Jumat, 28 Agustus 2009

Truth as A Cloud

Apakah kalian pencari kebenaran?
Mungkin, karena kebenaran seharusnya tidak perlu dicari. Tapi aku tetap salut dengan para pencari kebenaran, dan bahkan lebih salut dengan orang-orang yang telah menemukannya.
Mengapa? Sebab tidak banyak orang yang bersedia mencari kebenaran, kebanyakan dari manusia hanya menempuh jalan yang telah tersedia baginya. Jalan yang diikuti oleh lingkungan, orang tua… jalan yang dia tahu, tanpa peduli apakah kebenaran memang berada di sana atau tidak. Memilih tanpa kesadaran, hanya karena tidak memiliki keberanian dan rasa ingin tahu. Yang sayangnya kebanyakan manusia memang memilih jalannya dengan cara seperti itu
Aku belajar dari seorang teman luar biasa cara berbeda tentang hidup. Seorang teman yang mencari kebenaran, hingga ia kembali ke titik yang semula dilewatinya. Tapi yang tidak disadari banyak orang, ia berubah, karena kini ia menyelam. Tidak lagi tenggelam.
###
“Aku pernah mencari kebenaran,” demikian Ary mengawali kisahnya.
“Bukan dengan cara yang biasa, tapi dengan cara yang luar biasa.”
“Apa… “ aku hendak bertanya. Tapi langsung merasa itu pertanyaan konyol,. Dia berjilbab, agamanya tidak mungkin lain lagi.
Ary melanjutkan. “Ketika remaja, aku pernah mengalami masa-masa sulit. Saat-saat aku mulai mencari tuhan dan mempertanyakan kembali agama dan eksistensiku;siapa aku, darimana aku berasal, untuk apa aku ada. Aku berjilbab sejak SD, tapi tidak banyak yang kuketahui ttng agamaku. Aku tahu shalat, aku tahu mengaji, tapi lebih dari itu, aku tidak tahu apa-apa.”
Ary berhenti sejenak.”Hingga aku memutuskan untuk mencari kebenaran. Dengan cara yang sederhana, aku memulai petualanganku. Hanya dari literature, aku menemukan bahwa mencari kebenaran itu berarti memilih di antara banyak jalan. Untuk itu, aku memutuskan meninggalkan pengajian yang telah kuikuti dari lama. Kupikir untuk mencari kebenaran kita harus berada di daerah netral.”
Ary menghitung,”Aku mulai mempertanyakan paham yang kuanut, agama yang kuanut. Hingga aku hampir melirik yang lain. Katolik awalnya terlihat sebagai suatu pilihan. Hingga suatu malam aku terbangun, tenggelam di kegelapan… dan sadar bahwa aku tidak akan bisa hidup tanpa jilbabku, shalat, dll. Aku tahu; aku tidak akan pergi ketempat lain lagi, Islam adalah rumahku.”
“Tapi aku masih gelisah. Bahkan dalam Islam aku melihat jalur yang begitu banyak. Dan jalur kebenaran ada diantaranya.aku mencoba menekuni, berpikir asal tidak mengorbankan agama, semuanya boleh. Aku melirik Islam liberal, sejenak. Lalu segera berpaling. Mual. Aku tidak suka pada kebebasan yang tidak bertanggungjawab. Entahlah. Lalu aku mulai gandrung pada sosialisme, lalu belajar filsafat. Membaca Niestzhe, bahkan Karl Marx. Tapi semua itu tidak membuatku merasa lebih baik. Aku tidak mendapatkan teman berdiskusi yang sesuai, hingga paham yang diam2 mulai membuatku tertarik ini hanya melayang-layang di benakku, tidak memiliki tempat untuk berlabuh.”
“di saat itu situasi makin buruk. Filsafat mulai membuatku tertekan. Aku mulai mempertanyakan eksistensi Tuhan, itu momen terendah dalam hidupku. Aku merasa tidak memilikiNya, bahwa Dia tidak peduli pada keberadaanku, dan bahkan aku bertanya-tanya apa Dia pernah peduli pada hambaNya. Dan bahkan suatu pertanyaan konyol mulai timbul tenggelam di benakku: apakah Dia ada?”
“Saat itu momen paling buruk dalam hidupku.” Ary menghela nafas.”aku setengah atheis. Atau bahkan sudah atheis. Aku shalat, aku membaca Al-Qur’an, tapi semua hanya ritual. Aku tidak tahu harus melakukan apa untuk Tuhan yang tidak kupercaya. Hingga aku berkali-kali berpikir untuk bunuh diri. Berpikir untuk menemuiNya langsung hingga semua keyakinanku kembali.”
Ary melanjutkan, lebih tenang.”Saat itu aku kehilangan semua pegangan. Kehilangan semua teman-temanku. Aku tenggelam dalam semacam depresi, buku diaryku masa itu kusebut Sadnessnest. Sebab memang hanya menampung catatan depresiku. Semakin lama, keadaan semakin tidak tertahankan. Sehingga aku memutuskan untuk tidak memikirkannya dan fokus pada pendidikanku.”
Ary tercenung.”saat itu seorang teman baikku datang. Dia menawariku sesuatu jamaah. Semacam aliran, yang berbeda dengan pengajian yang sempat kuikuti dulu. Aku tertarik, tapi hanya sebentar. Di aliran itu, kebanyakan pengikutnya memiliki perilaku yang buruk. Mereka senang menghina aliran lain bahkan mengkafirkan. Menyakiti sesama. Buat apa? Buat apa hidup dengan simbol-simbol agama belaka lalu menyakiti sesama manusia? Bukan seperti itu sikap seorang muslim yang baik, pikirku saat itu. Lalu aku hengkang dan tidak pernah sekalipun datang lagi.”
“kejadian sesaat itu membuat depresiku kian buruk. Aku kembali merasa Islam telah menjadi agama yang buruk. Tidak ada lagi orang-orang yang memegang kebenaran di dalamnya. Semua hanya bertengkar dengan sesama. Mempertanyakan hal-hal remeh dan meninggalkan substansi, semua membuatku nyaris kehilangan kepercayaan. Tidak ada ulama yang dapat dijadikan panutan. Semuanya hanya mencari keuntungan semata. Aku putus asa. Aku bahkan hampir menanggalkan jilbabku.”
Ary terdiam, agak lama.”Suatu hari, aku memutuskan mengunjungi pengajian yang telah lama kutinggalkan. Bukan dengan aliran itu, tapi dengan kelompok pengajianku sendiri. Aku hanya merasa lelah dan berharap bisa mendengar sesuatu. Aku tidak berharap atau berpikir apa-apa. Saat itu aku hanya duduk, diam. Hingga saat aku ditanyai tentang kabarku, aku mulai bercerita. Dan menangis.”
Mata Ary agak berkaca, lalu ia kembali tersenyum.”Saat itu Murabbiku memelukku, dan dengan lembut, dia menyuruhku untuk kembali menekuni semua amalan wajib dan sunnah yang telah lama kutinggalkan, dan meminta jawaban dari semua keraguanku pada Allah.”
“Tiba-tiba, semua terlihat mudah. Meski tertatih, aku kembali shalat wajib dan sunnah secara rutin. Aku bertanya banyak hal padaNya. Saat itu pertanyaanku sangat konyol. Aku berdoa seperti anak kecil yang meminta permen. Aku merengek memintaNya menjawab berbagai pertanyaanku. Aku memintaNya mempertahankan diriku agar tidak jatuh. Aku manja, mengemis, merengek, memaksa di hadapanNya.”
“Semua terasa mudah. Seketika itu juga. Aku mulai mampu melihat. Seolah-olah kemarin seseorang meletakkan sumbatan di telinga dan penutup di mataku. Aku mulai melihat banyak hal tentang hidup yang sebenarnya tidak kulihat. Tentang filsafat, sosialisme yang dulu pernah kupelajari. Bahkan aku mulai melihat dan mendengar banyak tentang islam, agama yang sebenarnya kuanut dari dulu tapi tak pernah kupahami.”
“Seolah terbangun dari tidur yang panjang. Pertanyaan tentang Siapa Aku? Dari mana aku berasal? Semuanya terjawab dengan sangat mudah. Setelah itu adalah hari-hari perjuangan. Aku tetap berjuang dengan shalat, membaca Al-Qur’an, shalat malam… dan di titik itulah: kehidupanku kembali.”
Ary tersenyum kembali.”Rasanya tidak percaya begitu mudahnya kehidupanku kembali. Semua masa-masa depresi seolah tidak pernah ada. Bahkan saat aku membaca diary Sadnessnest ku, aku merasa tidak percaya ada manusia yang mampu hidup dengan begitu banyak masalah, atau bahkan manusia itu ada. Padahal manusia itu ada di sini, tepat membaca buku harian itu.”
Sekarang aku masih belajar. Belajar kembali tentang agama, bermacam-macam jamaah, dan terutama, belajar hidup. Belajar tentang kehidupan dan manusia. Tapi semua kujalani tidak lagid engan perasaan tersiksa seperti dulu. Juga bukan lagi untuk mencari kebenaran. Sebab aku telah menemukannya. Aku ada di sini, memilih jalan ini. Bukan dipilihkan untukku, tapi aku memilihnya dengan kesadaranku, setelah aku mengetahui jalan lain. Meski jalan itu tetap jalan yang sama dengan yang kupilih pertama kali, tapi aku tidak menyesali waktu yang kuhabiskan untuk menemukan jalan itu. Karena dengan belajar, aku tidak lagi tenggelam. Aku menyelam. Aku belajar agar tetap menyelam. Mencari makna, hikmah, dan mutiara dalam hidup.”
Menyelam, tidak tenggelam.
Aku bahagia, jawab Ary saat tersenyum. "Di saat aku bisa melihat lagi dengan mata batinku, aku juga menyadari bahwa Dia tidak pernah meninggalkanku. Dia selalu menjagaku ketika aku mempelajari agama dan filsafat dulu. Dia sengaja tidak mempertemukanku dengan siapapun yang dapat kuajak berdiskusi, sebab Dia tidak ingin aku terperosok. Dia mengeluarkanku dari lubang kotoran sosialisme dan filsafat. Dia juga menunjukkan sisi buruk aliran itu sebelum aku terjatuh terlalu dalam. Dia selalu melindungiku, dan menolongku dalam keadaan sulit. Kupikir, Dia tidak ingin aku lemah, Dia ingin aku menjadi hambaNya yang tangguh. Karena itu Allah mendatangkan segala kesulitan ini untukku. Untuk membuatku kuat.”
"Satu lagi yang kupelajari adalah bahwa jalan menuju kebenaran itu berliku. Tapi memutuskan untuk menemukan kebenaran lebih sulit dari sekedar mencarinya. Ada banyak orang memutuskan untuk mencari kebenaran, tapi enggan untuk menemukannya. Menolak menggenggamnya saat kebenaran sudah di depan mata. Hanya terus mencarinya hingga hidupnya berakhir. Padahal kebenaran itu tepat di depannya. Betapa bodohnya. ”
“Aku memilih kebenaran, jalan ini dengan kesadaranku. Bukan karena ini satu-satunya jalan yang kuketahui atau jalan yang paling mudah kutempuh… aku memilihnya dengan kesadaran penuh, setelah terperangkap berkali-kali di jalan yang salah. “
lalu Ary mengulangi,”Menyelam, bukan tenggelam.”
###

Selamat buat Ary, yang tidak hanya berani mencari kebenaran, tapi juga berani menemukannya.

Rabu, 19 Agustus 2009

find the truth

Seringkali manusia bertanya tentang Tuhan
Tentang kebenaran
Tentang hidup
Tentang tujuan

Tapi sebernarnya,
berapa kali manusia telah melewatkan kesempatan untuk mengetahui hal-hal tersebut
dan mengingkari saat realitas telah terlukis jelas di hadapannya.

Lalu terus mencari kebenaran tanpa mau peduli bahwa kebenaran itu berada di depan.
Saat ditanya tentang agama, mereka berkelit bahwa agama itu hanya dogma. Dan mencari Tuhan tidak perlu agama.

Banyak pertanyaan
Banyak pernyataan
bahwa agama hanya penjara
hanya cangkang

Padahal kenal agama dengan baik saja belum
hanya tahu tentang ibadah dasar, tentang ketuhanan yang maha esa
tapi belum mengerti tentang substansi, hanya simbol yang dipergunakan
Bagaimana kau bisa bicara tentang agama semudah itu?

"Don't judge a book by its cover"
Mungkin lebih tepat menjadi
"Don't judge a religion by its follower"

Believe it!
Mungkin kamu sudah berada di jalan yang tepat
Hanya, kesombongan membuatmu menjauh dari kebenaran

Minggu, 16 Agustus 2009

Saat Mengingatnya

bukan hanya saat ini, jg bukan tiap saat kita berpikir tentang satu hal itu

Kematian...

menjelang Ramadhan kali ini, aku terkenang pada seorang teman...
aku ingat saat itu 2 hari sebelum tahun baru.
Jam menunjukkan pukul 8 malam,kami baru siap buka puasa bersama dengan teman2 lain
"De, pnjm bukunya. Insya Allah setelah tahun baru kubalikin."
Aku mengiyakan, berpikir bahwa kami akan kembali berjumpa seminggu setelah tahun baru.
Tapi buku itu tidak pernah kembali, juga dia.

Kabarnya ia sedang pergi bersama teman-temannya, di malam minggu. Motornya tertabrak truk, helmnya terlepas, kepalanya pecah.

Begitu sederhana, ia pergi.

Padahal saat itu usianya belum mencapai 18 tahun, baru kelas 2 SMA.
masih tertawa, mengejar banyak impian, menikmati hidup yang terlihat begitu sempurna

Toh itu semua tak mampu menahannya, ia tetap pergi

Well...
Kematiannya memukulku telak
mungkin karena ia satu-satunya teman yang lumayan dekat saat itu, yg meninggal dalam usia muda.
atau mungkin juga karena aku tidak pernah sebelumnya berpikir tentang kematian, masih baru saja menapaki hidup, dan realitas menamparku.

Dan hari ini, saat aku membuka blog Raditya Dika
tulisannya, "After The Funeral.." tulisannya mengingatkanku pada temanku itu, meski aku tdk pernah menghadiri pemakamannya.
He said,
"we're not invincible"

Not invincible
ya...kita dikalahkan, kita semua akan dikalahkan
oleh maut, oleh waktu, bahkan oleh diri kita sendiri.
kita bukan manusia super yang mampu melawan semua
kita tidak pernah menang secara sempurna

saat itu aku berpikir,
hidup memang bukan hanya sekedar berusaha untuk keabadian
atau berusaha untuk menikmatinya sepuas mungkin seolah hidup akan berlangsung selamanya
sama sekali bukan
Tapi hidup adalah perbuatan
waktu terbatas untuk melakukan sesuatu yang nyata, untuk dunia dan penyempurnaan pengabdian kepada Sang Pencipta
untuk menjadikan hidup yang limited ini menjadi unlimited dengan karya
hingga kelak ketika kita bertemu dengan kehidupan setelah ini, kita dapat menatapNya dengan kebahagiaan dan kebanggaan seorang hamba,

Dan kita, bisa tetap hidup melampaui kematian.
Mungkin kita dapat mengatakan, bahwa kita tidak dikalahkan oleh kematian.
Hidup setelah mati...
Life after life

Mungkin sebagai penutup, mari kita dengarkan sebuah quote dari Emma Bombeck,
"Saya ingin memanfaatkan semua potensi yang ada pada saya, semuanya. hingga kelak saat saya berjumpa dengan Tuhan, saya mampu mengatakan, "Tuhan, saya telah menggunakan semua yang kau berikan pada saya."

Rabu, 12 Agustus 2009

Bukan Seorang Penulis? Jangan Bersedih

Apa yang aku tau tentang menulis? Yah, sejujurnya belum tahu apa-apa.
apa aku penulis? yah, jawabannya juga belum tahu juga. padahal meski jelek gini aku sudah menulis di dua buku kompilasi,punya beberapa blog pribadi (yang diisi senin kamis), dan sering menulis di beberapa media lokal (dan dimuat),bahkan udah beberapa kali mengikuti lomba kepenulisan (dan menang). hmm...

Nah, tahu gak poin-poin apa yang ngebuat aku gak pernah pede memproklamirkan,"hoiiii! aku penulis lho!!!" lalu dijitak satu kampung karena aku teriak di mesjid saat orang lagi ramai shalat jumat dan dengar khutbah (sambil ngiler)

pertama, aku masih waras. belum nari2 di jalanan sambil pake selembar handuk.

kedua, meski aku udah nulis di dua buku kompilasi,..tapi masih jauh dari kesan seorang penulis yang sebenarnya.
kenapa? mungkin ada yang nanya (geer benar!)
yah, gini. tahu gak arti buku kompilasi apa? nah, buat yang belum tau, buku kompilasi means sebuah buku yang dikeroyok rame-rame sampe lecek oleh sejumlah kanibal yang kelaparan. No No! bukan itu, tapi mirip. biar mudah, contohnya nih: kamu pernah gak ke toko buku lalu ngeliat sebuah buku yang ada tulisan Mbah Surip, dkk di sampul? nah, it means a book that written by Mbah Surip, jono, urip, urap, dan orang-orang lain yang gak ada yang kenal namanya. atau lebih prestisius lagi, sebuah buku yang di depannya ada nama banyak orang, sampe udah kayak antrian BLT. ntar ada nama Nicholas, John Grisham, Mbah Urib, dll banyak banget sampe kamu gak tau apa judul buku itu; Pocong (yang juga ditulis di sampul), atau yang tadi itu judulnya? hemm...terakhir gak jadi beli karena takut tuh buku benar-benar ditulis pocong.hehehe... Nah, jadi gitu. aku udah 2 kali punya buku, tapi semuanya kompilasi. yang pertama karena menang lomba lalu ditipu hingga gak dapat hadiah, yang kedua karena memang sengaja ikut nulis bareng bersama teman-teman dari FLP Aceh (i love yoou full guys!). Bukannya minder atau apa karena kompilasi, tapi kesan menyedihkan memang terasa. numpang di balik nama pengarang terkenal yang mau nulis di tuh buku, atau nama keselip gak nampak di sampul, karena orang-orang yang belum terkenal keramean. (buat kawan-kawan FLP Aceh, aku gak mikir gitu kok sama kalian, aku bangga kita bisa nulis rame-rame. peace! *takut dijitak berjamaah:D)

yang kedua, eh tiga (biar gak nampak kebanyakan, hehehe), aku memang gak tau apa-apa tentang cara menulis, dst. pernah suatu kali diminta ngisi pelatihan kepenulisan. padahal pelatihan kecil (cuma 5 orang), tapi busyeet. malamnya aku udah keringatan dingin, trus sibuk browsing di internet cara menulis, mencari ide, membangkitkankan nyali, menguruskan tubuh (maaf, salah.itu bahan pribadi), dll. meski belakangan aku tahu, itu bukan alasan sih. Mbak Dee aja (Dewi Lestari Supernova, tau kan? yg gak tau, kemana aja lo?) yang udah nulis banyak buku populer yang best seller aja ngerasa masih bingung kalau orang bertanya tentang hal-hal teknis itu. menurutnya (di blog pribadi beliau nih), sebenarnya menulis itu menggunakan hati. asah hati itu, maka hal-hal teknis itu bukan masalah. yah, ini aku terjemahkan sendiri ya.tapi levelku dan mbak dee kan jauh banget, ntar dipikir ngaku-ngaku lagi.

yang keempat, kemanusiaan yang adil... maaf, (itu teks untuk ikut lomba 17-an ntar. mana salah lagi). ulang, next, yang buat aku ngerasa bukan penulis, hanya menulis, sebab aku memang moody banget dengan tulisan. sebenarnya buat cerpen serius yang panjang, opini yang panjang, itu melelahkan. aku sukanya buat tulisan yang pendek, kayak gini, atau puisi singkat. yang penting berkesan dibaca, gak ngebetein, gak buat muntah darah duluan... tapi masalahnya, jika kita ingin karya dimuat di media, tulisan yang ada ya harus serius. atau kalau gak serius, yang panjang-panjang. atau pendek-pendek tapi berhubungan. ya, pokoknya jadi 6 lembar, atau 200 halaman kalau mau buat buku. intinya, untuk ukuran aku yang moody banget dengan satu tema, itu syarat yang sangat berat. enakan gini, duduk, main2 ular tangga sama adik, then...wait... satu tulisan siap. gak susah, gak puyeng.dibaca menghibur, mau diliat bentar aja udah syukur.hehehe.

yang terakhir, mungkin ini alasan (alah, banyak alasan) yang paling utama. sekarang aku kuliah di Sastra UI...ya enggalah, ntar dijitak kawan-kawan seangkatan kalau boong gini. aku kuliah di Kedokteran Unsyiah, semester 5. So...aku memang dipersiapkan untuk jadi dokter, bukan penulis. catet ya! emaaang sih,mungkin aja dokter jadi penulis. kan banyak tuh dokter yang buka blog tentang info kesehatan.

Well...masalahnya aku, bahkan di blog pribadi sendiri pun gak pernah menulis tentang info kesehatan. soalnya emang gak begitu fokus kesana sih. lagipula kupikir blog yang seperti itu udah bejibun,mulai dari ditulis koass yang gak lulus2 (saking betahnya di rumah sakit) sampe dokter spesialis yang emang itu makan pagi, siang, dan makan malam, bahkan cemilannya. padahal, untuk ukuran mahasiswa kedokteran, aku gak jelek2 banget lho, meski kadang kalau ujian muntah darah dulu, trus kalau ditanya dosen sering gak bisa jawab daripada bisanya (yang salah tuh dosennya, masa tanya cara mutilasi mata sama mahasiswa semester 4! yg benar aja, harusnya tanya sama Ryan dong! maaf jadi emosi, pengalaman pribadi soalnya), dan udah nyoba nulis karya ilmiah, tapi tetap aja perasaan,"duh, mencit ini diapain ya? bw pulang aja deh, sayang kalau ntar mati diambil jantungnya." lalu jadilah satu lab bingung karena semua mencit pada raib.heheeh..jangankan karya ilmiah, penelitiannya aja gak selesai.

aku lebih suka nulis tentang hal-hal umum. yang penting berguna untuk orang lain. mungkin bukan cerita pengalaman pertama liat naked man pake sajadah kemana2 (shhalih banget), tapi hal-hal yang kurasakan, kupikirkan, dan aku tahu jika orang lain membacanya akan ada perasaan dalam hati mereka, "wow, rupanya aku gak sendiri. bukan cuma aku yg suka mules kalau liat kucing kawin." atau "yah, benar itu!" intinya sebuah tulisan yang ngebuat mata orang yang tadinya gak mau liat apa-apa jadi mau lihat, meski belum berbuat. atau sebuah tulisan yang bisa menyentuh hati orang yang patah karena sesuatu, atau sekedar protes, biar gak gila karena asik bicara sendiri, mending ditulis. kali aja dibaca sama pihak yang berkaitan.tapi tetap aja, yang gak nyambung sama dunia kedokterannya jauh lebih banyak dari yang nyambung. beda dengan dokter Ferdiriva Hamzah (Cado-cado, ada yang tau?) yang meski ngocol tapi nyambung banget sama dunia kedokteran, medis, dll.nah, jadi meski aku menulis, aku gak siap dengan profesinya (penulis!), sebab belum mampu mensinkronisasikan antara 2 kemungkinan profesi.

Intinya nih, untuk poin terakhir, aku prihatin banget, jadi mau nambahin. memang, banyak nih orang yang meski kuliah di kedokteran lulusnya malah gak jadi dokter, atau kerja di bidang yang sama sekali non medis. kalau yg gak jadi dokter tapi jadi relawan, peneliti, pemilik rumah sakit,..itu sih masih lumayan. tapi kalau yang lulus jadi ibu rumah tangga, supir taksi, pemilik warung makan "Dokter Punya", atau malah jadi pedagang asongan, ya sayang banget. sayang ilmunya, sayang kesempatan duduk di bangku fakultas kedokteran yang diimpikan oleh sejuta umat, tapi gak semua bisa dapat. sayang duitnya juga, kuliah di kedokteran mahal lho. belum buku-bukunya. istilahnya mubazir banget kalau tuh ilmu gak kepake.sayang jg yang udah pusing dan mencret darah selama 5 tahun, atau 9 tahun buat yang cinta kampus.intinya, it's your choice,mau jd apa keluar dari kampus..but please,sayangi dirimu. jangan buang 5 tahun itu begitu aja. kalau emang dari awal kamu ngerasa gak bakal cocok dengan profesi yang berkaitan sama medis,baik sbg praktisi atau akademisi, dont play in this zone! oleh karena itu juga sekarang aku mau mulai mengupgrade kemampuan menulis di bidang yang berbau medis. gak mau ntar jadi orang yang mubazirin hidup.jadi itu diperhatiin juga ya? dokter, S.Ked itu bukan sekedar status buat gaya-gayaan. biar keren, dianggap pinter, trus batu loncatan untuk cari jodoh.Nooo! sayang banget yang masih mikir kayak gitu.masih bagusan pikiran babon yang memang ngaku hidup untuk kawin dan makan. palingan dia gak habisin uang ortu.

back again

Jadi apa hikmahnya? ya, silakan dipikirkan sendiri. tulisan ini emang dibuat iseng-iseng aja. kali aja ada yang ngerasa dapat manfaat, Alhamdulillah. yang belum, silakan cari manfaat lagi. baca dulu 200 kali lagi. heheeh

Yang jelas nih, aku senang menulis dan berharap bisa jadi penulis (I'm not a writer yet!) yang dokter, atau dokter yang penulis suatu hari kelak.mungkin? Insya Allah dong.tapi untuk sekarang, I'm still a kid, yang bahkan belum dewasa. Seperti yang pernah dikatakan Imam Hasan Al-Banna (tau siapa? yg gak tau,sekali lagi:kemana aja loo???!), "Mimpi hari ini, kenyataan besok."
jadi teruslah bermimpi! (tapi jgn kelamaan molor!)


Sabtu, 08 Agustus 2009

Cinta? Pikirkan Lagi

Akhir-akhir ini banyak orang yang bicara cinta di sekelilingku. begitu indah, begitu mengagumkan, begitu memiliki keindahan.ada penghargaan, rasa sayang, kebersamaan, pernikahan disana.

maka, kali ini, tanpa bermaksd mematahkan semangat para pecinta, yang sangat kuapresiasi dengan kegigihannya memperjuangkan cinta, aku ingin berbagi sudut pandang yang berbeda


Hari ini, saat cinta menjadi topik utama, ada topik utama lain tentang tewasnya Noordin M. top yang belum terjawab; apakah ia pelaku atau korban?

Pada jam yang sama ketika lagu-lagu cinta berkumandang dari stasiun TV swasta, ada jutaan anak dilahirkan diluar nikah, lalu diaborsi, dibuang di panti asuhan, atau ke parit2,...juga atas nama cinta

Pada menit yang sama dengan engkau mulai memikirkan cinta, jutaan orang bergelimpangan di luar sana karena penyakit, perang, dan pembantaian massal.

Pada detik yang sama saat engkau membaca tulisan ini, jutaan orang yang sibuk dengan cinta menjadi korban atau suspek penyakit kelamin, HIV/AIDS, KTD (kehamilan tak diinginkan)

Jadi, bicarakan cinta. lalu lihat, cinta yang bagaimana yang engkau bicarakan?
Think it!