Aku bukan orang yang gemar berpolitik.
Juga tidak pintar berpolitik.
Mengapa?
Yaah...mungkin karena aku memang orang yang apa adanya.
Bagiku, politik itu bagaikan jalan yang gelap dan berkelok-kelok.
Berbelit dan belibet.
Politik, memang bukan jalan yang menyenangkan. makanya, aku berat banget terjun di dunia kampus yang penuh perpolitikan. Gak kebayang bagaimana bisa melewati jalan itu. Aku menjalani hidup dengan sedikit-sedikit melangkah. Karena aku memang bukan orang yang cepat beradaptasi dengan perubahan, terutama dengan hal-hal yang asing dan tidak disukai.
Tapi, suatu hari suatu waktu, pandanganku ttng the real disturbance of the life: politics, sedikit berubah.
Di tengah tugas membedah dan meringkas buku "Manhaj Haraki", aku mendapat pencerahan, bahwa Rasulullah juga berpolitik!!!
Well... sebenarnya aku tahu Rasulullah juga berpolitik. Tapi tidak pernah benar-benar tahu. Cuma, "Rasulullah juga berpolitik lho!"
"O ya? Gitu ya?"
Selesai.
(tulisan ini tidak akan mereview buku "Manhaj Haraki", tapi melalui cara politik Rasulullah, aku mendapatkan satu hal dasar yang membedakan politik Rasul dengan politik Hitler)
Di buku bersampul hijau ini aku baru mulai memahami banyak. Salah satunya mungkin hal terpenting:
Politik Rasulullah tidak pada prinsip menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan.
Politik Rasulullah kadang menggunakan cara yang bertentangan dengan prinsip-prinsip politik.
Misalnya, lihat pada karakteristik ke-33 di fase 2,
Saat Abu Lahab menjanjikan perlindungan pada Rasulullah karena rasa kesukuannya yang mendadak meluap. Lalu dia menguji Rasul dengan pertanyaan,"Dimana tempat Abu Thalib?"
Rasulullah menjawab, "Dia (Abu Thalib) di neraka."
Lalu Abu Lahab membelakangi Rasul dan melepaskan semua perlindungannya pada Rasul dan kembali memusuhi Rasul.
Padahal jika melihat prinsip politik yang "ambil semua hal yang menguntungkan",jawaban Rasulullah sangat amat tidak menguntungkan posisinya. Beliau bisa saja berbohong, sebagai cara agar Abu Lahab tetap memberi perlindungan pada beliau. Tapi kenapa???
Inilah komitmen pada aqidah yang tidak bisa ditawar sama sekali. Inilah politik ala Rasul, dimana bukan kepentingan yang menjadi yang tertinggi, tapi RIDHA ALLAH yang menjadi yang tertinggi.
menarik bukan?
mari kita belajar politik sedikit demi sedikit. Tentunya bukan politik licik ala Tante Bush, Om Ariel Sharon, atau Kakek Hitler, tapi ala Rasulullah.
*ditulis dalam keadaan delirium dan tension headache
Tidak ada komentar:
Posting Komentar