Senin, 14 Juni 2010

So,

I miss my reader...

Stephen King, di usianya yang ke-50 mengakui bahwa istrinya, Tabitha adalah "pembaca"nya. Stephen mengungkapkan, bahwa, "Setiap penulis punya seorang pembaca, dan dia sesungguhnya HANYA menulis untuk pembaca itu."

Dulu saya tidak mengerti.
Karena bukankah kita semua menulis untuk orang banyak?
Mungkin, jika kita menulis surat, atau permohonan wawancara kerja, kita hanya menujukannya pada satu individu, atau satu komunitas saja. Tapi disini, kita menulis esai, cerpen, puisi, karya ilmiah... hanya untuk satu orangkah?

Tapi ketika saya mencoba menulis, dimulai pada waktu SMA dulu, saya mulai mengerti apa yang dimaksud dengan pengarang "The Shining" itu.

Waktu SMA,saya remaja yang payah. Sulit beradaptasi di lingkungan baru, canggung, dan tidak punya teman. 3 bulan di sekolah asrama dan bahkan belum menghafal satu namapun selain nama teman kasurnya samping-sampingan.

(Perhatian: cerita ini agak melankolis. jika merasa malas membaca cerita melankolis, silakan abaikan saja)

Lalu saya punya seorang teman. Yah, teman tetanggaan kasur itu. Saya tidak bicara sepatahkatapun sejak perkenalan-10-detik-saat-saya-mengatur-barang-ketika-pertama-tiba-dulu. Anaknya tomboi, keras, cuek, tapi sangat baik hati.

"Ade ultah kan bulan ini?"
"Hah?" Saya tidak nyambung, itu adalah saat pertama kami bertemu setelah liburan panjang. Saya sudah 4 bulan di asrama dan nyaris tidak punya teman. Saya ulangtahun waktu liburan dan jelas tidak mengharapkan ucapan dari teman seasrama *apalagi hadiah!
Saya menatapnya dan dia mengeluarkan bingkisan besar.

"Nih, hadiah."
Saya menerimanya, melongo saking tidak percaya. Seumur hidup, ada seorang teman memberikan kado pada saya!
Luar biasa.
Ada seorang, selain keluarga saya yang menganggap saya ada!
Entah waktu itu saya berterima kasih atau tidak, saking terharunya. Lalu dia hanya melenggang cuek setelah memberi hadiah itu, seolah-olah itu hal yang sangat amat biasa.

Maka,ketika saya mulai menulis,
Saya adalah penulisnya dan dia adalah pembacanya.

***

Tulisan panjang pertama saya cerpen, diluar peer sekolah, menang juara 2 tingkat provinsi.
Dia yang menyemangati saya saat saya menulis, dia yang membaca tulisan-tulisan saya, mengatakan paragraf itu luar biasa, mengkritik sentuhan akhir saya, menemani saya saat karya saya harus dipresentasikan, tersenyum menyemangati saat saya gemetaran di podium hingga tidak bisa bicara, bahkan menemani pengambilan hadiahnya, dan orang yang paling bahagia untuk saya saat saya menang.

Dia adalah "The Reader" untuk saya.
Hanya dia waktu itu,
selalu dia...
tulisan-tulisan saya untuknya. Untuk dia baca
Hingga dia memutuskan pergi dari hidup saya.
Dan saya tidak bisa menulis sebagaimana saat dulu dia ada di dekat saya.
Tapi semangat yang dia berikan masih hidup hingga kini.

Thanks friend to all
You make a useless person like me
be more useful for this life,

***

Saat dulu, saya menulis untuknya, untuk dia baca
saya sadar bahwa tulisan saya akan dibaca olehnya
Saya tahu, paragraf ini akan membuatnya mual-mual, membuatnya tersenyum, membuatnya merenung, membuatnya sedih...
Jadi, jika dia tidak tersenyum, tidak sedih, atau tidak merenung pada bagian yang saya sebutkan, maka tulisan saya itu jelek. Dan harus diedit lagi.
Tulisan yang benar adalah jika dia bereaksi secara tepat di tempat yang seharusnya.
Seperti itulah "The Reader".

Saat saya menulis, saya hanya membayangkan bahwa ia membacanya, dan saya menggerakkannya sebagaimana dia akan atau harus bersikap.
Saya percaya reaksi dia merupakan representasi dari reaksi semesta, jika dia berkata,
"Ah,jelek."
Maka semesta sepakat itu jelek.Tapi jika dia berkomentar,
"Menarik,lucu banget de!"
Maka semesta akan tertawa saat membaca tulisan itu.
Dan selalu seperti itu.

Tapi kapan itu berhenti terjadi?
Mungkin saat saya kehilangannya, karena memang saya tidak kompeten untuk bisa menjalin suatu hubungan dengan manusia lain selamanya.
Pergi, berlalu, begitu saja.

Lalu saya punya "The Reader" baru.
Hingga 2 tahun, lalu dia kembali pergi.
Dan sekarang, saya sendiri. Tanpa seorang pembaca pun...

Saya kehilangan "The Reader", saya mulai merasa tulisan saya tidak punya jiwa lagi seperti sebelumnya.
Tulisan saya bergerak dengan semangat yang sama, tapi hanya bagi saya,.
Saya menulis, seolah bicara dengan diri sendiri.
Saya menjadi terasing dalam dunia kata-kata yang seolah hanya berisi monolog senja.

Dan saya, tidak memiki "The Reader", seorang pun
hingga saat ini...

*saat benar-benar merindukan MY READER.ada yang mau melamar posisi ini???

Kamis, 10 Juni 2010

Politik tapi Bukan PoliTIKUS

Aku bukan orang yang gemar berpolitik.
Juga tidak pintar berpolitik.
Mengapa?

Yaah...mungkin karena aku memang orang yang apa adanya.
Bagiku, politik itu bagaikan jalan yang gelap dan berkelok-kelok.
Berbelit dan belibet.
Politik, memang bukan jalan yang menyenangkan.

makanya, aku berat banget terjun di dunia kampus yang penuh perpolitikan. Gak kebayang bagaimana bisa melewati jalan itu. Aku menjalani hidup dengan sedikit-sedikit melangkah. Karena aku memang bukan orang yang cepat beradaptasi dengan perubahan, terutama dengan hal-hal yang asing dan tidak disukai.

Tapi, suatu hari suatu waktu, pandanganku ttng the real disturbance of the life: politics, sedikit berubah.

Di tengah tugas membedah dan meringkas buku "Manhaj Haraki", aku mendapat pencerahan, bahwa Rasulullah juga berpolitik!!!

Well... sebenarnya aku tahu Rasulullah juga berpolitik. Tapi tidak pernah benar-benar tahu. Cuma, "Rasulullah juga berpolitik lho!"
"O ya? Gitu ya?"
Selesai.

(tulisan ini tidak akan mereview buku "Manhaj Haraki", tapi melalui cara politik Rasulullah, aku mendapatkan satu hal dasar yang membedakan politik Rasul dengan politik Hitler)

Di buku bersampul hijau ini aku baru mulai memahami banyak. Salah satunya mungkin hal terpenting:

Politik Rasulullah tidak pada prinsip menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan.

Politik Rasulullah kadang menggunakan cara yang bertentangan dengan prinsip-prinsip politik.
Misalnya, lihat pada karakteristik ke-33 di fase 2,

Saat Abu Lahab menjanjikan perlindungan pada Rasulullah karena rasa kesukuannya yang mendadak meluap. Lalu dia menguji Rasul dengan pertanyaan,"Dimana tempat Abu Thalib?"

Rasulullah menjawab, "Dia (Abu Thalib) di neraka."

Lalu Abu Lahab membelakangi Rasul dan melepaskan semua perlindungannya pada Rasul dan kembali memusuhi Rasul.

Padahal jika melihat prinsip politik yang "ambil semua hal yang menguntungkan",jawaban Rasulullah sangat amat tidak menguntungkan posisinya. Beliau bisa saja berbohong, sebagai cara agar Abu Lahab tetap memberi perlindungan pada beliau. Tapi kenapa???

Inilah komitmen pada aqidah yang tidak bisa ditawar sama sekali. Inilah politik ala Rasul, dimana bukan kepentingan yang menjadi yang tertinggi, tapi RIDHA ALLAH yang menjadi yang tertinggi.

menarik bukan?
mari kita belajar politik sedikit demi sedikit. Tentunya bukan politik licik ala Tante Bush, Om Ariel Sharon, atau Kakek Hitler, tapi ala Rasulullah.

*ditulis dalam keadaan delirium dan tension headache

Kamis, 03 Juni 2010

Israel dan Kemanusiaan yang (Tidak) Beradab

Oleh: Ade Oktiviyari*

“Israel telah melakukan pelanggaran HAM besar: menggusur, membunuh anak-anak dan wanita, bahkan melarang bantuan kemanusiaan.” –Amnesty Internasional

Berita tentang penyerangan Israel terhadap kapal Mavi Marmara, yang membawa misi bantuan kemanusiaan internasional ke Jalur Gaza, Palestina, pada hari Senin yang membawa bantuan kemanusiaan ke Palestina memicu berbagai reaksi dari dunia Internasional. Pemerintah Swiss, Yunani, Swedia, Jerman, dan beberapa Negara lain telah mengeluarkan pernyataan resmi mengutuk tindakan brutal ini. Bahkan Yunani telah menarik diri dari latihan militer bersama Israel sebagai bentuk sikap protes atas serangan yang telah menewaskan 20 orang ini. Bahkan yang menakjubkan, pemerintah Indonesia ikut mengeluarkan kecaman terhadap kejadian ini. Terutama menyangkut nasib 12 WNI yang ada diatas kapal tersebut. Kecaman masih terus mengalir hingga hari ini dan hari-hari ke depan. Karena peristiwa ini, selain dilakukan pada relawan kemanusiaan, juga terjadi pada perairan Internasional, yang seharusnya bukan merupakan wilayah yang menjadi hak Israel untuk bertindak.

Reaksi dunia Internasional yang sungguh luar biasa ini adalah yang kedua setelah peristiwa blockade dan pembombardiran Gaza beberapa waktu lalu. Serentatan kejadian ini seolah mempertegas kekejaman Israel yang sebelumnya ditutupi dengan berbagai dalih. Tapi tampaknya, Israel mulai kembali menunjukkan muka duanya, termasuk dengan mengeluarkan statement bahwa semua relawan yang memukul tentara Israel di atas kapal itu akan dituntut dan dijebloskan dalam penjara. Bayangkan! Semua yang dilakukan Israel menjadikan dirinya dari pelaku menjadi korban. Seperti modus operandi yang telah dikenal menjadi tabiat dan keahlian bangsa Israel.

Kekejaman Israel sebenarnya bukan barang baru. Bahkan sejak dari awal Israel resmi menduduki Palestina melalui White Agreement dengan Inggris pasca PD II, Israel telah menunjukkan serentetan kekejaman diluar batas kemanusiaan. Sejarah mencatatnya sebagai geinocide (pemusnahan suatu suku atau ras). Serangkaian peristiwa itu diantaranya adalah: Pembantaian Qabbiyah, yaitu pembantaian massal di wilayah Qabbiyah seluas enam belas ribu hektar pada tahun 1953, semua keluarga yang tinggal pada wilayah ini dibantai; Pembantaian shabba Shatilla, yang merupakan salah satu pembantaian paling popular yang pernah ada. Pembantaian ini dilakukan di Lebanon, tepatnya di kamp pengungsian warga Palestina pada tahun 1982. Jumlah korban tewas saat itu mencapai 12 ribu orang, termasuk wanita, anak-anak, dan orangtua; Pembantaian Qana pada tahun 1986. Saat itu tentara Israel menghujani kamp-kamp pengungsian di Qana, Lebanon dengan roket dan rudal. Korban: 100 orang; Pembantaian As-Duwaimah pada tahun 1948 yang mungkin merupakan pembantaian terkeji. Semua korban dibunuh dengan dipecahkan kepalanya.

Israel membangun gardu-gardu di tiap perempatan jalan. Tiap orang yang melewatinya akan mendapatkan kesempatan ‘interogasi’ yang bisa berujung pada kematian, apalagi jika dicurigai sebagai anggota HAMAS (Harakah Muqowwamah Al-Islamiyah), sebuah pergerakan pemuda-pemuda Palestina yang berdiri untuk menentang Israel dan mengenyahkannya dari tanah Palestina. Anak-anak bahkan wanita pun tak luput dari peluru-peluru Israel saat melewati gardu-gardu itu. Pada tahun jumlah pos-pos ini telah meningkat menjadi 2653 pos. dapat dibayangkan bagaimana terror yang ditebarkan di tempat-tempat itu.

Tidak hanya umat muslim dan warga Palestina saja yang merasakan kekejaman itu. Selain pada penumpang kapal Mavi Marmara yang menunjukkan bahwa Israel tidak pandang bulu dalam membantai, sikap ini telah ditunjukkan sejak lama, tanpa memandang kewarganegaraan, status, dan agama. Bahkan sejak invasinya, Israel telah membunuh ratusan tenaga medis, wartawan (termasuk wartawan asing), warga sipil yang termasuk didalamnya wanita, orangtua, dan anak-anak. Untuk penghancuran juga demikian. Tak hanya mesjid, ratusan gereja pun telah diratakan Israel dengan tanah dalam upaya perluasan wilayah kekuasaannya.

Sejumlah kekejaman Israel di atas bukan barang baru. Itu sudah menjadi cerita lama dan bahkan hanya segelitir dari kekejaman Israel di wilayah Palestina. Apalagi setelah pembangunan tembok apartheid sejak tahun 2002 yang membatasi wilayah Israel dan Palestina. Tembok yang merupakan ide orisinal Ariel Sharon, mantan PM Israel ini sepanjang 721 kilometer, dengan tinggi 25 kaki atau hampir delapan meter. Dalam jarak tertentu, dibangun sebuah tower, tempat tentara-tentara Israel yang biadab berjaga dan mengintai. Sepanjang tembok dipasangi alat pendeteksi panas tubuh manusia, kamera pengintai inframerah, dialiri listrik dan sniper yang siap memuntahkan peluru-peluru tajamnya. Tembok rasis ini juga menghalangi penduduk Palestina dari akses listrik, air bersih, dan bahan makanan.

Tentang perjanjian damai, telah berkali-kali dilakukan antara perwakilan Israel dan Palestina. Yang terkenal, mungkin adalah perjanjian Camp David I, II, dan seterusnya. Kemudian ada Konferensi Annapolis, tapi ujung-ujungnya konferensi ini diboikot oleh Negara-negara pro Palestina karena dianggap sebagai upaya mengukuhkan kekuasaan Israel di Palestina. Selain itu, semua perjanjian damai yang telah diadakan kembali dimentahkan dengan aksi-aksi kekerasan dan upaya perluasan wilayah yang terus berlanjut dengan massif. Hingga hari ini, kemerdekaan Palestina atas Israel masih menjadi impian. Kasus-kasus kekerasan terus meningkat.

Satu hal yang menarik adalah kemampuan Israel untuk menanggapi isu pelanggaran HAM yang dilakukannya dalam 60 tahun terakhir ini. Sebagaimana yang dikatakan di awal, Israel memiliki kemampuan untuk menjadikan dirinya korban ketimbang pelaku. Pada masa-masa awal pendudukannya di Palestina, Israel terus menerus mengirimkan pesan bahwa ia adalah korban dengan cara menyiarkan lewat media-media yang mereka miliki tentang aksi ‘bom bunuh diri’ yang dilakukan oleh para penduduk Palestina dengan brutal. Sehingga memicu reaksi bahwa Israel adalah tamu yang datang lalu menjadi korban dari kekejaman penduduk Palestina.

Baru pada Juni 2007, ketika dimulainya blockade oleh Israel yang dibantu oleh pemerintah Mesir, mata dunia mulai terbuka. Apalagi saat itu akses informasi mulai terbuka, tidak terlalu tertutup seperti sebelumnya. Media-media seperti Al-Jazeera dengan giat memperbaharui perkembangan Palestina dalam masa-masa blokade. Terutama saat tragedy pengepungan dan pembombardiran Gaza, mata dunia seolah terbuka lebar terhadap penderitaan Palestina yang sesungguhnya. Bantuan mengalir secara deras, media memberitakan perkembangan Gaza secara intensif, dan jutaan relawan dari seluruh dunia bergerak ke Gaza. Juga di Indonesia, aksi peduli Palestina berlangsung secara rutin, termasuk pengumpulan dana dan bantuan.
Sekarang, tragedi yang sama, bahkan lebih menunjukkan wajah Israel yang sesungguhnya kembali terulang. Apakah kita hanya bisa diam dan mengecam? Atau bahkan memilih kontra terhadap Palestina dan menyalahkan para relawan karena mempertaruhkan nyawanya untuk kemanusiaan?

Entahlah.

Berbagai reaksi masih mengalir hari ini, besok, dan mungkin beberapa minggu kedepan. Tapi akankah berhenti hanya sampai disitu? Lalu Palestina yang membara kembali dilupakan. Padahal Palestina adalah tanah tempat 3 pertemuan agama besar. Tanah para nabi. Akankah kita membiarkan Palestina diinjak-injak dan dinodai oleh sekelompok Yahudi yang membawa panji-panji Israel?
Saya yakin kita masih punya doa untuk Palestina hari ini. Dan mungkin sedikit uang yang disimpan dari puasa terhadap produk-produk yang mendanai Israel, serta sedikit uang yang dikucurkan untuk Palestina. Kita yakin, Palestina akan merasakan kemerdekaannya kembali, suatu hari nanti.
*Penulis adalah anggota Forum Lingkar Pena.

*telah dimuat di Harian Aceh

Selasa, 01 Juni 2010

Untuk Apa?


"Pak, mengapa Bapak tidak melaut?"
"Saya sudah melaut semalam dan saya perlu beristirahat. "
"Kalau Bapak melaut lagi, Bapak akan menghasilkan banyak ikan."
"Lalu?"
"Bapak bisa mengumpulkan uang untuk membeli sebuah perahu."
"Lalu?"
"Dengan perahu itu, Bapak tidak perlu lagi menyetorkan sebagian keuntungan Bapak kepada pemilik perahu."
"Lalu?"
"Bapak bisa mengumpulkan lebih banyak uang untuk membeli perahu kedua."
"Lalu?"
"Dengan dua perahu, Bapak bisa menghasilkan lebih banyak uang dan membeli perahu ketiga, perahu keempat, perahu kelima, dan seterusnya."
"Lalu?"
"Jika perahu Bapak sudah banyak, Bapak bisa menyewakannya pada nelayan lain, sehingga Bapak tidak perlu lagi melaut."
"Lalu?"
"Bapak bisa hidup senang dan bersantai."
Nelayan itu tersenyum dan berkata, "Menurut Bapak, apa yang sedang saya lakukan sekarang?"


Tulisan tersebut diakhiri dengan penyampaian hikmah bahwa kita perlu berhenti sejenak dari kerja keras dan rutinitas. Namun saya tertarik dengan hal lain pada cerita itu, kesederhanaan dan kepuasan dalam mencapai tujuan bekerja.

Bagi saya,itu berarti bahwa tidak semua orang mampu melihat bahwa terkadang tujuan itu dekat. Banyak orang memutuskan tujuan yang tidak pasti, sehingga sebelum sampai ke tujuan, waktunya telah habis.
Bagaimana jika nelayan itu memilih mengikuti saran itu? Dia akan kehilangan seluruh waktunya untuk sekedar santai beristirahat di bawah pohon. Dan mungkin dia tidak akan pernah punya waktu istirahat meski dia telah menjadi milyader. Sebab nafsu manusia yang tidak pernah puas akan menjadikan diri kita selalu ingin lebih...lebih...

Dan pada akhirnya, tanyakan kembali: apa tujuan kita?