“Saya berterima kasih…” kata kuntoro.
Terima kasih kembali, pak!
Menilik berita yang dimuat di harian Aceh, kamis 27 Desember. Penulis begitu terpesona dengan kepiaiwaian kuntoro dalam bersilat lidah, untuk membela dirinya sendiri.
Sekilas isi berita adalah upaya Kuntoro untuk menyatakan semua opini masyarakat tentang kinerja BRR adalah salah. Bahkan Kuntoro mengatakan bahwa rekontruksi Aceh berjalan lebih baik dari pada rekontruksi di Iran, India, dan Turki.
Sekilas, pernyataan ini benar-benar seolah tampak meyakinkan. Namun sayangnya Kuntoro melewatkan fakta bahwa Aceh menerima perhatian dari dunia internasional jauh lebih besar dari yang diterima oleh India, Iran, dan Turki. Bahkan pada tahun 2006, dua tahun pasca tsunami, dana yang mengucur ke Aceh telah mencapai US$ 5,8 milyar, yang terdiri dari pemerintah (US$ 2 milyar), LSM (US$ 1,6 milyar), dan Donor (US$ 2,2 milyar). Ini menunjukkan focus dunia yang sangat besar pada masalah Aceh. Bahkan sekjen PBB Kofi Annan sendiri mengemukakan dalam suatu pernyataannya saat berkunjung ke Aceh, bhwa ia sama sekali tidak menyangka kondisi Aceh ‘separah ini’.
Pada pernyataannya ini, Kuntoro sama sekali tidak berusaha mengklarifikasi berita-berita mengenai kegiatan foya-foya dan pemngahamburan dana dalam tubuh BRR yang justru memperkaya para pejabat dan orang dalam sendiri. Ini menimbulkan pertanyaan: mengapa? Atau pernyataan: jadi benar!
Lebih lanjut, pada paragraph ke-9, kuntoro menjelaskan bahwa ‘masih banyak kekurangan disana sini pada rekontruksi Aceh yang harus diperbaiki’. Pernyataan ini menunjukkan jurang yang sangat besar:masa tugas BRR akan selesai dalam satu tahun empat bulan lagi. Sedangkan ‘kekurangan’ yang disebut Kuntoro sangatlah banyak dan rumit. Mulai dari kekurangan 30 ribu unit rumah untuk dibangun, pendidikan, perbaikan prasarana umum, hingga ke masalah-masalah yang lebih spesifik seputar soal rumah bantuan yang tidak layak dihuni maupun kualitas sarana dan prasarana umum yang dipertanyakan .
Kekurangan yang disebut Kuntoro di atas bukan hanya terlihat saat ini saja. Bahkan saat BRR mulai bergerak di tahun pertama dan keduanya, aneka variasi kelalaian mulai bermunculan.
Pada tahun-tahun awal pasca tsunami, di tahun 2005, BRR memang telah menunjukkan berbagai keberhasilan telah dilakukan dalam rehab dan rekons Aceh, diantaranya; pembangunan fisik yang berupa jalan, jembatan, kegiatan ekonomi berskala kecil, pembangunan sarana dan prasarana, dll. Namun, Daya serap untuk tahun 2005 hanya sebesar 17,61% (US$ 775 juta dari US$ 4,4, milyar). Realisasi daya serap yang sangat minim ini membuktikan bahwa proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca setahun tsunami masih sangat minim dan lambat. Pada tahun kedua, berbagai rumor dan opini masyarakat mengenai kelambanan kerja BRR semakin mengalir deras. Seperti dalam penanganan kemiskinan. Faktanya, upaya perbaikan ekonomi masyarakat pada tahun 2006 dirasakan masih belum optimal. Indikasi ini dilihat dari masih tingginya angka kemiskinan (43,67%) atau 1.760.764 jiwa, pengangguran terbuka (46,88%) atau 1.255.388 jiwa. Langkah-langkah perbaikan ekonomi yang strategis, sistematis dan sinergis pun masih belum kelihatan. Hal ini juga dibuktikan dengan minimnya daya serap anggaran per November 2006 yang hanya sebesar 26,84%.
Dan di tahun ketiga pasca tsuami ini, kritikan kembali mengalir untuk BRR. Salah satunya disampaikan oleh Kepala Bappeda NAD, A.Rahman Lubispada satu sesi seminar dalam workshop tiga hari di Medan bertema "Tiga Tahun Tsunami: Dimana Kita Saat Ini," berakhir Minggu (21/10). Hadir Deputi Operasi BRR-NAD, Edi Purwanto.
Lubis mengatakan, selain pembangunan fisik yang masih belum jelas dan tidak tepat sasaran, pembangunan non fisik yang dilakukan BRR di NAD ternyata juga tidak kelihatan. Padahal dana yang dikeluarkan sudah cukup banyak, dan masa tugas BRR sendiri hanya tinggal satu tahun enam bulan lagi.
Seperti masalah kemiskinan yang belum teratasi, meski jumlah angka masyarakat miskin NAD diakuinya mengalami penurunan. Begitupun masalah jumlah angka pengangguran di provinsi itu.
Kemudian masalah ekonomi desa yang belum bangkit. Menurut Lubis, grafik laju pertumbuhan ekonomi NAD memang sudah positif, namun hal itu bukan dikarenakan bangkitnya sektor riil. Tetapi karena dana pemerintah dan dana donor yang begitu besar di NAD, dan prilaku masyarkatnya yang menjadi sangat konsumtif.
Untuk masalah pendidikan, lanjutnya, persoalan sebenarnya bukan pada masalah fasilitas . tetapi pada mutu dan distribusi pemanfaatan fasilitas yang belum merata. "Secara kualitas, guru yang layak mengajar di NAD jumlahnya kurang dari 50 persen. Dan itupun hanya terkonsentrasi di kota-kota," ujar Lubis.
Begitupun dengan pembangunan infrastruktur, lanjutnya, dari beberapa infrastruktur yang telah dibangun BRR, namun infrastruktur andalan untuk NAD, seperti pelabuhan utama, justru tidak ada.
Semua fakta diatas memicu kemarahan masyarakat semakin memuncak. Ini dapat dimaklumi, karena tindakan BRR juga semakin menunjukkan sikat heartless atau bisa disebut tidak punya hati. Para pejabat dan oknum-oknum yang terlibat di BRR hidup melimpah dengan bermanjakan fasilitas, melancong ke luar negeri, dan menggembungkan kantong mereka dengan gaji yang luar biasa besar.
Sebenarnya, yang harus Kuntoro lakukan bukanlah meminta dukungan eksternal. Bukan juga berkelit dan menganggap dirinya bersih. Hal paling bijaksana yang dapat dia lakukan adalah melihat ke dalam dirnya sendiri. Masih adakah secuil hati dalam dirinya untuk peduli pada nasib ribuan masyarakat Aceh yang tinggal di barak-barak pengungsian, pada orang miskin yang terlunta-lunta tanpa mata pencaharian, ataupun pada nasib Aceh sendiri yang belum pulih dari trauma pasca tsunami.
Terakhir, penulis ingin menyampaikan pesan untuk Kuntoro sendiri, ”Pak Kuntoro, jangan hanya berkata-kata. Jangan hanya juga bekerja untuk dirimu. Jika engkau masih punya sepotong hati, maka bekerjalah untuk nuranimu, untuk kemanusiaan! Jika tidak, percayalah bahwa Tuhan melihat!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar