Sabtu, 31 Mei 2008

Bukan Hanya Salah ‘Para Tikus’

Semua orang pasti mengenal nama Fir’aun. Raja Mesir congkak yang berakhir tragis di Laut Mati. Ia tenggelam di sana sewaktu mengejar Nabi Musa as. dan pengikutnya. Jasadnya lalu terlempar kembali ke daratan dan masih bisa dilihat oleh publik hingga kini.
Sejarah kesombongan Fir’aun dengan kesombongan luar biasa tinggi hingga berani memproklamirkan dirinya sebagai Tuhan, benar-benar sebuah kisah yang pernah terjadi dan mengandung sejuta ibrah untuk direnungkan. Sejarah itu sendiri tertulis di dalam kitab suci dan dibuktikan oleh penelitian ilmiah. Sehingga tak ada alasan untuk mengingkari kisah Fir’aun ini. Dan salah satu dimensi paling menarik dari kisah Fir’aun ini sendiri adalah mengenai kesombongannya. Ya, kesombongan yang begitu tinggi dan mampu membuat kepala Raja Mesir ini menggelembung sebesar dunia.
Kesombongan Fir’aun ini tidak terjadi dengan sendirinya. Ia berani sombong dan bersikap congkak tersebut tentu memiliki dasar. Katakanlah; mungkinkah ia berani bersikap seperti itu jika tidak satu orang pun yang mengukuhkan eksistensinya sebagai Tuhan?
Ya, di sinilah poin penting dari kesombongan Fir’aun. Dukungan dari orang-orang di sekitarnya sebagai pilar pengukuh kesombongannya. Orang-orang di sekitarnya menjilat dan menyembahnya sebagai Tuhan. Yakinlah, jikalau tidak seorang pun mengakui Fir’aun sebagai Tuhan, maka kesombongan Fir’aun tidak akan menggelembung sedekimian besarnya.
Semua renungan ini penulis dapatkan dari sebuah buku kecil berjudul “Bukan Hanya Salah Fir’aun”. Buku sarat hikmah ini seolah meneriakkan peringatan mengenai bencana hebat yang dapat ditimbulkan oleh kesalahan yang ditopang oleh dukungan oleh orang banyak.
Kaitan mengenai fenomena tragis nasib Fir’aun ini sangatlah erat dengan kehidupan rakyat Indonesia dan rakyat di Nanggroe ini. Rakyat yang terlalu penurut pada pemimpin dan bungkam telah kembali berdiri tegak bisu dalam peta pergerakan politik pasca reformasi. Rakyat kecil seolah menjelma kembali sebagai pion-pion belaka. Seandainya ada yang bergerak mengkritik penguasa pun, suaranya begitu lemah dan sayup-sayup hingga hanya sedikit yang mendengarnya.
Contohnya kecilnya bertebaran di sekitar kita. Dalam masalah biroraksi saja, kita masih lemah untuk mengkritik berbagai kecurangan yang jelas-jelas terjadi di depan mata dan mengundang kegeraman. Kita masih bisu saat dimintai ‘uang admisnistrasi’ yang tidak jelas ujung dan pangkalnya saat mengurus KTP atau dokumen-dokumen kependudukan lain. Kita masih menunduk dan mengangguk saat dimintai pungli yang memang jelas ilegal. Yang kita pikirkan hanyalah “Yah, daripada urusannya lama.” Kita ingin semua diperlancar, ingin diri kita tetap aman. Jadi kita bisu, kita hanya mengangguk, tanpa sadar bahwa diri kitalah yang sebenarnya telah menjadi pondasi pendukung sistem yang dzalim ini. Kitalah para supporter alias pendukung utama dari semua akar korupsi di kalangan birokrasi Nanggroe ini.
Diri kita mengumpat, memaki semua bentuk korupsi. Kita teriak “BERANTAS KKN!” tanpa menyadari bahwa kita sendirilah yang telah memupuk dan menyirami akar dari KKN itu. kita tidak berani menggeleng atau minta penjelasan dengan tegas saat dicurangi dalam birokrasi. Mengapa? Mengapa kita memilih diam di depan saat melihat kecurangan dan kebusukan itu terjadi lalu teriak di belakang? Begitu munafikkah rakyat negeri ini?
Jika kita memang benci melihat kemunafikan para pejabat, jika kita memang mengumpat para koruptor, jika kita setuju menjagal para pemimpin yang serakah; seharusnya yang kita lakukan terlebih dahulu adalah mengintrospeksi diri kita sendiri. Tanyakanlah pada diri kita sendiri, tentang berapa banyak dukungan yang telah kita berikan tanpa sadar atau justru dengan sangat sadar terhadap berbagai praktek menyimpang di tanah air.
Saat kita semua berhenti dari menyirami ‘akar’ itu, saat itu juga segala praktek menyimpang itu akan melemah. Namun, jika kita tetap memilih menjadi pribadi pengecut yang hanya tahu berteriak di belakang, maka jangan hanya salahkah penguasa dan kalangan elit di atas sana saat negeri ini benar-benar lumpuh. Meminjam kata-kata Aa Gym: Mulailah dari diri sendiri, mulailah dari hal yang kecil, mulailah sekarang juga.
Sekarang juga, berhentilah memberikan dukungan pada segala bentuk kedzaliman. Agar tragedi Fir’aun dan para pengikutnya tidak terulang lagi di sini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar