Senin, 15 November 2010

Mengeja Rindu pada Pelangi

Memutuskan untuk melepas rindu pada selainNya adalah keniscayaan.

Mengapa?
Sebab rindu hanya berhak diperuntukkan bagi mereka yang berhak menerimanya. Bagi keluarga, orang-orang yang berdekatan sebagai kawan sejenis, orang-orang yang berhak menyentuh secara syariat.
Bukan untuk orang dari seberang laut, bukan untuk mereka rindu mengejawantah.
Dengan bahasa apa, rindu ini harus kuhapus?
Sederet, dua deret, lalu penyesalan menjelma.
Sebab rindu yang keliru.
Bahkan rindu pun bisa keliru!

Aku mengenal orang ini, jauh sebelum aku mengenal diriku secara utuh. Dia bagai pelangi, bagai hujan, bagai angin. Dia akan membagi kue kegembiraan bersamaku dan siap jika aku ingin membagi kue kesedihan. Dia selalu ada di ruang nyata dan mayaku. Siap mendengar, siap membalas semua keluh kesahku dengan bahasa menghibur. Sebab aku tidak ingin menumpahkan 'sampah' curhat kepada sahabat perempuanku.

Dia yang tidak bernama 11 huruf, dia yang tidak sebaya denganku, dia yang tidak pernah berkeluh kesah tentang kehadiranku. Hadirnya, saat itu dalam otak kecilku, bagai pelangi di waktu mentari kembali terik selepas badai menerjang.

Awalnya aku tidak berpikir ini salah. Toh tidak ada apapun yang terjadi, antara kami. Tidak ada kontak fisik, tidak ada waktu berdua-duaan, tidak ada kata-kata mesra. Tidak ada...
Hingga rindu hadir.
Ada kegembiraan melihat wajahnya, senyumnya, kebijaksanaan dan penerimaannya.
Ada resah jika sederet pesan tidak berbalas.
Ada ngilu jika dia hadir di tempat lain, bukan untukku.

Maka suatu hari, batinku berbisik senyap,
Cintakah ini?
Aku menggeleng, kuat. Tidak, cinta hanya setelah ijab kabul disahkan oleh saksi!
Tapi hatiku tetap bawel. Kalau bukan cinta, mengapa ada rindu?
Aku gagap. Sebab dia bagai matahari, bukankah kita selalu rindu matahari saat awan tebal menjelma kelabu? Bukan berarti kita mencintai matahari kan? Aku mencoba beretorika.
Benarkah? Aku hatimu. Aku tahu!

Aku gagap. Gagu.
Setelah itu hanya air, hanya kaca, hanya bening teramu sempurna dengan senyap.

Ya, apa namanya?
Apakah aku telah mengkhianati hatiku?

Laa taqrabu zinaa... Ayat itu tergiang-giang. Lembar Al-Israa', ayat ke 32.
Laa taqrabu katanya, JANGAN DEKATI! Sebab zina adalah menyangkut urusan farji, zina tubuh yang benar-benar haram.
Tapi perintahnya bahkan sudah dari jauh, dari JANGAN DEKATI!!!

Ah, hari ini hanya rindu. Hari ini hanya pesan. Hari ini hanya curahan hati.
Lalu besok?
Lusa?
Setahun berikutnya?
Aku belum berzina, tapi pintunya telah kuketuk.
Dengan komunikasi yang intens.
Dengan kedekatan hati.
Dengan curhat-curhat panjang.

Semuanya kuterjemahkan.
Hingga tanya menyergap seumpama laron menyerbu cahaya:
Adakah kebersamaan yang nyaris tidak pernah putus itu sesuai dengan keadaan? Dengan kebutuhan yang diperbolehkan syariat?
BENARkah itu?
Atau dalil tentang jarak, perbedaan, dan lain-lain hanya PEMBENARAN?

Aku meraba hatiku, dan sadar bahwa dia telah menjadi kehitaman. Nyaris tak kukenali lagi.
Aku luruh.

Maka jari-jemariku kembali menggantung. Terkadang menatap namanya di layar cahaya, lalu kembali menekan tombol.
Tidak, aku tidak akan menghubunginya.
Juga dalam tiap malam, saat benar-benar butuh teman bicara, aku akan menghampiri lembar-lembar putih.
Hmm... Sudah berapa lama aku meninggalkanmu?

Wajah dipaksa menunduk, saat wajah cahaya dengan senyumnya hadir, mengisi ruang pandang.

Bibir dipaksa beku, saat semua keinginan untuk berceloteh laksana pipit merindukan ladang menyeruak.

Langkah dipaksa menjauh, saat benar-benar ingin mendekat.

Sudah selesai?
Belum. Dan mungkin masih butuh lama untuk benar-benar usai.
Sebab masih rindu.
Menusuk hingga meredakan warna hujan. Menghilangkan gradasi warna.
Sebab hati masih berkicau tentang dosa. Sebab nafsu masih menginginkan hadirnya.
Sulit?
Sulit jika hanya berjuang sendiri. Sulit jika pemakluman-pemakluman nafsu masih diada-adakan. Sulit jika hanya bicara.

Satu hal yang menguatkan kesendirian ini, karena aku percaya, Yang Maha Penyayang masih disana. Masih ada selamanya disana. Untuk menjadi pegangan, saat kaki ini hampir saja tergelincir lumpur khilaf. Untuk menjadi kekuatan, untuk menjadi visi... Saat rindu teralih hanya untuk melihat diriNya kelak.

Aku masih percaya itu. Akan tetap percaya, Insya Allah...

*mengenang masa-masa sunyi, saat pernah nyaris kehilangan harapan padaNya. "Allah bersamaku, Allah melihatku, Allah menyaksikanku" (Sahal bin Abdullah Tasatturi)


1 komentar: