Senin, 02 Juni 2008

Reformasi telah mati!!!

Indonesia pasca reformasi adalah kesemrawutan. Dan NAD pasca penegakan syariat Islam adalah kebingungan dan masalah yang tiada habisnya. Kaitannya sangatlah erat. System yang lebih kecil ditopang oleh system yang lebih besar, dan kebaikan system yang kecil berawal dari system yang lebih besar. Demikian seterusnya.
Pemerintahan Indonesia pasca reformasi seolah tetap semrawut. Reformasi terbukti tidak banyak menghasilkan pembaharuan, malah sekilas terlihat reformasi hanya membabat sedikit daun yang jelek, sedangkan akarnya masih tinggal. Akibatnya? Hampir 9 tahun sejak reformasi digaungkan, tapi kemajuan bangsa Indonesia tetap jalan di tempat. Para intelektual tetap tidak dihargai, para penipu dan penjilat habis-habisan dijunjug tinggi, kemiskinan mengamuk dahsyat di kawasan urban, dan kezaliman memanjat peradaban. Sepakatlah para cendikiawan menyebutkan bahwa kejujuran, konsep moral, norma, dan entah apa lagi yang diajarkan dalam PMP dengan satu kata :absurd!
Saat-saat gneting ini, bermunculanlah banayk phak dengan menawarkan solusi. Mereka bertopeng aneka rupa; parpol (partai politik), LSM, ormas, lembaga training, dsb, dll. Mereka bermunculan bak katak di musim hujan. Sebagian tulus menawarkan visi memperbaiki bangsa. Sebagian lagi licik, bibinya dimiring-miringkan; lain di mulut lain di hati. Di mulut menawarkan konsep perbaikan bangsa, namun tangan kanan kirinya sibuk menangani dana mark-up proyek, menggerayangi kekayaan bangsa, dan menggerogoti kebudayaan warisan leluhur. Sebagian lagi tulus, tapi limbung di misi dan linglung di cara kerja. Sebagian lagi visi dan cara kerjanya rapi tekoordinasi, tapi tak ragu menggunakan cara-cara keji yang menjauhkan wajah simpatik masyarakt. Kesemua ini menambah kesemrawutan wajah baru Indonesia.
Apa kaitannya dengan kondisi NAD? Tentunya sangat erat. Sebuah Negara adalah sebuah konsep tentang kesatuan. Nasionalisme. Akar yang buruk akan melahirkan daun-daun yang buruk juga. Kekerdilan jiwa bangsa melahirkan kekerdilan jiwa secara nasional. Hal ini dapat dilihat pada interpretasi syari’at Islam itu sendiri: potong tangan, cambuk, rajam, dan berbagai hukuman yang berkesan sadis. Kerdil sekali bukan? Padahal konsep syari’at Islam itu sendiri adalah mengenai cakupan global. Menyeluruh menyelimuti semluruh aspek kehidupan masyarakat, dan semua bersumber ke satu kata: KEADILAN.
“Dan Allah menghukum dengan keadilan. Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah tiada dapat menghukum dengan sesuatu apa pun. Sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Al-Mu’min 40:20)

Itulah konsepnya, keadilan. Jadi bukan sekedar sadisme, pelanggaran HAM, atau apalah seperti yang ditudingkan para orientalis pada syari’at (baca: hukum Islam). Yang salah mendapat hukuman sesuai kesalahannya. Hukuman yang mampu menjerakan setiap pelaku tidnak kejahatan, hingga pada akhirnya menciptakan stabilitas masyarakat yang tentram dan damai. Jangan lupa juga bahwa syari’at tidak hanya menyangkut urusan pidana dan pakaian semata, namun juga mencakup hal-hal yang terkecil hingga yang paling besar. Mulai dari masalah bersuci sampai cara menjalankan suatu Negara. Demikianlah Allah mengatur segala urusan manusia.
Namun, system yang telah berakar ini tidak membuat kita dapat berpikir seluas dan sejauh itu. Sebaliknya malah telah melahirkan penyimpangan pada cara berpikir anak bangsa, hingga jauhnya kita dari makna keadilan, syari’at, kejujuran dan lain-lain. Atau kalaupun ada, sebatas kata. Sebatas wacana yang tersurat atau terkata. Tak ada kerja, tak ada implementasi nyata. Hingga lahirlah istilah NATO (No Action Talk only). Sehingga pendidikan hanya melahiorkan sejumlah pengkhutbah dan orator handal. Tapi lupa mencetak para pekerja kemanusiaan.
Yang kita butuhkan sekarang adalah sebuah perubahan lagi. Sebuah perubahan yang jauh lebih besar dari sekedar reformasi. Perubahan besar yang harus mencakupi segala aspek kehidupan. Bukan seperti evolusi yang berjalan lambat. Melainkan revolusi. Ya revolusi!
Mengapa harus takut dengan revolusi? Jangan menyangka revolusi sekedar sebagai ajang pertumpahan darah. Dimana militer dan rakyat balas menembak, rumah-rumah yang kosong diduduki, perekonomian colaps, dan gambaran mengerikan lainnya. Karena jika pikiran kita hanya sebatas itu, maka jadilah kita orang-orang yang kerdil. Kerdil jiwa, kerdil akal, dan kerdil tubuh. Yang harus dibayangkan adalah lebih jauh lagi, sebauh revolusi pemikiran besar, sebagaimana pemikiran kita direvolusi dulu oleh peradaban Barat. Sebuah revolusi kebudayaan besar, sebagaiman kebudayaan kita kini dijajah oleh globalisasi. Dan sebuah revolusi moral besar, sebagaiman dulu dan kini moral kita dijajah oleh iblis (baik dari golongan jin dan manusia).
Revolusi adalah sebuah tantangan besar. Sehingga hanya orang-orang berjiwa besar saja yang sanggup menjalankannya. Orang-orang berjiwa besr yang siap dengan kerja nyata. Bukan para pengkhutbah yang sembunyi pada saat bom Molotov meledak, melainkan para patriot moral, negara, dan agama yang setia di barisan terdepan. Karena memang revolusi butuh kerja. Daya dan upaya. Tenaga, senjata, dan semangat. Bukannya sekedar lidah dan mikrofon.
Siap dengan revolusi? Revolusi dululah pemikiran kita! Mulai dari diri sendiri, itu yang terbaik. Hingga nanti saat revolusi itu terjadi, yang banyak muncul bukan hanya atlet yang sanggup lari mundur beratus mil, melainkan pejuang tangguh yang siap mati demi moralitas dan kemajuan peradaban.

*Karya ini telah dimuat di rubrik opini Harian Aceh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar