Adakah dosen yang benar-benar sosok pahlawan di Indonesia ini?
sedang sebagian besar dari mereka hanya pemburu proyek. peraup keuntungan.
sedikit sekali yang memiliki idealisme sebagai pendidik. Sebagian malah perusak moral murid-muridnya.
Aku termasuk beruntung. karena saat idealismeku terasa tercabik sedikit demi sedikit--sebagian dimakan oleh dosen-dosen kanibal itu--aku berjumpa dengan dosen impianku.
namanya Nurdin Said.
Rasanya ia adalah semua hal menyangkut sosok dosen idealis.
Ia tidak peduli dengan buku teks. Yang dipedulikannya hanya kami.
Pikiran kami yang tertutup... yang diinginkannya hanya membuat pikiran kami terbuka. Open Minded!
Aku teringat Andrea Hirata yang mengisahkan guru inspirasinya: bu Muslimah.
Aku teringat Abdurrahman Faiz: Guru Matahari
Tanpa ia sadari, Ia yang berdiri di depan kelas dengan sepatu ketsnya yang terkadang mengundang gosip dan cekikikan dari genk penggosip sudut, telah menyalakan lilin di hati dan pikiran kami.
Guruku, matahariku...
Minggu, 15 Juni 2008
Selasa, 10 Juni 2008
Saat BAtu Tidak Enggan tuk berbicara
"Umat ini tidak akan pernah memiliki kemuliaan dan meraih kemenangan kecuali dengan Islam. Tanpa Islam tidak pernah ada kemenangan. Kita selamanya akan selalu berada dalam kemunduran sampai ada sekelompok orang dari umat ini yang siap menerima panji kepemmpinan yang berpegang teguh kepada Islam, baik sebagai aturan, prilaku, pergerakan, pengetahuan, maupun jihad. Inilah satu-satunya jalan. Pilih Allah atau binasa!"
Siapakah mujahid yang begitu garang dalam mengobarkan semangat dakwah dan jihad seperti itu?
Ialah sang syuhada. Syaikh Ahmad Yassin (semoga Allah merahmatinya).
Ijinkan saya bercerita sedikit tentang beliau. tidak ada mata yang tidak gerimis saat mengenangnya. Dengan fisiknya yang lemah, kakinya yang lumpuh, dan sebelah mata yang terancam kebutaan, Allah telah memilihnya. sebagai pejuang agamaNya.
Ia adalah masa lalu, masa kini, dan masa depan Palestina. Ialah sang mujahid yang menjadikan tiap batu dan debu di PAlestina dapat berbicara, dan menjadi kekuatan yang dapat melumat tiap tank dan peluru tentara Israel.
Syeikh Ahmad Yasin adalah penjelmaan sadar atas ayat Qs. 9;91-92. Kaum lemah seperti bayi, anak-anak, perempuan, para jompo terbebaskan dari kewajiban bertempur di jalan Allah. Tetapi mereka sama sekali tak terbebaskan dari ‘bertulus hati mencintai, menaati dan mengutamakan Allah dan Rasul-Nya serta berazam untuk membela-Nya kapan saja hal itu dimungkinkan. Adakah kejujuran yang melebihi kesedihan mereka yang datang menyerahkan jiwa raga ke jalan Allah tanpa mampu melengkapi diri dengan keperluan bertempur, lalu “…. Engkau (hanya dapat) mengatakan kepada mereka: ‘Aku tak mendapatkan (biaya membeli kendaraan untuk) mengangkut kalian. Mereka-pun berlalu dengan genangan air mata karena sangat berduka“ (Qs. 9:92).
‘Ia adalah nama generic’, tulis seseorang di sebuah situs internet. Saya setuju itu, karena memang sebelum dan sesudahnya akan tetap ada ikon-ikon kejujuran, pengorbanan dan harga diri yang terus hidup, bahkan sesudah roket-roket menghancurkan jasad mereka. Berpuluh tahun kematian enggan menjemputnya, sampai pada usia sesenja ini, ijabah atas kerinduan syahidnya terbukti. Ia bagaikan Umar bin Khattab yang di bulan wafatnya dan di saat tikaman melumpuhkannya berdoa, "Ya ALLAH, telah tua usiaku, semakin melemah tanagaku. Maka karuniakan daku syahid di Jalan-Mu dan jadikan syahid itu di negeri Nabi-Mu."
Rabu, 04 Juni 2008
Bangkit...MerDEKA!!!
Aku terkesan banget dengan renungan "Menghayati 100 tahun kebangkitan nasional" yang sekarang sering banget ditayangin di layar kaca. isinya sederhana, tapi punya "sesuatu". gak sekedar omong kosong para poliTIKUS.
Bangkit itu susah
Susah melihat orang lain susah
Senang melihat orang lain senang
Bangkit itu takut
Takut korupsi
Takut makan yang bukan haknya
Bangkit itu mencuri!
Mencuri perhatian dunia dengan prestasi!
Bangkit itu malu
Malu jadi benalu
Malu karena minta melulu
Bangkit itu tidak ada
Tidak ada kata menyerah
Tidak ada kata putus asa
Bangkit itu aku
Untuk Indonesiaku
Pantas aja bangsa kita gak bangkit2. Wong yang diomongin semuanya gak ada :)
Bangkit itu susah
Susah melihat orang lain susah
Senang melihat orang lain senang
Bangkit itu takut
Takut korupsi
Takut makan yang bukan haknya
Bangkit itu mencuri!
Mencuri perhatian dunia dengan prestasi!
Bangkit itu malu
Malu jadi benalu
Malu karena minta melulu
Bangkit itu tidak ada
Tidak ada kata menyerah
Tidak ada kata putus asa
Bangkit itu aku
Untuk Indonesiaku
Pantas aja bangsa kita gak bangkit2. Wong yang diomongin semuanya gak ada :)
Senin, 02 Juni 2008
Reformasi telah mati!!!
Indonesia pasca reformasi adalah kesemrawutan. Dan NAD pasca penegakan syariat Islam adalah kebingungan dan masalah yang tiada habisnya. Kaitannya sangatlah erat. System yang lebih kecil ditopang oleh system yang lebih besar, dan kebaikan system yang kecil berawal dari system yang lebih besar. Demikian seterusnya.
Pemerintahan Indonesia pasca reformasi seolah tetap semrawut. Reformasi terbukti tidak banyak menghasilkan pembaharuan, malah sekilas terlihat reformasi hanya membabat sedikit daun yang jelek, sedangkan akarnya masih tinggal. Akibatnya? Hampir 9 tahun sejak reformasi digaungkan, tapi kemajuan bangsa Indonesia tetap jalan di tempat. Para intelektual tetap tidak dihargai, para penipu dan penjilat habis-habisan dijunjug tinggi, kemiskinan mengamuk dahsyat di kawasan urban, dan kezaliman memanjat peradaban. Sepakatlah para cendikiawan menyebutkan bahwa kejujuran, konsep moral, norma, dan entah apa lagi yang diajarkan dalam PMP dengan satu kata :absurd!
Saat-saat gneting ini, bermunculanlah banayk phak dengan menawarkan solusi. Mereka bertopeng aneka rupa; parpol (partai politik), LSM, ormas, lembaga training, dsb, dll. Mereka bermunculan bak katak di musim hujan. Sebagian tulus menawarkan visi memperbaiki bangsa. Sebagian lagi licik, bibinya dimiring-miringkan; lain di mulut lain di hati. Di mulut menawarkan konsep perbaikan bangsa, namun tangan kanan kirinya sibuk menangani dana mark-up proyek, menggerayangi kekayaan bangsa, dan menggerogoti kebudayaan warisan leluhur. Sebagian lagi tulus, tapi limbung di misi dan linglung di cara kerja. Sebagian lagi visi dan cara kerjanya rapi tekoordinasi, tapi tak ragu menggunakan cara-cara keji yang menjauhkan wajah simpatik masyarakt. Kesemua ini menambah kesemrawutan wajah baru Indonesia.
Apa kaitannya dengan kondisi NAD? Tentunya sangat erat. Sebuah Negara adalah sebuah konsep tentang kesatuan. Nasionalisme. Akar yang buruk akan melahirkan daun-daun yang buruk juga. Kekerdilan jiwa bangsa melahirkan kekerdilan jiwa secara nasional. Hal ini dapat dilihat pada interpretasi syari’at Islam itu sendiri: potong tangan, cambuk, rajam, dan berbagai hukuman yang berkesan sadis. Kerdil sekali bukan? Padahal konsep syari’at Islam itu sendiri adalah mengenai cakupan global. Menyeluruh menyelimuti semluruh aspek kehidupan masyarakat, dan semua bersumber ke satu kata: KEADILAN.
“Dan Allah menghukum dengan keadilan. Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah tiada dapat menghukum dengan sesuatu apa pun. Sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Al-Mu’min 40:20)
Itulah konsepnya, keadilan. Jadi bukan sekedar sadisme, pelanggaran HAM, atau apalah seperti yang ditudingkan para orientalis pada syari’at (baca: hukum Islam). Yang salah mendapat hukuman sesuai kesalahannya. Hukuman yang mampu menjerakan setiap pelaku tidnak kejahatan, hingga pada akhirnya menciptakan stabilitas masyarakat yang tentram dan damai. Jangan lupa juga bahwa syari’at tidak hanya menyangkut urusan pidana dan pakaian semata, namun juga mencakup hal-hal yang terkecil hingga yang paling besar. Mulai dari masalah bersuci sampai cara menjalankan suatu Negara. Demikianlah Allah mengatur segala urusan manusia.
Namun, system yang telah berakar ini tidak membuat kita dapat berpikir seluas dan sejauh itu. Sebaliknya malah telah melahirkan penyimpangan pada cara berpikir anak bangsa, hingga jauhnya kita dari makna keadilan, syari’at, kejujuran dan lain-lain. Atau kalaupun ada, sebatas kata. Sebatas wacana yang tersurat atau terkata. Tak ada kerja, tak ada implementasi nyata. Hingga lahirlah istilah NATO (No Action Talk only). Sehingga pendidikan hanya melahiorkan sejumlah pengkhutbah dan orator handal. Tapi lupa mencetak para pekerja kemanusiaan.
Yang kita butuhkan sekarang adalah sebuah perubahan lagi. Sebuah perubahan yang jauh lebih besar dari sekedar reformasi. Perubahan besar yang harus mencakupi segala aspek kehidupan. Bukan seperti evolusi yang berjalan lambat. Melainkan revolusi. Ya revolusi!
Mengapa harus takut dengan revolusi? Jangan menyangka revolusi sekedar sebagai ajang pertumpahan darah. Dimana militer dan rakyat balas menembak, rumah-rumah yang kosong diduduki, perekonomian colaps, dan gambaran mengerikan lainnya. Karena jika pikiran kita hanya sebatas itu, maka jadilah kita orang-orang yang kerdil. Kerdil jiwa, kerdil akal, dan kerdil tubuh. Yang harus dibayangkan adalah lebih jauh lagi, sebauh revolusi pemikiran besar, sebagaimana pemikiran kita direvolusi dulu oleh peradaban Barat. Sebuah revolusi kebudayaan besar, sebagaiman kebudayaan kita kini dijajah oleh globalisasi. Dan sebuah revolusi moral besar, sebagaiman dulu dan kini moral kita dijajah oleh iblis (baik dari golongan jin dan manusia).
Revolusi adalah sebuah tantangan besar. Sehingga hanya orang-orang berjiwa besar saja yang sanggup menjalankannya. Orang-orang berjiwa besr yang siap dengan kerja nyata. Bukan para pengkhutbah yang sembunyi pada saat bom Molotov meledak, melainkan para patriot moral, negara, dan agama yang setia di barisan terdepan. Karena memang revolusi butuh kerja. Daya dan upaya. Tenaga, senjata, dan semangat. Bukannya sekedar lidah dan mikrofon.
Siap dengan revolusi? Revolusi dululah pemikiran kita! Mulai dari diri sendiri, itu yang terbaik. Hingga nanti saat revolusi itu terjadi, yang banyak muncul bukan hanya atlet yang sanggup lari mundur beratus mil, melainkan pejuang tangguh yang siap mati demi moralitas dan kemajuan peradaban.
*Karya ini telah dimuat di rubrik opini Harian Aceh
Pemerintahan Indonesia pasca reformasi seolah tetap semrawut. Reformasi terbukti tidak banyak menghasilkan pembaharuan, malah sekilas terlihat reformasi hanya membabat sedikit daun yang jelek, sedangkan akarnya masih tinggal. Akibatnya? Hampir 9 tahun sejak reformasi digaungkan, tapi kemajuan bangsa Indonesia tetap jalan di tempat. Para intelektual tetap tidak dihargai, para penipu dan penjilat habis-habisan dijunjug tinggi, kemiskinan mengamuk dahsyat di kawasan urban, dan kezaliman memanjat peradaban. Sepakatlah para cendikiawan menyebutkan bahwa kejujuran, konsep moral, norma, dan entah apa lagi yang diajarkan dalam PMP dengan satu kata :absurd!
Saat-saat gneting ini, bermunculanlah banayk phak dengan menawarkan solusi. Mereka bertopeng aneka rupa; parpol (partai politik), LSM, ormas, lembaga training, dsb, dll. Mereka bermunculan bak katak di musim hujan. Sebagian tulus menawarkan visi memperbaiki bangsa. Sebagian lagi licik, bibinya dimiring-miringkan; lain di mulut lain di hati. Di mulut menawarkan konsep perbaikan bangsa, namun tangan kanan kirinya sibuk menangani dana mark-up proyek, menggerayangi kekayaan bangsa, dan menggerogoti kebudayaan warisan leluhur. Sebagian lagi tulus, tapi limbung di misi dan linglung di cara kerja. Sebagian lagi visi dan cara kerjanya rapi tekoordinasi, tapi tak ragu menggunakan cara-cara keji yang menjauhkan wajah simpatik masyarakt. Kesemua ini menambah kesemrawutan wajah baru Indonesia.
Apa kaitannya dengan kondisi NAD? Tentunya sangat erat. Sebuah Negara adalah sebuah konsep tentang kesatuan. Nasionalisme. Akar yang buruk akan melahirkan daun-daun yang buruk juga. Kekerdilan jiwa bangsa melahirkan kekerdilan jiwa secara nasional. Hal ini dapat dilihat pada interpretasi syari’at Islam itu sendiri: potong tangan, cambuk, rajam, dan berbagai hukuman yang berkesan sadis. Kerdil sekali bukan? Padahal konsep syari’at Islam itu sendiri adalah mengenai cakupan global. Menyeluruh menyelimuti semluruh aspek kehidupan masyarakat, dan semua bersumber ke satu kata: KEADILAN.
“Dan Allah menghukum dengan keadilan. Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah tiada dapat menghukum dengan sesuatu apa pun. Sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Al-Mu’min 40:20)
Itulah konsepnya, keadilan. Jadi bukan sekedar sadisme, pelanggaran HAM, atau apalah seperti yang ditudingkan para orientalis pada syari’at (baca: hukum Islam). Yang salah mendapat hukuman sesuai kesalahannya. Hukuman yang mampu menjerakan setiap pelaku tidnak kejahatan, hingga pada akhirnya menciptakan stabilitas masyarakat yang tentram dan damai. Jangan lupa juga bahwa syari’at tidak hanya menyangkut urusan pidana dan pakaian semata, namun juga mencakup hal-hal yang terkecil hingga yang paling besar. Mulai dari masalah bersuci sampai cara menjalankan suatu Negara. Demikianlah Allah mengatur segala urusan manusia.
Namun, system yang telah berakar ini tidak membuat kita dapat berpikir seluas dan sejauh itu. Sebaliknya malah telah melahirkan penyimpangan pada cara berpikir anak bangsa, hingga jauhnya kita dari makna keadilan, syari’at, kejujuran dan lain-lain. Atau kalaupun ada, sebatas kata. Sebatas wacana yang tersurat atau terkata. Tak ada kerja, tak ada implementasi nyata. Hingga lahirlah istilah NATO (No Action Talk only). Sehingga pendidikan hanya melahiorkan sejumlah pengkhutbah dan orator handal. Tapi lupa mencetak para pekerja kemanusiaan.
Yang kita butuhkan sekarang adalah sebuah perubahan lagi. Sebuah perubahan yang jauh lebih besar dari sekedar reformasi. Perubahan besar yang harus mencakupi segala aspek kehidupan. Bukan seperti evolusi yang berjalan lambat. Melainkan revolusi. Ya revolusi!
Mengapa harus takut dengan revolusi? Jangan menyangka revolusi sekedar sebagai ajang pertumpahan darah. Dimana militer dan rakyat balas menembak, rumah-rumah yang kosong diduduki, perekonomian colaps, dan gambaran mengerikan lainnya. Karena jika pikiran kita hanya sebatas itu, maka jadilah kita orang-orang yang kerdil. Kerdil jiwa, kerdil akal, dan kerdil tubuh. Yang harus dibayangkan adalah lebih jauh lagi, sebauh revolusi pemikiran besar, sebagaimana pemikiran kita direvolusi dulu oleh peradaban Barat. Sebuah revolusi kebudayaan besar, sebagaiman kebudayaan kita kini dijajah oleh globalisasi. Dan sebuah revolusi moral besar, sebagaiman dulu dan kini moral kita dijajah oleh iblis (baik dari golongan jin dan manusia).
Revolusi adalah sebuah tantangan besar. Sehingga hanya orang-orang berjiwa besar saja yang sanggup menjalankannya. Orang-orang berjiwa besr yang siap dengan kerja nyata. Bukan para pengkhutbah yang sembunyi pada saat bom Molotov meledak, melainkan para patriot moral, negara, dan agama yang setia di barisan terdepan. Karena memang revolusi butuh kerja. Daya dan upaya. Tenaga, senjata, dan semangat. Bukannya sekedar lidah dan mikrofon.
Siap dengan revolusi? Revolusi dululah pemikiran kita! Mulai dari diri sendiri, itu yang terbaik. Hingga nanti saat revolusi itu terjadi, yang banyak muncul bukan hanya atlet yang sanggup lari mundur beratus mil, melainkan pejuang tangguh yang siap mati demi moralitas dan kemajuan peradaban.
*Karya ini telah dimuat di rubrik opini Harian Aceh
Langganan:
Postingan (Atom)