Minggu, 17 Oktober 2010

Tanpa Tedensi Apapun

Sudah lama saya ingin menulis tanpa tedensi apapun. Tanpa harapan mendapat jempol like this besar-besar dari orang-orang, tanpa berharap ada yang terinspirasi, tanpa berharap ada yang merasakan manfaat.

Tapi itu musykil, disini. Ya, muskil.

Kenapa? Sebab saya selalu mendiktekan bahwa tulisan saya di dunia maya, bagaimanapun buruknya adalah salah satu wujud keinginan saya berbagi manfaat dan hikmah,

Hanya saat ini, saya memilih untuk menulis tanpa tedensi?
Mengapa?
Sebab seringkali sebagaimana jiwa-jiwa lemah lainnya, yang terjebak dalam kealpaan dan kelemahan justru di titik terkuatnya, sebagaimana seonggok jiwa merasai kehampaan saat banyaknya lautan hikmah didapatnya. sebab mungkin karena ia merasa CUKUP, maka ia menjadi SOMBONG.

Saya telah memilih jalan keshalihan, tapi lalu terjebak pada makna keshalihan itu sendiri. SEbagaimana saya telah memilih jalan kebijaksanaan, dan terperangkap pada definisi, dari kebijaksanaan itu sendiri.

"karena kita masih berusaha mencintai hidup, keshalihan, dan detik yang diberikan maka berusahalah bersyukur dan memilih jalan kesyukuran dan kesabaran bagaimanapun sulitnya"

Ini sebagian dari yang saya yakini, tapi sekarang saya mendapat kesulitan untuk memahami bahkan kata-kata saya sendiri.

Ah, ada titik-titik saya merasa HARUS BANGKIT!!!
Karena tidak ada alasan burung sehat untuk mematahkan sayapnya, sebagaimana laut ganas menghentikan deburnya hanya karena seekor kepiting kelabu melintas. HArmonisasi itu dipertahankan untuk menjaga keseimbangan yang telah digariskan.

Maka setelah sekian lama menyangkal, saya memutuskan bahwa saya bukan lautan yang menggelora. Saya tetap manusia biasa dengan warna-warni celupanNya, dengan binar sapuanNya.

Karena saya bukan tipe orang yang bisa mengatakan, "Hibur aku", maka saya ganti dengan "Doakan aku," Maukah teman?

Terakhir kali terpuruk seperti ini, saya membaca Nietszhe dan memutuskan bahwa Tuhan lenyap. Kali ini, saya memutuskan untuk mencari lautan dan mencoba berbicara pada Tuhan, dan di titik ini saya merasa konyol! Apakah Tuhan ada di lautan?

Seharusnya saya mencarinya dekat anak yatim, seperti Nabi. Dan bicara padaNya dalam kondisi ternetral saya. Untuk apa shalat saya jika seperti itu? Saya menyesali pencarian lautan saya hari itu.

Saya pernah menonton sebuah film, "V for Vinette" (mungkin ejaannya salah), salah satu kuotasi yang selalu terngiang-ngiang bagi saya adalah, "Tuhan ada dalam hujan"

Tidak, bukan seperti itu. Apa jika panas maka Tuhan tiada?

Seperti hal bodoh yang saya lakukan, jika saya mencari pantai untuk menemukan Tuhan, apa berarti Tuhan ada di pinggir laut? Maka saya dalam pencarian sore hari itu, setelah gagal menemukan pantai yang sepi, saya berdiam diri di dekat serimbunan hutan bakau. Sebuah tambak yang dihiasi gubuk-gubuk yang ditinggalkan. Tidak ada orang, hanya air, bakau, dan angin laut yang berkeriut-keriut entah dari mana. Saya berdiam di situ dan menyadari:

Langitnya begitu tinggi.

Hingga saya berhenti di situ dan sadar maghrib hendak menepuk pundak, maka saya menarik nafas dan sadar,

Pencarian saya bukan TUHAN, pencarian saya adalah DIRI SAYA SENDIRI.
Yang ingin saya dengar bukan SUARA TUHAN, tapi SUARA HATI saya sendiri.

Sesederhana itu saya mengerti.
Hanya 20 menit untuk mengerti.
20 menit diricuhi angin dan gejolak alam
20 menit tanpa manusia lain di sana
20 menit tanpa berpikir, hanya melihat
20 menit mendengar suara hati

dan setelah 20 menit itu, saya bisa menarik nafas.

pulang

dan kini, mencoba menulis tanpa tedensi apapun

bahkan setelah hampir 5 tahun menulis, saya membuang EYD.

Lepas, bebas

2 komentar:

  1. Jadi lihat pantai tadi?

    hmm... aku juga suka menulis bebas saat di blog. Kalau sdang ingin diabaikan, aku menutup fasilitas komen.

    Well, aku ingin membaca tulisan si "penafi" Tuhan itu....

    BalasHapus
  2. tidak bunda
    pantai itu terlalu ramai
    jangankan mendengar suara hatiku, mendengar suara ombak saja aku luput

    si penafi tuhan itu lucu sekali bunda
    dia mengakhiri hidupnya dalam penderitaan dan kesepian
    dia tidak prnh bahagia bunda
    saat membaca buku itu, aku ingin sekali bs ada di depannya dan berkata,
    "Berbahagialah. Akuilah suara hatimu sendiri"
    Tapi sayangnya dy jg luput dari diriku bunda

    BalasHapus