Rabu, 11 Februari 2009

BERPESTA DI PEMILU 2009 DENGAN BIJAK

Oleh: Ade Oktiviyari*

Jika berkunjung ke Darussalam dan melewati Simpang Mesra, akan tampak rangkaian spanduk dan poster calon legislatif dari berbagai partai di tingkat lokal dan nasional di sana. Semua tampil memukau dengan semboyan dan janji-janji masing-masing. Pemandangan ini bukan hanya satu-satunya di Banda Aceh. Bahkan seolah semua sudut jalan, baliho, bangunan, hingga tiang listrik tidak luput dari kampanye menjelang perayaan akbar demokrasi 2009 ini.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan kampanye seperti ini. Sepanjang tidak mengganggu ketertiban, tetap setia membayar pajak, dan tidak bertentangan dengan syariat Islam. Bahkan selebaran-selebaran dan poster kampanye ini dapat lebih ‘mewaspadakan’ masyarakat sekitar untuk tetap melek terhadap Pemilu 2009 hingga pesta demokrasi ini tidak terlewatkan begitu saja.
Hanya yang mulai perlu dijadikan catatan, ketika euforia pesta demokrasi ini mulai bergerak ke arah anarkis. Dimulai dari aksi peledakan, terror dan intimidasi terhadap sejumlah parpol, dan pembakaran atribut partai.
Sejumlah pena media mencatat sejumlah aksi kekerasan yang terjadi di Aceh menjelang Pemilu 2009, dan aksi ini terus meningkat dengan semakin dekatnya hari H. Misalnya saja aksi perusakan berupa penggranatan terhadap Kantor DPP Partai Aceh. Padahal letaknya persisnya disamping pintu gerbang POMDAM Iskandar Muda dan berjarak sekitar 300 meter dari Mapoltabes Banda Aceh.
Dilansir dari news.okezone.com, Sekretaris Jenderal Partai Rakyat Aceh (PRA) Thamren Ananda, mengatakan intimidasi yang diterima tak cuma penghilangan bendera partai, tetapi juga secara verbal terhadap kadernya dan warga. Mereka diintimidasi untuk tak memilih partai tertentu. Ancaman ini sering kali tak terungkap di media massa. Intimidasi dan kekerasan seperti itu mencederai demokrasi. Sedangkan menurut Raihan Iskandar, akibat intimidasi tersebut, warga sering berharap tidak ada pengurus partai yang datang ke rumahnya. Mereka takut dianggap simpatisan partai tertentu. Kalau ketahuan, berbahaya bagi diri dan keluarga mereka. Yang harus dilakukan masyarakat adalah melakukan perlawanan terhadap intimidasi dari kelompok tertentu tersebut. Sementara itu, Muhammad Ali menjelaskan, selain penghilangan bendera partai di beberapa lokasi di Bireuen, intimidasi juga diterima calon anggota legislatif dari Partai Demokrat. Mereka diminta tidak melakukan kampanye.
Teror yang terus terjadi juga dapat mengancam kelangsungan damai pasca penandatanganan Memorandum of Helsinki. Dua anggota Komisi Peralihan Aceh (KPA/mantan kombatan GAM) tewas dan seorang kritis setelah ditembak orang tak dikenal di kawasan Aceh Besar dan Kabupaten Bireuen, dalam sepekan terakhir.
Reaksi masyarakat terhadap meningkatnya teror di Aceh pra Pemilu beragam. Sebagian menuding ini adalah aksi sejumlah oknum yang kontra-perdamaian di Aceh, sebagian menuding hal ini disebabkan kurangnya kinerja aparat di Aceh., yang diakui oleh Kepala Polda Aceh, Irjen Pol Rismawan, yang menyatakan bahwa kepolisian Aceh saat ini kekurangan personil sebanyak 5000 orang. Dan sebagian menganggapnya sebagai upaya pihak-pihak yang tidak senang dengan keberlangsungan demokrasi di Aceh.
Menganggapi hal tersebut, tentunya banyak faktor yang mempengaruhinya. Artinya, penyebab meningkatnya aksi kekerasan di Aceh menjelang Pemilu 2009 ini memang tidak terpisahkan satu sama lain. Adanya sejumlah partai yang ‘childish’ hingga menggunakan berbagai cara yang justru mengotori proses perdamaian dan kehadiran sejumlah oknum yang gemar memancing di air keruh dapat ditengarai sebagai penyebabnya.
Masyarakat luas tidak perlu terpancing atas konflik yang terjadi selama ini, dan biarkan aparat keamanan melakukan fungsinya, memberikan pelayanan dan proteksi kepada masyarakat. Karena rasa aman juga bagian dari hak asasi yang harus dilindungi oleh negara. Kebijaksanaan rakyat untuk mengatakan, “TIDAK!” pada partai yang terbukti melakukan intimidasi secara eksplisit maupun implicit juga sangat penting sebagai bentuk kontrol sosial terhadap jalannya proses menuju Pemilu 2009 yang bersih. Kontrol sosial yang baik dari masyarakat akan memberikan satu pernyataan tegas bahwa kecurangan tidak akan membawa satu partai pun ke gedung DPRD. Ketua Panitia Pengawas Pemilu NAD Nyak Arief Fadillah Syah juga mengatakan bersaing secara adil adalah hal yang paling baik yang dilakukan parpol untuk menarik simpati massa. Partai dan pihak tertentu yang melakukan intimidasi untuk memenangkan satu golongan bisa mendapatkan hasil yang buruk, yaitu tidak dipilih rakyat. Jika rakyat telah bijak untuk tidak mengumbar rasa takut yang berlebihan dan tidak memilih partai-partai ‘culas’, maka aksi keculasan juga tidak akan bertahan lama di tanah Serambi Mekkah ini.

Anarkisme dan Masa Depan Syari’at Islam

Di sisi lain, hal yang sangat penting tapi kurang disorot adalah ancaman baru terhadap perkembangan penegakan syariat Islam di Aceh. Kita telah tahu bahwa perkembangan syariat Islam di Aceh mendapatkan sorotan yang serius dari masyarakat nasional bahkan ke mancanegara. Mulai dari suara optimis, skeptis, pesimis, bahkan memvonis. Tentunya merupakan sebuah ironi. Pasalnya, dengan pencitraan Aceh sebagai daerah syariat Islam, konsep tentang anarkisme yang sedang berkembang di Aceh pada akhirnya akan mengembangkan suatu paradigma bahwa syariat Islam mendidik pelaku aksi anarkis. Padahal seluruh elemen masyarakat seharusnya meyakinkan bahwa nilai-nilai Islam mendatangkan kecintaan akan perdamaian dan humanisme. Dan jika yang tampak malah sebaliknya, maka anggapan komunitas dunia tentang syariat Islam akan semakin buruk. Seolah membenarkan suara-suara sumbang tentang penegakan syariat Islam di Aceh. Sangat disayangkan bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar