktu banyak untukku. Ia sekedar singgah, tidak bercerita. Bahkan ia enggan membersamaiku dalam keseharian yang sedih. Ia hanya bersama saat kami berpesta ria. Saat kami tidak bosan-bosannya mengikuti warna dan permainan yang begitu beragam. Aku mencoba memahami ramai, sama seperti aku mencoba memahami hening yang tak acuh dulunya. Tapi ramai selalu saja tak henti-hentinya membuatku luka. Hanya luka yang terceracap dalam tiap waktu yang terabaikan oleh ramai.
Jadi, apa salahku saat aku ingin kembali mencintai hening? Menyaksikan embrio kami tumbuh besar, menjadi bayi yang siap merangkak, lalu anak yang terus berlari dan melompat. Itu impianku, dulu. Saat hening belum sedingin sekarang. Meski ada embrio kami yang telah menjadi sesosok bocah yang terus melompat, tapi itu dulu. Sekarang semua telah berlalu.
Ah, luka…
Aku mencoba introspeksi. Aku-kah dulunya yang mengkhianati hening? Mendadak, aku ingat waktu saat suasana yang begitu riuh membuatku hanyut. Ada begitu banyak mulut yang butuh telingaku, sosok yang butuh tanganku… hingga aku meninggalkan hening sendiri, hanya berteman sunyi.
Sunyi-kah yang membuat hening berpaling? Sebab sunyi selalu membersamai hening saat kutinggalkan. Permohonan hening agar aku berhenti dan menatapnya, sejenak saja, selalu kuabaikan. Tapi sunyi tidak, ia punya waktu yang berlimpah untuk hening. Mungkin ia akan duduk saja disana seharian dengan hening di sampingnya. Berdua menatap menembus jendela ke arah taman dengan rumputnya yang terbakar matahari. Hingga matahari terbenam dan adzan berkumandang dari surau yang jauh.
Aku tidak disana. Ya, aku tidak ada disana. Aku menjalin kedekatan dengan riuh, bertemu dengan ketidakacuhan, tertawa dengan sesak, dan main catur dengan sibuk. Maka apa salah hening jika ia lelah, dan menjauh dari diriku? Bukan hening yang meninggalkanku, tapi aku! Aku!
Pengkhianatanku pada hening, bagaimana bisa kuingkari?
Maafkan aku…
Kuharap suatu saat maaf itu tidak nihil. Kini, saat aku begitu kehilangan hening, dan ramai tidak bersahabat lagi, maka di titik ini, satu-satunya hal yang sangat kurindukan: mencandai hening lagi. Tidak untuk mencenderai dan membuat robekan yang menganga. Hanya berharap akan kehidupan baru yang bisa tercipta…
Dari hening dan aku.
Mungkin aku harus berjuang keras. Mencairkan hati hening, menikam sunyi, memalingkan wajah dari ramai. Tapi aku tidak gentar. Sebab aku cinta hening. Cinta yang begitu bening…
*catatan saat begitu merindukan keheningan. Ah, hiruk pikuk ini, mengapa begitu ramai?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar