Sabtu, 31 Mei 2008

TUHAN DALAM LOGIKA HATI

Nitszche mengatakan dengan lantang, “Tuhan telah mati!” Tiga kata yang membuat kaum rohaniawan meraung marah, sedang kaum atheis menjerit senang karena merasakan dukungan kuat terhadap ‘iman’ mereka. Nisztche, bagi kalangan non-believe adalah imam. Yaitu manusia super yang mampu membunuh Tuhan. Begitu hebatnya dan agungnya sosok Nisztche di mata para pembenci tuhan.
Benarkah seperti itu? Faktanya, ‘filsuf ‘ pembunuh Tuhan ini dalam kesehariannya tidaklah tampil sebagai manusia super. Sebaliknya, yang ia lakukan hanyalah mengasingkan diri dan menutup dirinya dari sesama manusia. Satu-satunya teman bicaranya hanyalah anjing pudel kesayangannya. Ia menutupi kelemahan dirinya sendiri dengan penyangkalannya akan Tuhan.
Inilah fenomena dunia purba dengan wajah baru. Fenomena yang sudah ada dari abad awal kehidupan manusia, dan terus ada sepanjang zaman. Penolakan akan Tuhan.
Ditandai munculnya para orientalis, yang memperbincangkan Tuhan dengan nada sinis, membicarakan kebendaan Tuhan, dan menghubung-hubungkannya dengan berbagai konsep ilmu logika. Lalu para komunis yang menganggap kehadiran Tuhan hanya sebagai candu bagi kehidupan manusia, menghapuskan kata agama dari undang-undang dan menjadikan Tuhan sebagai hal yang tabu untuk disebut-sebut.
Sekarang, ijinkan penulis untuk membicarakan Tuhan. Yaitu Tuhan yang menggerakkan alam semesta. Terlepas dari apakah Ia adalah Allah, Yesus, Buddha, Yahwee, atau apalah panggilan yang dilekatkan manusia pada-Nya. Penulis ingin membicarakan tentang penolakan Tuhan oleh sebagian komunitas dunia. Baik lintas pendidikan, organisasi, hingga Negara. Juga mengenai kesalahan persepsi dalam memahami diri Tuhan. Sekedar sebagai bahan perenungan untuk kita semua.
Yang mengejutkan, fenomena penolakan ataupun kesalahpahaman terhadap Tuhan ini bukan saja dilakukan oleh orang-orang yang meneriakkan tentang ajaran komunisme dan atheisme dengan keras saja, tetapi—anehnya—juga dilakukan oleh orang-orang yang sudah memeluk agama tertentu. Bahkan dari umat Islam sendiri, penolakan terhadap Tuhan ini terkadang muncul ke permukaan.
Sebut saja nama Dawam, tokoh Muhammadiyah yang kemudian menobatkan dirinya sebagai pluralis sejati. Secara blak-blakan ia mengungkapkan kegamangannya terhadap eksistensi Tuhan. Baginya, Tuhan itu bisa ada, bisa tidak. Lain lagi dengan Gunawan Moehamad yang mengatakan, “Saya tidak suka Tuhan yang bengis.” Ayu Utami penulis novel “Saman” juga pernah mengatakan dalam suatu wawancaranya dengan radio Female Radio bahwa ia tidak terlalu peduli dengan urusan Tuhan.
Terlepas dari anggapan apapun manusia tentang Tuhan, benarkah manusia bisa menegakkan eksistensi dirinya sendiri? Benar-benar sendirian, tanpa dukungan dari kekuasaan luar biasa yang dipanggil Tuhan?
Jika kita pikirkan dan kita reka ulang. Berbagai fakta menunjukkan bahwa manusia tidak pernah bisa lepas dari Tuhan. Sebagai ilustrasi, seseorang yang terdampar di lautan luas dan terancam dalam badai besar akan reflek minta tolong. Padahal jika dipikirkan dengan logika, pada siapa ia ingin minta tolong? Lautan itu sangat luas, lagipula di tengah badai yang menderu suara lain sekeras apapun pasti akan ditenggelamkan oleh gemuruh badai. Pada siapa sebenarnya ia minta tolong?
Begitu juga dengan para ilmuwan yang cenderung sekuler dan atheis. Mereka mengharamkan kata ‘keajaiban’ di dalam laboratorium karena percaya tak ada yang namanya keajaiban. Mereka percaya semua peristiwa dapat dijelaskan dengan hukum Fisika. Namun kenapa ketika sesuatu yang tidak diketahui atau tidak terduga muncul dan meluluhlantakkan pesawat jet yang telah mereka rancang dengan sangat cermat, mereka dapat menyebut hal misterius faktor X; yang tak diketahui, tak terdefinisi (undefinition). Jika semua dapat dijelaskan dan diprediksi dengan fisika, apa penyebab lahirnya ‘sesuatu yang tidak diketahui’ itu?
Einstein, sebagai seorang ilmuwan fisika terkemuka, sebaliknya sangat menghormati Tuhan sebagai suatu kekuatan misterius di alam yang mengatur keseimbangan di alam. Ia menghormati keberadaan Tuhan sebagai suatu ‘energi’. Dan ia tidak membenci Tuhan atau menganggap Tuhan sebagai suatu benda. Ia punya pemahaman tersendiri tentang Tuhan. Ia mengakui bahwa Tuhan itu ada. Secara pribadi, Einstein adalah sedikit dari kalangan ilmuwan yang sangat bersemangat berbicara masalah teologi.
Semua orang punya pemahaman tersendiri tentang Tuhan. Baik diakui maupun tidak.
Inilah poin dari destruksi nilai ketuhanan pada manusia. Pemahaman mereka akan Tuhan. Pemahaman yang terbentuk dari ilmu, lalu formulasikan oleh lingkungan dan pengalaman. Sebahagian mengikuti petunjuk dari nurani, sebahagian lagi akhirnya tersesat.
Alangkah baiknya jika Tuhan tidak dipahami dengan logika, karena akal manusia yang dangkal dan picik tidak akan mampu memahami dan menafsirkan Tuhan sebagaimana Ia memahami diri-Nya sendiri.
Daripada mencoba merumuskan Tuhan hingga dapat diturunkan dalam sederetan rumus dan persamaan matematika, mengapa tidak mencoba untuk memahami Tuhan dengan hati saja? Memang Tuhan tidak mustahil dipahami dengan akal. Namun pemahaman Tuhan dengan hati menjadikan kerumitan masalah konsep ketuhanan menjadi lebih sederhana. Kesederhanaan yang sebenarnya lebih disukai manusia. Kesederhanaan yang membuat manusia sadar mengenai kebutuhannya akan kehadiran Tuhan.
Apa yang membuat manusia membutuhkan Tuhan? Tidak lain dan tidak bukan karena manusia menyadari, bahkan di bawah alam sadarnya, bahwa manusia adalah bakteri mikroskopis di tengah jagad raya, yang jauh lebih lemah dari bayi tikus sekalipun. Manusia menyadari dengan mata hatinya bahwa alam semesta yang bergerak dengan keteraturan yang sistematis ini tidaklah mungkin dilahirkan dengan kebetulan atau sebab akibat belaka.
Banyak orang dalam sejarah yang telah lebih dulu memahami Tuhan dengan hatinya dan memutuskan bahwa Tuhanlah yang terbaik. Chernenko, seorang pemimpin Uni Soviet yang berpaham komunis, misalnya. Mengakui pada saat sakitnya yang tak tersembuhkan bahwa hanya tuhanlah yang dapat menjadi sandaran dan harapan terakhir manusia.
Semua ungkapan ketidakpedulian pada Tuhan hanya lahir dari kepicikan akal manusia belaka. Namun pada akhirnya, sengaja atau tidak, manusia akan tetap berlabuh dan bersandar pada Tuhan, satu-satunya tempat dimana jiwa manusia dapat terlepas dari terkukungan dan bersih dari segala sampah logika yang memuakkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar