Sabtu, 31 Mei 2008

DILEMA PEMIMPIN IDEAL

Sosok-sosok pemimpin besar dalam sejarah merupakan topik yang selalu menyenangkan untuk dibahas. Di Perancis, ada sosok seperti Napoleon Bonaparte yang merupakan tokoh abadi revolusi. Di Amerika Serikat sendiri, ada sosok-sosok yang begitu melegenda seperti Abraham Lincoln dan Kennedy, sehingga sebagian kisah hidup mereka seolah sudah menjadi semacam mitos. Tak jauh-jauh, di Indonesia ada sosok Soekarno yang merupakan singa mimbar terbesar sepanjang sejarah. Saking besarnya nama Soekarno sendiri, orang Indonesia di luar negeri dikenali dari kopiah yang dikenakannya, yang memang menjadi ciri khas Soekarno.
Nama-nama di atas memang hanya secuil kecil dari pemimpin-pemimpin besar dunia. Sebagian masih dianggap sangat kontroversial. Dipuja bagai malaikat di satu sisi, namun juga sekaligus dicaci bagai setan di sisi lainnya. Sebut saja Soekarno yang dipuja sebagai Bapak Proklamator namun dicaci karena poligaminya, juga seperti sosok Imam Besar Khomeini yang kontroversial dengan paham Syiahnya. Karena memang tak ada manusia yang sempurna.
Memilih pemimpin yang tepat seperti mereka memang sangatlah sulit. Apalagi dalam masa-masa sekarang. Di mana para politikus benar-benar tikus dan penjabat sukar dibedakan dengan penjahat. Pemimpin yang benar-benar memiliki jiwa pemimpin seolah telah ditenggelamkan. Rakyat kebingungan, akhirnya muncullah para pemimpin-pemimpjn yang berjiwa boneka.
Bagaimanakah pemimpin yang ideal itu sesungguhnya?
Pemimpin yang ideal bukanlah dilihat dari latar belakangnya. Bila kita mengatakan bahwa pemimpin yang berlatar belakang militer itu cenderung berdarah dingin (seperti Soeharto misalnya), maka dalam sejarah Turki kita akan temukan nama Mustafa Kemal Attarturk yang merupakan seorang pemimpin dan pahlawan Turki yang tanpa cacat cela (di luar paham sekularismenya). Pemimpin ideal juga bukan dilihat dari keadaan ekonominya, karena bukankah Ahmadinejad sendiri berasal dari keluarga yang sangat sederhana? Pemimpin yang ideal juga bukan dilihat dari tingkat pendidikan, ataupun dari silsilah keluarganya. Sama sekali bukan.
Pemimpin yang ideal itu ditandai dari satu hal saja: jiwa yang dimilikinya.
Ya, jiwa pemimpin. Itulah yang seharusnya dimiliki oleh seorang pemimpin. Bukan jiwa penguasa, diktator, apalagi jiwa budak. Sama sekali bukan. Melainkan jiwa pemimpin yang tegas, memiliki pendirian, merakyat, dan mampu menguasai keadaan. Ia tahu apa yang terbaik untuk rakyatnya, bukan apa yang terbaik untuk dirinya sendiri. Ia juga bisa memilah antara saran atau pemaksaan dari pihak asing. Dan ia tidak takut dengan kekuatan asing manapun yang berusaha mengancam kedaulatan rakyatnya.
Pemimpin yang ideal bukanlah pemimpin yang menyembah-nyembah Bank Dunia untuk minta pinjaman, lalu membebankan hutang tersebut pada setiap jengkal punggung rakyatnya yang bungkuk menahan beban kemiskinan. Ataupun pemimpin yang dapat tidur di istana megah dan pesiar ke luar negeri dengan pesawat pribadinya, sementara rakyatnya tidur beralaskan kardus bekas dan sesak dalam kemacetan. Sama sekali bukan.
Pemimpin yang ideal bukan diktator atau penguasa yang membebankan pajak tinggi hingga rakyat harus makan dari sisa-sisa beras. Ia juga bukan budak asing, yang ketakutan dan tunduk pada kekuasaan besar, bahkan sampai rela menghamburkan kas negara hingga mencapai milyaran demi menyambut kedatangan singkat seorang Presiden negara lain yang tidak sampai satu hari. Pemimpin ideal haruslah berani, tegas, dan berjiwa luhur. Ia mempersembahkan hidupnya untuk melayani rakyat.
Pemimpin adalah simbol dari suatu negara. Seperti itukah citra pemimpin, seperti itu jugalah citra negaranya. Tak percaya? Coba lihat, ketika dunia mencaci Amerika dila perang, maka sesungguhnya siapakah yang gila perang? Apakah tanahnya, penduduknya, ataukah tentaranya? Jika dikatakan penduduknya, jelas bukan, karena penduduk Amerika sendiri pun banyak yang menentang perang. Jika dikatakan tentaranya, belum tentu juga. Karena mereka hanya pekerja yang dibayar oleh negaranya. Jadi siapa sebenanya yang punya ide, dana, dan kesenangan untuk berperang? Pemimpinnya pastinya. Pemimpinlah yang sebenarnya disebut negara itu. Dan itulah sebab utamanya mengapa memilih pemimpin yang salah hanya akan menghancurkan negara itu sendiri pada akhirnya.
Tanggung jawab menjadi pemimpin memang sangatlah berat. Di dunia, ia harus benar-benar meletakkan dirinya sebagai pelindung dan pengayom seluruh rakyatnya. Umar ra. bahkan pernah mengatakan bahwa seekor kambing zakat di pinggir sungai Tigris pun menjadi tanggung jawabnya saat ia menjabat tampuk pemerintahan. Padahal itu hanyalah seekor kambing. Begitulah perumpamaan tanggung jawab yang di emban seorang pemimpin. Lalu mengapa kita masih ribut berusaha jadi pemimpin? Tidakkah kita takut dengan firman Allah berikut ini?

“(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya; dan barang siapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikit pun.
Dan barang siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (Al-Isra’ 17:71-72)

Jangan menjadi pemimpin, jika yang terbyang hanya penghormatan ataupun gaji. Apalgi jika menjadi pemimpin negara, uang terbayang hanya istana negara na megah berikut gaji dan segala fasilitas kepresidenan. Sebab bisa jadi bukan itu yang kita kita dapatkan, melainkan cacian rakyat sebelum dan sesudah mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar