Sabtu, 09 Oktober 2010

Pales dan Tuan Kelabu

Namanya Pales, tinggal di dekat Al-Aqsa.

Pales hanya seorang pemuda. Dengan rahang kukuh dan mata hitam. Pemuda seusianya biasanya masih menuntut ilmu, mengelola lapangan kerja, atau bahkan mengais rezeki mencari istri. Harusnya Pales juga seperti itu, tapi dia tidak menjalani hidup sesederhana itu. Entah kenapa. Mungkin karena lelah, mungkin juga karena perjuangan. Semua bermula saat Tuan Kelabu bertopi datar mengetuk pintu.

Pagi itu hening, suara ketukan pintu semakin tinggi hingga akhirnya pintu membuka. Dia Tuan Kelabu. Yang tampan, bermata dingin, dan memiliki senyum matahari di tengah musim salju.

Lalu sejak hari itu Tuan Kelabu, yang tidak lagi memiliki rumah dan terusir dari kampung halamannya karena kekejaman rasial, tinggal di rumah Pales. Dia menghuni kamar tamu. Kamar paling besar di rumah itu. Dia duduk di teras tiap pagi dan sore, menikmati seteguk kopi. Malamnya dia akan menyalakan lilin di kamarnya dan tidur setelah jauh malam, saat lilin telah habis.

Setelah 2 bulan Tuan Kelabu tinggal disana, ia meminta ijin menggunakan kamar Rafah, adik Pales. Alasannya kamar tamu telah terasa sempit dan tidak menyenangkan. Ia butuh kamar lain untuk menyimpan barang-barangnya. Ayah Pales, Yasser setuju. Dia menyuruh Rafah yang semula merengek untuk pindah ke kamar Pales. Untuk sesaat, suasana kembali damai.

Hingga Tuan Kelabu kembali meminta kamar Nablus, Jenin, dan terakhir kamar Ramallah. Dan ayah Pales selalu menyetujui. Hingga terakhir ia meminta kamar Pales, Pales menolaknya mentah-mentah. Hingga ayahnya meradang, dan menyuruh Pales menyingkir ke ruang tamu.

Pales bungkam, tak mengerti.Lelaki berhidung mancung dan beralis tebal itu telah menempati semua kamar di rumah ini!
Sorot mata ayah menjadikan Pales bungkam.
Mereka pun tidur bertumpuk di ruang tamu.
Hingga hari itu, Pales bangun dari tidurnya.
Dia melihat mimpi buruk.

Ayah berbaring dengan lidah menjulur, darah mengalir sepanjang alis hingga ke jenggotnya.
Ibu nyaris telanjang, tubuhnya teriris-iris hingga Pales hanya dapat melihat wajahnya yang berlumur warna merah.
Rafah, Ramallah, Jenin, dan Nablus sudah menghilang. Tapi Pales melihat potongan-potongan jari, kulit, dan rambut yang berserak. Lantai rumahnya menjadi merah berkilat.
Lalu Pales melihat Tuan Kelabu.
Ia menjerit nyaring dan melempar Tuan Kelabu dengan semua pajangan yang ada di meja. Lalu Pales lari.
Dia tidak ingat bagaimana ia bisa keluar dari rumahnya.

Pales lari ke rumah tetangganya. Mereka segera datang ke rumahnya. Berduyun-duyun dengan membawa segala macam senjata tajam. Saat mereka sampai, Tuan Kelabu sedang duduk di beranda rumah Pales, seperti biasa. Sambil menyeruput kopinya, dia menghadapi warga yang sedang marah. Saat dia membuka pintu, mempersilakan warga masuk, Pales terpana...
Ajaib! Ruang tamu telah bersih. Tidak ada darah, tidak ada potongan tubuh.
Pales membeku.
Hingga seseorang menepuk bahunya. Mengajaknya keluar.
Warga telah bernegosiasi dengan Tuan Kelabu, dan Pales diminta menyerahkan rumahnya dengan sukarela. Karena jika Pales tidak menyerahkan rumahnya, maka Tuan Kelabu akan merebut rumah-rumah yang lain.

Pales menatap orang-orang itu.
Tidakkah mereka mengerti bahwa Tuan Kelabu tidak akan pernah puas dengan satu rumah?
Ketika Pales meradang, ketua RT menengahi. Dia meminta Pales untuk berdamai dengan Tuan Kelabu, setidaknya agar Pales tetap bisa tinggal di rumahnya. Biarlah Tuan Kelabu mendapat semuanya, setidaknya engkau bisa tetap tinggal di rumahmu sendiri, meski hanya di halaman. Demikian Ketua RT membisiki Pales.

Pales meradang.
Maka ia lari, mencari keadilan.
Ditemuinya walikota, walikota tersentuh dengan omongannya, tapi lalu pergi setelah berbincang dengan Tuan Kelabu yang sering menyelip2kan sesuatu di kantong walikota.
Pales naik ke tingkat lebih tinggi, dia menemui gubernur. Tapi di depan pintu dia telah ditendang oleh ajudan.

Maka Pales nekat.
Dia berdiri di depan istana Presiden berhari2, hanya ditemani selembar karton besar. Hingga presiden yang malas dengan pemberitaan media akan ketidakacuhannya akan Pales mau menemuinya.
Hanya belum sempat Pales bicara, dilihatnya foto presiden bersama Tuan Kelabu. Berjabat tangan dengan mesra. Bahkan ada foto penyerahan cek dari Tuan Kelabu pada presiden.

Maka Pales diam.

Benar-benar diam. Dia tahu tidak ada keadilan lagi di muka bumi ini.
Hingga ia memutuskan mencari keadilan di langit.
Hanya karena hari pembalasan belum tiba, Pales memutuskan kembali ke rumahnya. Dia tidur dekat pagar. Dia menamai area pagar itu, Gaza.

5 komentar:

  1. seru membaca tulisan diatas

    BalasHapus
  2. @martha: terima kasih.tp yg aslinya jauh lbh seru

    BalasHapus
  3. wah.. serius? jadi penasaran... dimana bisa saya baca? (lagi males nyari2)

    BalasHapus
  4. makasih banyak ya dek... menuju lokasi dulu :D

    oh iya, blognya saya masukkan dalam link http://komunitas.detak-unsyiah.com boleh ga?

    BalasHapus
  5. boleh saja
    kenapa tidak?

    semoga sukses perjalanannya ke lokasi:D

    BalasHapus