Jumat, 19 November 2010

Saya Pindah!


Assalamu'alaikum Wr. Wb

Yups! As the picture tells, i decide to moving!:D
Pindah?
Pindah kemana?
Yah, saya memutuskan untuk pindah ke BLOGDETIK!
O____o *fans terkejut:P
Kenapa?
Yah, karena saya baru tahu bahwa blogdetik itu punya Indonesia.
Serius!
Makanya, sebagai gerakan cinta tanah air, saya putuskan untuk pindah ke blogdetik.
Sederhana kan? Memang sekarang kita tidak butuh alasan yang terlalu rumit untuk masalah yang sederhana.

Ini alamat saya yang baru: www.adeoktiviyari.blogdetik.com
Main-mainlah ke sana jika ada waktu.
Saya tunggu senantiasa.
Maaf atas segala silap selama berada di sini
See You!
Wassalamu'alaikum Wr. Wb

Temanmu dan (Amiin) calon tetanggamu di surga,

Ade Oktiviyari

Selasa, 16 November 2010

Belajar (terus) dari Ibrahim

Belajar dari Ibrahim
Belajar tentang cinta
Belajar ketulusan
Belajar pengorbanan
Belajar keiklasan

Mana lebih berarti:
Allah atau anak?
Maka Ibrahim menjawabnya
Merelakan penyembelihan putra kesayangan,
Putra penyejuk mata
Putra yang telah melewati penantian hanya utk menatap matanya

Mana lebih engkau cintai,
Allah atau anak?
Maka Ibrahim menjawabnya dengan menempelkan pisau
Tepat di kerongkongan Ismail,
yang terus menyeru,
"Aku ikhlas, Ayah! Aku ikhlas!"

Mana Tuhan bagimu,
Allah atau anak?
Maka Ibrahim menutup mata,
menetakkan pisaunya
membunuh berhala dalam dirinya

Belajar dari Ibrahim
Kisah sepanjang masa tentang tauhid
Taat tak mengenal tepian

*sambil menanti adzan Maghrib berkumandang menembus tirai senja

Senin, 15 November 2010

Mengeja Rindu pada Pelangi

Memutuskan untuk melepas rindu pada selainNya adalah keniscayaan.

Mengapa?
Sebab rindu hanya berhak diperuntukkan bagi mereka yang berhak menerimanya. Bagi keluarga, orang-orang yang berdekatan sebagai kawan sejenis, orang-orang yang berhak menyentuh secara syariat.
Bukan untuk orang dari seberang laut, bukan untuk mereka rindu mengejawantah.
Dengan bahasa apa, rindu ini harus kuhapus?
Sederet, dua deret, lalu penyesalan menjelma.
Sebab rindu yang keliru.
Bahkan rindu pun bisa keliru!

Aku mengenal orang ini, jauh sebelum aku mengenal diriku secara utuh. Dia bagai pelangi, bagai hujan, bagai angin. Dia akan membagi kue kegembiraan bersamaku dan siap jika aku ingin membagi kue kesedihan. Dia selalu ada di ruang nyata dan mayaku. Siap mendengar, siap membalas semua keluh kesahku dengan bahasa menghibur. Sebab aku tidak ingin menumpahkan 'sampah' curhat kepada sahabat perempuanku.

Dia yang tidak bernama 11 huruf, dia yang tidak sebaya denganku, dia yang tidak pernah berkeluh kesah tentang kehadiranku. Hadirnya, saat itu dalam otak kecilku, bagai pelangi di waktu mentari kembali terik selepas badai menerjang.

Awalnya aku tidak berpikir ini salah. Toh tidak ada apapun yang terjadi, antara kami. Tidak ada kontak fisik, tidak ada waktu berdua-duaan, tidak ada kata-kata mesra. Tidak ada...
Hingga rindu hadir.
Ada kegembiraan melihat wajahnya, senyumnya, kebijaksanaan dan penerimaannya.
Ada resah jika sederet pesan tidak berbalas.
Ada ngilu jika dia hadir di tempat lain, bukan untukku.

Maka suatu hari, batinku berbisik senyap,
Cintakah ini?
Aku menggeleng, kuat. Tidak, cinta hanya setelah ijab kabul disahkan oleh saksi!
Tapi hatiku tetap bawel. Kalau bukan cinta, mengapa ada rindu?
Aku gagap. Sebab dia bagai matahari, bukankah kita selalu rindu matahari saat awan tebal menjelma kelabu? Bukan berarti kita mencintai matahari kan? Aku mencoba beretorika.
Benarkah? Aku hatimu. Aku tahu!

Aku gagap. Gagu.
Setelah itu hanya air, hanya kaca, hanya bening teramu sempurna dengan senyap.

Ya, apa namanya?
Apakah aku telah mengkhianati hatiku?

Laa taqrabu zinaa... Ayat itu tergiang-giang. Lembar Al-Israa', ayat ke 32.
Laa taqrabu katanya, JANGAN DEKATI! Sebab zina adalah menyangkut urusan farji, zina tubuh yang benar-benar haram.
Tapi perintahnya bahkan sudah dari jauh, dari JANGAN DEKATI!!!

Ah, hari ini hanya rindu. Hari ini hanya pesan. Hari ini hanya curahan hati.
Lalu besok?
Lusa?
Setahun berikutnya?
Aku belum berzina, tapi pintunya telah kuketuk.
Dengan komunikasi yang intens.
Dengan kedekatan hati.
Dengan curhat-curhat panjang.

Semuanya kuterjemahkan.
Hingga tanya menyergap seumpama laron menyerbu cahaya:
Adakah kebersamaan yang nyaris tidak pernah putus itu sesuai dengan keadaan? Dengan kebutuhan yang diperbolehkan syariat?
BENARkah itu?
Atau dalil tentang jarak, perbedaan, dan lain-lain hanya PEMBENARAN?

Aku meraba hatiku, dan sadar bahwa dia telah menjadi kehitaman. Nyaris tak kukenali lagi.
Aku luruh.

Maka jari-jemariku kembali menggantung. Terkadang menatap namanya di layar cahaya, lalu kembali menekan tombol.
Tidak, aku tidak akan menghubunginya.
Juga dalam tiap malam, saat benar-benar butuh teman bicara, aku akan menghampiri lembar-lembar putih.
Hmm... Sudah berapa lama aku meninggalkanmu?

Wajah dipaksa menunduk, saat wajah cahaya dengan senyumnya hadir, mengisi ruang pandang.

Bibir dipaksa beku, saat semua keinginan untuk berceloteh laksana pipit merindukan ladang menyeruak.

Langkah dipaksa menjauh, saat benar-benar ingin mendekat.

Sudah selesai?
Belum. Dan mungkin masih butuh lama untuk benar-benar usai.
Sebab masih rindu.
Menusuk hingga meredakan warna hujan. Menghilangkan gradasi warna.
Sebab hati masih berkicau tentang dosa. Sebab nafsu masih menginginkan hadirnya.
Sulit?
Sulit jika hanya berjuang sendiri. Sulit jika pemakluman-pemakluman nafsu masih diada-adakan. Sulit jika hanya bicara.

Satu hal yang menguatkan kesendirian ini, karena aku percaya, Yang Maha Penyayang masih disana. Masih ada selamanya disana. Untuk menjadi pegangan, saat kaki ini hampir saja tergelincir lumpur khilaf. Untuk menjadi kekuatan, untuk menjadi visi... Saat rindu teralih hanya untuk melihat diriNya kelak.

Aku masih percaya itu. Akan tetap percaya, Insya Allah...

*mengenang masa-masa sunyi, saat pernah nyaris kehilangan harapan padaNya. "Allah bersamaku, Allah melihatku, Allah menyaksikanku" (Sahal bin Abdullah Tasatturi)


Selasa, 09 November 2010

RANDOM~~~~

Hari ini saya masih tersesat di antara 4 buku, "Mencari Pahlawan Indonesia"nya Anis Matta, "Maalim fii Ath-Thariq" Sayyid Quthb, Chicken Soup for The Traveler's Soul, dan Happy Ending full Barokahnya Solikhin Abu Izzuddin.

Berhubung sudah penat sekali membaca buku (saya tidak pernah penat membaca, tapi melirik barisan huruf di buku bisa juga jadi melelahkan), maka saya memutuskan pindah ke komputer. Menghidupkan Winamp yang telah saya setel acak dan membiarkan pikiran demi pikiran bermunculan...

Kau tahu tentang hatiku yang tak pernah bisa melupakanmu
Kau tahu tentang diriku yang selalu mengenangmu selamanya
Kini kusadari Bahwa semua itu
Adalah salah, juga keliru
Akan membuat hati menjadi ternodai

Saya termangu sejenak saat nasyid "Maaf tuh Berpisah'nya Tashiru ini mulai mengalun. Norak sekali! Itu kesan pertama saya tentang lagu ini. Nasyid, tapi seperti lagu cinta.

Maafkanlah segala khilaf yang tlah kita terlewati
Tlah membawamu kedalam jalan yang melupakan tuhan
Kita memang harus berpisah
Tuk menjaga diri
Untuk kembali mngarungi hidup
Dalam ridho ilahi

Saya kembali memikirkan tentang buku. Ma'alim fii Ath-Thariq, saya membacanya dengan penuh ekspetasi. Apalagi buku itu dibayar dengan gugurnya Sayid Quthb di jalan Allah, maka saya memikirkan tentang kata-katanya, "Telunjuk yang senantiasa mempersaksikan keesaan Allah, menolak menuliskan satu huruf pun untuk tunduk pada thagut", lalu ide-idenya. Semua tentang tauhid, tentang jihad, tentang manhad Laa ilaaha illallah... Ini adalah satu-satunya buku terlama yang saya baca. Sudah lebih dari 2 minggu di tangan saya, dan saya baru menginjak halaman 165. Buku Harry Potter 6 saja yang tebalnya nyaris 1000 halaman, saya bisa selesaikan dalam 5 jam potong waktu shalat dan makan.

Saya mengenang Sayid Quthb dan menghargai tiap kata-kata yang ditulisnya. Kata-kata yang melepaskannya dari julukan "liberalis" dan menggadaikan semua kenikmatan dunia yang pernah diraihnya.

Mengutip kata-kata dari Chicken Soup, seorang bernama William Penn yang tidak saya kenal berkata, "Aku menjalani hidup ini hanya sekali. Karena itu, jika ada kebaikan yang bisa kutunjukkan, atau perbuatan baik apapun yang bisa kulakukan bagi sesama manusia, biarlah aku melakukannya sekarang." Saya tidak setuju dengan kata "aku menjalani hidup ini hanya sekali", karena bukankah setelah ini masih ada kehidupan yang jauh lebih panjang? Tapi berbuat baik, memang hanya ini harinya, seperti Imam Ali ra pernah menyebutkan bhwa inilah hari amal TANPA hisab! dan kelak akan datang hari hisab TANPA amalan.

Kutahu bahwa dirimu
Mendambakan kasih suci yang sejati
Kuyakin bahwa dirimu
Merindukan kasih sayang yang hakiki


Saya kembali berkelana dalam pikiran saya. Kali ini tentang Harold, lagi-lagi dari Chicken Soup. Harold adalah seorang pengidap limfoma, sejenis kanker. Kanker itu telah menyebar ke otaknya dan dia akan segera menemui ajal. Saat para perawat bertanya apa keinginan terakhirnya, Harold menjawab, "Aku ingin melihat samudera."

Maka kisah setelahnya adalah kisah menakjubkan tentang pengumpulan dana besar-besarn untuk memobilisasi seorang penderita kanker menemui samudera. Dan semua itu dilakukan oleh para perawat Harold, tanpa pamrih apapun. Mereka melakukan publikasi besar-besaran dan mengumpulkan dana dari lembaga-lembaga dan bantuan perorangan.

8 oktober, Harold diberangkatkan ke California dengan 3000 dolar di sakunya, bersiap melihat laut.

4 hari kemudian dia pulang, dan saat ditanya, Harold menjawab singkat, "Samuderanya terbentang luas dan sangat luas sampai bertemu dengan langit."

Setelah itu penglihatannya memburuk dengan cepat, sampai kemudian buta sama sekali. Setelahnya adalah kisah klasik tentang penderita kanker, hingga hidup Harold berakhir pada tanggal 6 Maret 1998, hanya 2 minggu sebelum ulang tahunnya ke 19.

Membaca kisah ini, saya berpikir begitu cepat. Sehingga hanya bisa menangkap kata-kata.

Cinta.Kematian.Hidup.Senyum.Samudera.Harapan.Kasih.Memaafkan.

Hingga tersadar dari lamunan dan meneruskan pemikiran saya. Dari buku HERO, saya jadi teringat sederet kata, "Apapun peran kita, syurga obsesinya."

Bagaimana kita memaknai peran kita di dunia ini, maka seperti itulah kisah kita akan berakhir.

Kini kusadari Bahwa semua itu
Adalah salah, juga keliru
Akan membuat hati menjadi ternodai

Saya membaca kisah Harold, dan terkagum saat menyadari bahwa banyak, begitu banyak kasih yang bertebaran di dunia ini. Para perawat Harold itu, melakukan pengumpulan dana untuk membawa seorang penderita kanker stadium akhir melihat samudera, nyaris tanpa ekspektasi apapun. Tanpa pemikiran apapun tentang keuntungan, tentang hubungan perkerjaan mereka dengan sebuah harapan terakhir pasien. Mereka hanya ingin melihat impian terakhir Harold terwujud, sesederhana itu.

Maka seperti itulah totalitas mereka. Totalitas, kata yang indah ya?
Mereka mungkin tidak berpikir tentang akhirat atau apapun. mereka hanya berpikir tentang kebahagiaan Harold, sesederhana itu. Bagaimana jika mereka bisa meniatkan tentang sesuatu yang LEBIH BESAR?

Maka saya menemukan keindahan dalam perpisahan, bersama harapan baru tentang kehidupan.

Dan bila takdirnya kita bersama
Pastilah Allah akan menyatukan kita


Nasyid ini selesai, saat menata diri kembali.
Saya harus menyelesaikan keempat buku itu.

*Maafkan untuk tulisan yang begitu random ini. Tetap semangat meniti hari, sahabat!^^

Kamis, 04 November 2010

(Resensi) The Boy in The Striped Pyjamas

Judul: The Boy in The Striped Pyjamas
Pengarang: John Boyne
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 233 halaman

Saat pertama kali melihat profil buku ini di halamanmoeka.com, saya sama sekali tidak punya bayangan tentang apa buku ini berkisah. Jika Anda menjadi saya dan membaca kalimat seperti ini, “Kisah tentang Anak Lelaki Berpiama Garis-Garis ini sulit sekali digambarkan.biasanya kami memberikan ringkasan cerita di sampul belakang buku, tapi untuk kisah yang satu ini sengaja tidak diberikan ringkasan cerita, supaya tidak merusak keseluruhannya. Lebih baik Anda langsung saja membaca, tanpa mengetahui apa kisah ini sebenarnya.”

Kalimat ini memancing perhatian saya. penuh rasa penasaran, saya segera saja menghubungi mbak Retnadi via PM Multiply untuk memesan buku ini. Tidak sampai seminggu, buku ini telah sampai ke tangan saya.

Benar, saat memegangnya saya tidak memiliki gambaran apapun. Sampul bukunya hanya berisi judul, John Boyne si pengarang, dan bercorak garis-garis. Sampul buku ini suram, dan saya tidak punya tedensi apapun tentang buku ini.

Saat membaca bab I, saya masih linglung memasuki buku ini. Buku ini berkisah memang tentang Bruno,sebagaimana yang telah dikatakannya di bagian belakang. Seorang bocah laki-laki yang mendadak disusahkan saat mereka harus pindah dari rumah mereka yang luas, mewah dengan pelayan-pelayan yang banyak, dan berlantai lima.

Lalu cerita bergulir, masih tentang dunia dari sudut pandang Bruno. Tentang rasa kesalnya pada kakak perempuannya, Gretel yang menyebalkan, Maria si pelayan yang selalu ketakutan, suasana yang muram di rumah baru, hingga sampai ke sekelompok orang.

Ya, sekelompok orang dengan wajah sedih, berjumlah ratusan. Dan semuanya memakai piyama garis-garis.

Siapa mereka?

Maka Bruno yang penjelajah berjalan menemui mereka, hingga ia bertemu sebuah pagar. Pagar yang tegak berdiri disana dan mempertemukannya dengan sebuah nama, Shmuel. Sebuah nama yang aneh, dengan sikap yang aneh, dan wajah yang sedih.
Disini, akhirnya saya mengerti tentang apa buku ini berkisah.

Sampai disini saja cerita saya.

Semua bagiannya, hingga endingnya membuat kita tercekam. Awalnya penuh teka-teki. karena cerita ini benar-benar ditulis dari sudut pandang Bruno yang dibawah 12 tahun. Benar-benar polos.

Membaca cerita ini, kita tercekam dengan rasa penasaran, dan perlahan-lahan, rasa itu akan menjadi rasa ngeri. Dan berakhir dengan tragis, sedih. Setidaknya itu yang saya rasakan. Karena semua berujung menjadi PENYESALAN.

Sebagai bocoran, saya ingin semua memahami bahwa buku ini bercerita tentang nilai terdasar pada diri manusia, sekaligus kejahatan terkelam pada jiwa. Maka tidak ada apresiasi yang ingin saya berikan pada penulisnya kecuali duduk diam dan berhenti. Selama 20 menit setelah menutup buku ini. Karena kita tidak ingin membiarkan pemahaman ini berlalu. Lepaskan semua tedensi dan pahamilah nilai terdalam dari cerita ini, meski mungkin Anda punya sudut pandang yang berbeda:)

Sebagai penutup, marilah kita dengar kulit sampul belakang berkata,

“Dan cepat atau lambat, Anda akan tiba di sebuah pagar, bersama Bruno. Pagar seperti ini ada di seluruh dunia. Semoga Anda tidak akan pernah terpaksa dihadapkan pada pagar ini di dalam hidup Anda.”

*FYI, rupanya buku ini telah dibuat film dan disutradarai oleh Mark Herman. Sila nonton filmnya jika benar-benar tertarik:)

Selasa, 02 November 2010

Dari Jendela Dunia

jika rindu masih butuh pembuktian

mengapa rinai hujan mengalir tanpa tepian?

sebagian mencerca

sebagian mengambil nafas darinya

hari ini langit masih sudi menceritakansegenggam bahasa Tuhan pada kita

entah esok, entah lusa?

tsunami, Mentawai,Wasior telah habis dijelajahi

maka dengan bahasa apakah kita akan tertawa?

masih ada tarian

tawa

anak-anak

menundukkan rinai air

menjadikan muram, ceria yang mengangkasa

hingga pengampunan jatuh

hari ini

kita masih rindu

asbab cinta

langit,

masih adakah dialog hari ini?

sebelum merah merekah dari barat?

*saat hati mendendangkan bait-bait hijau

Senin, 01 November 2010

Mengeja Hitam

apa warna langit sekarang? Hitamkah?
Apakah engkau tahu hitam itu karena mendung atau karena malam?
Muungkin dua-duanya, bisa jadi.

Maka mari berhenti mengeja hitam,
mengeja hujan

belajarlah mencari bintang
dan merasai kesejukan

*saat Darussalam diselimuti hujan

Selasa, 26 Oktober 2010

Intermezzo SMA part II

Yang mau baca nomor 1nya, klik di SINI

Sebenarnya saya bukanlah pelajar yang jahat. Saya baik hati lagi tidak sombong dan suka menyiram bunga siang-siang.

Tapi saya benci sistem pendidikan Indonesia, atau setidaknya sistem pendidikan di sekolah tempat saya belajar dulu. Saya benci menghafal, menurut saya menghafal bukanlah hal terbaik yang bisa dilakukan. Orang harusnya memahami, bukan sekedar menghafal. Sedang guru hanya mengajarkan untuk menghafal, kecuali dalam pelajaran fisika, kimia, dan matematika. Saya juga benci mengakui kalau ujian terutama multiple choice dijadikan standar sebagai penguji intelektual siswa. Menurut saya itu sangat tidak masuk akal. Kita tidak boleh menjawab sekreatif mungkin, semua harus TEKSTUAL.

Dan yang terpenting, saya benci sistem pendidikan yang tidak mengajari murid-murid seperti saya untuk belajar dari lingkungannya. Kami tidak memahami untuk apa integral dalam kehidupan sehari-hari, untuk apa memahami reaksi kimia ini dalam kehidupan sehari-hari. Dan parahnya, kami diajarkan hanya agar bisa menjawab soal ujian.

Sewaktu saya kelas 2 SMA, saya menemukan sebuah buku. Saya lupa judulnya. Buku itu terinspirasi dari lagu Slank yang berjudul Pulau Biru. Buku kecil itu bercerita tentang sekelompok pemuda yang memutuskan untuk berlayar ke Pulau Biru dimana setiap orang berhak belajar dengan cara yang membuat dia "MEMAHAMI", bukan sekedar ingat.

Di buku itu, ada kisah Totto Chan dan Tomoe Gakuen, ada kisah seorang pemuda yang menghabiskan satu isi perpustakaan dalam waktu 1 tahun, yang belum ada hanya kisah Rancho dkk, ya mungkin karena filmnya belum ada waktu itu.

yang jelas, itu membuat saya semakin membenci sistem. Saya membenci catatan yang harus dibuat dengan menyalin buku pelajaran, tidak ada metode mind mapping atau pohon ingatan dalam mencatat di buku pelajaran. Guru yang bahkan tidak cukup memahami apa yang diajarkannya...

Saya memutuskan untuk tidur sesering mungkin dan menggendutkan badan tiap jam pelajaran dengan tidur.

Meski saya kadang berpikir, kapan ya saya harus insyaf?

Pernah guru di sekolah kami itu sidak,karena banyaknya murid-murid yang menghilang secara misterius di tengah pergantian jam pelajaran, makanya guru-guru sidak ke kamar2 asrama. Dan dimana saya saat itu?

Ngumpet di bawah kolong tempat tidur dong. Masa gak tahu. Heee... *saya tidak bangga lho.

Hingga pembagian rapor tengah semester,

saya rangking 2!!!


O___o

tidak mungkin sekali kan???

*bersambung lagiiii

Rabu, 20 Oktober 2010

Intermezzo SMA part I

Pada akhirnya, kita semua berubah.

Ya, kenapa kita harus berubah? Sebab hidup memastikan bahwa kita semua akan berubah. Mulai dari proses anak-anak, menjadi dewasa,lalu beruban. Al-Mu'minun sudah kutelusuri, dan kepastikan bahwa berubah itu pasti! Harus!

Maka seperti laiknya seekor ulat, aku bermetamorfosis menjadi kuda. Lho? Salah salah... Maaf. Maksudku menjadi gorila. Sudah benar kan?

Yang jelas,aku berubah. Waktu bayi, sering ngompol. Setelahnya, ngompol sekali-kali. Setelah 5 tahun, kadang-kadang. Setelah 70 tahun nanti, mungkin kadang-kadang juga.

Yang kuingat dari masa SMAku adalah masa-masa terburuk. Tanpa tujuan, tanpa tahu apa yang harus kulakukan.
Tidak punya cita-cita. Mungkin hanya hidup untuk jadi pemanjat kelapa. Pasang muka sendu tiap mau ulangan, tidur di barisan paling belakang, dan kabur dari kelas tiap pergantian jam. Tragis! Tragis!

Siapa sangka anak bermuka sepolos aku bisa sejahat itu?
Kupikir hidupku tidak akan berubah hingga aku jadi pemulung kelak.

Hingga suatu hari, suatu waktu, saat kertas ulangan fisika dibagikan, nilaiku saat itu... Jreng jreng.... 100!!

Nah, bukan itu yang buat syok atawa kaget. Tapi kalimat guru setelahnya, "Kamu gak nyontek kan?" Tanyanya memastikan. Jreng jreng lagi!

"Nyontek? Enggak Bu!!" Guru itu manggut-manggut, entah percaya atau ngantuk mendengar alasan ngeles yang pastinya udah sering didengarnya itu.

Maka aku duduk, dan menyobek2 kertas ulangan itu, sebagai tanda protes atas pelanggaran hak asasiku sebagai anak jahat.
Semua temanku melongo.

Aku cuek, ngorok.

Bersambung...


Selasa, 19 Oktober 2010

Tidak Pernah Sendiri

Baru kali ini saya sadar,kalau kita tidak pernah benar-benar sendiri.
Sebab Tuhan memang tidak pernah tidur

Anehnya, saya sering melupakan momen tentang keberadaannya
Tapi hari itu,saat saya benar-benar hectic
Frustasi, nyaris.
Saat harus mengurusi detil-detil kecil yang saya benci.
Saya sadar bahwa kehadiranNya selalu ada.
Selalu, tiap saat.
Kalau tidak, bagaimana mungkin segala sesuatu bisa menjadi mudah?
Bagaimana mungkin perasaan saya lebih lapang setelah sebelumnya sesempit-sempitnya?

Dia tidak pernah melepaskan saya dari pandanganNya. Sebagaimana Dia tidak pernah melupakan engkau, sekalipun.
Maka bagaimana bisa saya tidak berterima kasih?
Untuk segalanya, tiap detik yang saya lewati.

Tolstoy mengatakan, "Tuhan tahu, tapi menunggu."
Keabadian berkata, "Ketiadaan waktu dan realitas takdir. Segalanya sudah terjadi."

Hingga saya berhenti berpikir, dan menerima saja semua kehendakNya.
Segalanya sudah terjadi.

*saat benar-benar memerlukanNya, tapi Allah memang tidak pernah tidur

Minggu, 17 Oktober 2010

Tanpa Tedensi Apapun

Sudah lama saya ingin menulis tanpa tedensi apapun. Tanpa harapan mendapat jempol like this besar-besar dari orang-orang, tanpa berharap ada yang terinspirasi, tanpa berharap ada yang merasakan manfaat.

Tapi itu musykil, disini. Ya, muskil.

Kenapa? Sebab saya selalu mendiktekan bahwa tulisan saya di dunia maya, bagaimanapun buruknya adalah salah satu wujud keinginan saya berbagi manfaat dan hikmah,

Hanya saat ini, saya memilih untuk menulis tanpa tedensi?
Mengapa?
Sebab seringkali sebagaimana jiwa-jiwa lemah lainnya, yang terjebak dalam kealpaan dan kelemahan justru di titik terkuatnya, sebagaimana seonggok jiwa merasai kehampaan saat banyaknya lautan hikmah didapatnya. sebab mungkin karena ia merasa CUKUP, maka ia menjadi SOMBONG.

Saya telah memilih jalan keshalihan, tapi lalu terjebak pada makna keshalihan itu sendiri. SEbagaimana saya telah memilih jalan kebijaksanaan, dan terperangkap pada definisi, dari kebijaksanaan itu sendiri.

"karena kita masih berusaha mencintai hidup, keshalihan, dan detik yang diberikan maka berusahalah bersyukur dan memilih jalan kesyukuran dan kesabaran bagaimanapun sulitnya"

Ini sebagian dari yang saya yakini, tapi sekarang saya mendapat kesulitan untuk memahami bahkan kata-kata saya sendiri.

Ah, ada titik-titik saya merasa HARUS BANGKIT!!!
Karena tidak ada alasan burung sehat untuk mematahkan sayapnya, sebagaimana laut ganas menghentikan deburnya hanya karena seekor kepiting kelabu melintas. HArmonisasi itu dipertahankan untuk menjaga keseimbangan yang telah digariskan.

Maka setelah sekian lama menyangkal, saya memutuskan bahwa saya bukan lautan yang menggelora. Saya tetap manusia biasa dengan warna-warni celupanNya, dengan binar sapuanNya.

Karena saya bukan tipe orang yang bisa mengatakan, "Hibur aku", maka saya ganti dengan "Doakan aku," Maukah teman?

Terakhir kali terpuruk seperti ini, saya membaca Nietszhe dan memutuskan bahwa Tuhan lenyap. Kali ini, saya memutuskan untuk mencari lautan dan mencoba berbicara pada Tuhan, dan di titik ini saya merasa konyol! Apakah Tuhan ada di lautan?

Seharusnya saya mencarinya dekat anak yatim, seperti Nabi. Dan bicara padaNya dalam kondisi ternetral saya. Untuk apa shalat saya jika seperti itu? Saya menyesali pencarian lautan saya hari itu.

Saya pernah menonton sebuah film, "V for Vinette" (mungkin ejaannya salah), salah satu kuotasi yang selalu terngiang-ngiang bagi saya adalah, "Tuhan ada dalam hujan"

Tidak, bukan seperti itu. Apa jika panas maka Tuhan tiada?

Seperti hal bodoh yang saya lakukan, jika saya mencari pantai untuk menemukan Tuhan, apa berarti Tuhan ada di pinggir laut? Maka saya dalam pencarian sore hari itu, setelah gagal menemukan pantai yang sepi, saya berdiam diri di dekat serimbunan hutan bakau. Sebuah tambak yang dihiasi gubuk-gubuk yang ditinggalkan. Tidak ada orang, hanya air, bakau, dan angin laut yang berkeriut-keriut entah dari mana. Saya berdiam di situ dan menyadari:

Langitnya begitu tinggi.

Hingga saya berhenti di situ dan sadar maghrib hendak menepuk pundak, maka saya menarik nafas dan sadar,

Pencarian saya bukan TUHAN, pencarian saya adalah DIRI SAYA SENDIRI.
Yang ingin saya dengar bukan SUARA TUHAN, tapi SUARA HATI saya sendiri.

Sesederhana itu saya mengerti.
Hanya 20 menit untuk mengerti.
20 menit diricuhi angin dan gejolak alam
20 menit tanpa manusia lain di sana
20 menit tanpa berpikir, hanya melihat
20 menit mendengar suara hati

dan setelah 20 menit itu, saya bisa menarik nafas.

pulang

dan kini, mencoba menulis tanpa tedensi apapun

bahkan setelah hampir 5 tahun menulis, saya membuang EYD.

Lepas, bebas

Sabtu, 09 Oktober 2010

Pales dan Tuan Kelabu

Namanya Pales, tinggal di dekat Al-Aqsa.

Pales hanya seorang pemuda. Dengan rahang kukuh dan mata hitam. Pemuda seusianya biasanya masih menuntut ilmu, mengelola lapangan kerja, atau bahkan mengais rezeki mencari istri. Harusnya Pales juga seperti itu, tapi dia tidak menjalani hidup sesederhana itu. Entah kenapa. Mungkin karena lelah, mungkin juga karena perjuangan. Semua bermula saat Tuan Kelabu bertopi datar mengetuk pintu.

Pagi itu hening, suara ketukan pintu semakin tinggi hingga akhirnya pintu membuka. Dia Tuan Kelabu. Yang tampan, bermata dingin, dan memiliki senyum matahari di tengah musim salju.

Lalu sejak hari itu Tuan Kelabu, yang tidak lagi memiliki rumah dan terusir dari kampung halamannya karena kekejaman rasial, tinggal di rumah Pales. Dia menghuni kamar tamu. Kamar paling besar di rumah itu. Dia duduk di teras tiap pagi dan sore, menikmati seteguk kopi. Malamnya dia akan menyalakan lilin di kamarnya dan tidur setelah jauh malam, saat lilin telah habis.

Setelah 2 bulan Tuan Kelabu tinggal disana, ia meminta ijin menggunakan kamar Rafah, adik Pales. Alasannya kamar tamu telah terasa sempit dan tidak menyenangkan. Ia butuh kamar lain untuk menyimpan barang-barangnya. Ayah Pales, Yasser setuju. Dia menyuruh Rafah yang semula merengek untuk pindah ke kamar Pales. Untuk sesaat, suasana kembali damai.

Hingga Tuan Kelabu kembali meminta kamar Nablus, Jenin, dan terakhir kamar Ramallah. Dan ayah Pales selalu menyetujui. Hingga terakhir ia meminta kamar Pales, Pales menolaknya mentah-mentah. Hingga ayahnya meradang, dan menyuruh Pales menyingkir ke ruang tamu.

Pales bungkam, tak mengerti.Lelaki berhidung mancung dan beralis tebal itu telah menempati semua kamar di rumah ini!
Sorot mata ayah menjadikan Pales bungkam.
Mereka pun tidur bertumpuk di ruang tamu.
Hingga hari itu, Pales bangun dari tidurnya.
Dia melihat mimpi buruk.

Ayah berbaring dengan lidah menjulur, darah mengalir sepanjang alis hingga ke jenggotnya.
Ibu nyaris telanjang, tubuhnya teriris-iris hingga Pales hanya dapat melihat wajahnya yang berlumur warna merah.
Rafah, Ramallah, Jenin, dan Nablus sudah menghilang. Tapi Pales melihat potongan-potongan jari, kulit, dan rambut yang berserak. Lantai rumahnya menjadi merah berkilat.
Lalu Pales melihat Tuan Kelabu.
Ia menjerit nyaring dan melempar Tuan Kelabu dengan semua pajangan yang ada di meja. Lalu Pales lari.
Dia tidak ingat bagaimana ia bisa keluar dari rumahnya.

Pales lari ke rumah tetangganya. Mereka segera datang ke rumahnya. Berduyun-duyun dengan membawa segala macam senjata tajam. Saat mereka sampai, Tuan Kelabu sedang duduk di beranda rumah Pales, seperti biasa. Sambil menyeruput kopinya, dia menghadapi warga yang sedang marah. Saat dia membuka pintu, mempersilakan warga masuk, Pales terpana...
Ajaib! Ruang tamu telah bersih. Tidak ada darah, tidak ada potongan tubuh.
Pales membeku.
Hingga seseorang menepuk bahunya. Mengajaknya keluar.
Warga telah bernegosiasi dengan Tuan Kelabu, dan Pales diminta menyerahkan rumahnya dengan sukarela. Karena jika Pales tidak menyerahkan rumahnya, maka Tuan Kelabu akan merebut rumah-rumah yang lain.

Pales menatap orang-orang itu.
Tidakkah mereka mengerti bahwa Tuan Kelabu tidak akan pernah puas dengan satu rumah?
Ketika Pales meradang, ketua RT menengahi. Dia meminta Pales untuk berdamai dengan Tuan Kelabu, setidaknya agar Pales tetap bisa tinggal di rumahnya. Biarlah Tuan Kelabu mendapat semuanya, setidaknya engkau bisa tetap tinggal di rumahmu sendiri, meski hanya di halaman. Demikian Ketua RT membisiki Pales.

Pales meradang.
Maka ia lari, mencari keadilan.
Ditemuinya walikota, walikota tersentuh dengan omongannya, tapi lalu pergi setelah berbincang dengan Tuan Kelabu yang sering menyelip2kan sesuatu di kantong walikota.
Pales naik ke tingkat lebih tinggi, dia menemui gubernur. Tapi di depan pintu dia telah ditendang oleh ajudan.

Maka Pales nekat.
Dia berdiri di depan istana Presiden berhari2, hanya ditemani selembar karton besar. Hingga presiden yang malas dengan pemberitaan media akan ketidakacuhannya akan Pales mau menemuinya.
Hanya belum sempat Pales bicara, dilihatnya foto presiden bersama Tuan Kelabu. Berjabat tangan dengan mesra. Bahkan ada foto penyerahan cek dari Tuan Kelabu pada presiden.

Maka Pales diam.

Benar-benar diam. Dia tahu tidak ada keadilan lagi di muka bumi ini.
Hingga ia memutuskan mencari keadilan di langit.
Hanya karena hari pembalasan belum tiba, Pales memutuskan kembali ke rumahnya. Dia tidur dekat pagar. Dia menamai area pagar itu, Gaza.

Rabu, 06 Oktober 2010

SIapa Saya?

Akhir-akhir ini saya kehilangan orientasi. Fokus saya menipis, begitu saja. Dan saya tersadarkan bahwa saya masih manusia biasa sahaja. Akhirnya saya sampai juga pada titik titik yang selalu saya sadari, namun saya hindari. Titik dimana saya sadar saya bukan superwoman seperti yang saya sangka selama ini. Sosok yang bisa selalu optimis, kuat, tidak pernah lelah, menjadi pemimpin, tenang,menyelesaikan semua masalah, dan selalu memiliki motivasi. Saya gagal menjadi manusia luar biasa yang selalu saya impikan.

Karenanya setelah sekian lama, saya memutuskan untuk duduk saja sambil menyeruput segelas teh lemon, membiarkanketerbiasaan mengendap.

Saya masih punya agenda rapat mingguan.
Agenda rapat 2 mingguan.
Rapat yang saya koordinir sendiri.
Saya masih pnya sekretariat organisasi yang bisa saya kunjungi: FLP dan mushalla Asy-Syifaa'
Saya punya jadwal kerja mingguan
Saya punya meeting-meeting tertentu
Saya punya tugas yang harus diselesaikan
Dan jadwal bimbingan proposal skripsi
Serta kerjaan rumah selaku seorang anak

Saya merasa telah kuat. Saya bebas stress. Saya sanggup menyelesaikan 10 agenda yang berbeda dalam sehari. Semuanya mudah, saya bersyukur berkali-kali dan tetap berlari.

Hingga saya sadar.
Hanya satu sentilan kecil dan saya sadar.

Siapa saya?

Maka saya mulai mundur dan duduk di pojok kecil, merenung.

Berapa banyak SMS sapaan dari sahabat yang kerap tidak saya balas?
Berapa banyak sahabat di MP atau FB yang tidak saya sapa lagi?
Berapa kali saya mengingkari janji atau membatalkan janji sillaturrahim?
Berapa kali saya meminjam dan luput mengembalikan?
Kapan terakhir kali saya benar-benar duduk dan merenungi kelemahan saya?

Mendadak saya tersadarkan dari keluarbiasaan yang saya pikir telah saya miliki
Dari kesombongan yang tanpa sadar telah saya biakkan dalam hati
Dari ketinggian yang telah menjadikan saya lebih rendah

Saya sadar...
Bahwa saya masih manusia biasa
Astaghfirullah...
Saya masih hamba Allah...

Saya membiarkan pikiran tentang KELUARBIASAAN menjadikan saya lengah.
Hingga saya telah kehilangan begitu banyak hal
Mungkin saya telah meninggalkan kalian begitu jauh, karena saya mundur ke belakang ratusan langkah....
Saya meninggalkan kalian dengan hal-hal yang saya jadikan kecil. Padahal hal-hal besar yang saya kira tengah saya kerjakan telah menjadikan saya KERDIL.
Saya meninggalkan kalian dengan rasa ANGKUH yang saya miliki.

Maaf...

*setelah pikiran bertanya dan menggedor-gedor kembali "SIAPA SAYA???"