Spasi, ruang, jarak.
Mestinya, jika kita hidup di suatu tempat yang sama selama 20 tahun, kita kenal baik dengan segala elemen-elemen di tempat itu kan? Hingga bau tanah, struktur bebatuan, warna langit, dan orang-orang di sekelilingnya. Juga hal-hal indah seperti jenis belalang yang pindah dari satu pohon ke pohon lain, warna bunga kecil tak bernama yang bermekaran membentuk rumpun di pojok, hingga pak tua yang tiap hari lewat dengan sepeda ontelnya, menyenandungkan sekelebat salam.
Tapi, terkadang tidak selalu begitu. Juga tidak mesti begitu.
Seorang ayah hidup bersama anak perempuannya selama 20 tahun, dan dia kaget saat mendapati sebatang rokok dihisap oleh anak perempuannya itu.
Seorang ibu kaget saat mendapati keluarganya beku, sedang selama ini selalu hangat dan ceria.
Seorang kakak kaget saat mendapati adiknya mulai mengumpat.
Itu internal keluarga. Pernah kaget saat menyadari ilalang telah menguasai separuh perkarangan? Itu sisi yang lain. Atau kaget saat mendapati pohon mangga kesayangan telah dibeliti hama dan dicengkram benalu. Semua itu terjadi di area yang sangat dikenal, yang selalu dilewati, yang selalu diinjak tiap pagi. Atau bersama keluarga, yang telah hidup bersama puluhan tahun. Sehingga bahkan saat suara dengkur susul menyusul di malam hari, seorang ayah tahu yang mana suara dengkur istrinya, anaknya, bahkan saudaranya yang tinggal di rumah.
Tapi mendadak asing. Ada hal-hal baru yang terjadi begitu saja. Begitu disadari, hal-hal baru itu menjadikan semua berjarak.
Aku pernah menonton sebuah film. Sudah lama, hingga bahkan lupa judulnya. Film itu mengisahkan tentang sebuah keluarga yang menemukan sebuah mata air di bawah sebuah pohon tua. Mata air kecil itu, jika diminum dapat mengakibatkan hidup abadi. Keluarga itu tidak tahu dan meminumnya. Maka mulailah petualangan mereka dalam keabadian. Mereka harus berpindah-pindah tiap waktu tertentu, karena warga sekitar yang melihat mereka tidak sakit, menua, dan mati menganggap keluarga mereka penyihir. Mereka tidak mempan ditusuk, ditombak, ditembak, atau apapun. Tidak pernah sakit dan abadi.
Suatu hari, anak tertua keluarga itu berjumpa dengan seorang gadis, singkatnya, dia jatuh cinta pada gadis itu. Dan dia mengajak gadis itu meminum air keabadian. Agar mereka bersama selamanya, sebagaimana akhir utopia dongeng-dongeng sejenis.
And guess what?
Yah, akhirnya tidak penting.
Yang ingin kukatakan disini hanyalah, bahwa lelaki ini tidak merasa bahagia dengan keabadiannya. Dia menganggap keabadian itu adalah hukuman. Yang membuat begitu banyak hal hilang darinya. Dia merasa berjarak dengan kehidupan. Begitu banyak hal yang belum sempat dia amati tiba-tiba berlalu darinya.
Ya, itu dia. Karena keabadian.
Bagaimana dengan kita?
Seringkali, dengan waktu yang tersedia sehari 24 jam sehari, kita merasa semua tidak begitu berharga untuk dicermati. Ada target, ada ambisi, ada tujuan. Semua kesibukan itu sumpal menyumpal dalam 24 jam sehari, 7 hari dalam seminggu, dan 52 minggu dalam setahun. Semuanya sejalan dengan ambisi dan hasrat pencapaian kesuksesan dalam hidup.
Dan tebak?
Enam puluh tahun dari sekarang, kita akan berdiri dengan rambut yang mulai memutih, menatapi orang-orang yang telah tertinggalkan, rumah yang telah terbengkalai, saudara yang mulai asing. Semua yang dulu tidak diacuhkan karena mengejar target hidup, kini tidak lagi mengacuhkan kita.
Sibuk, tentu saja boleh. Mengejar target, terutama jika target itu syurga, tentu lebih boleh lagi. Tapi jangan hanya terbang. Cobalah juga berlari pelan. Atau terkadang berjalan. Cobalah melihat wajah orangtua kita yang kita lewati tiap pagi untuk sekedar menyapa sebelum berangkat kuliah atau kerja, mungkin beliau sakit. Cobalah bertanya kepada adik atau keponakan kita, bagaimana sekolahnya. Cobalah mengintip isi laci, mungkin ada banyak benda-benda yang miskin manfaat bagi kita, banyak bagi orang lain. Cobalah sekedar menyapa tetangga saat ia membuka pintu pagar. Cobalah untuk tidak sekedar mengisi kajian, tapi luangkan waktu untuk mendengar keluh kesah adik-adik pengajian.
Cobalah.Try, try, and try.
Teman yang duduk di sampingmu dalam bus. Siapa yang tahu apa yang dia pikirkan? Mungkin saat itu ia berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Tapi satu sapaan hangat, dan memberinya ‘pinjaman’ kehidupan yang benar-benar berharga.
Baca buku, tapi angkat juga wajahmu dari buku itu dan lihat keluar jendela. Bagaimana warna langit hari ini? Bunga apa yang tumbuh di luar sana? Coba lihat ke langit-langit kamar, mungkin ada inspirasi berselipan di rumah laba-laba itu.
Belajarlah melihat dan mendengar.
Belajar peka terhadap kehidupan.
Terutama, belajar lebih manusiawi.
Jangan biarkan begitu banyak spasi tercipta dalam hidupmu.