Aku sering merasa lelah saat mengerjakan sesuatu. Atau mengerjakan banyak hal, terutama yang berada di luar batas kemampuanku. Rasanya lelah dan ingin berhenti sejenak. tapi aku menguatkan diri dan berusaha terus melangkah dalam batas kemampuanku.
Namun, sesibuk apapun aku. Masih kusempatkan neuron-neuron di otakku untuk kerja rodi. Sedikit merenungkan tentang kehidupan dan hal-hal kecil yang terkadang terlewatkan. Karena disanalah hikmah terbentang, dan rahasia kehidupan tersingkap.
Saat aku menelusuri jalanan di tengah kesibukan, aku tersadar akan satu hal. Bahwa ternyata aku telah melewati jalanan yang sama, pada jam yang sama, pada hari yang sama,pada bulan yang sama,berjuta-juta kali dalam hidupku.
Semuanya masih sama. Musim, harum anginnya, bahkan cuacanya. Tetap di tempat yang telah kukenal dari kecil ini. Tidak pernah terasa berubah karena aku memang tidak pernah meninggalkannya. Hanya rasanya, Simpang Galon terasa lebih padat, bangunan di sekitar kompleks kampus Unsyiah bertambah banyak. Tapi selain itu, tidak banyak yang berubah. Mahasiswa tetap berjibun dengan dandanan yang heboh, jins dipadu kerudung yang dibelitkan ke leher plus sepatu hak tinggi, atau yang cowoknya dengan jins belel dan rokok terselip di mulut... smua tetap sama dari waktu aku memandangnya dengan seragam putih merah, biru, abu-abu hingga ke pakaian pelangi di saat kemahasiswaan sekarang.
Lalu, apa yang berubah?
Saat aku memikirkannya, rasanya banyak yang berubah. Pandangan mereka terhadapku, cara aku memandang para mahasiswa itu, bangunan-bangunan ini, semuanya berubah.
Dalam kepalaku, banyak paradigma, spekulasi yang terbentuk. Berupa hal yang sederhana hingga ke hal-hal rumit.
akulah yang berubah...
Sebenarnya ini hanyalah satu pemikiran yang sederhana. Semua manusia berubah. TIdak perlu Obama untuk membuat perubahan. Karena sebenarnya kita berubah. Tiap detik, tiap hari,... terus membuat perubahan dengan pilihan-pilihan dari diri kita.
Siapa manusia statis yang tidak pernah berubah?
Robot, atau android mungkin. Klaim bahwa "aku masih seperti yang dulu" hanya sebuah kepalsuan. Diakui atau tidak, disadari atau disangkali, setiap manusia berubah.
Change...
Dan aku bersyukur karena masih dapat menyadarinya, hingga detik ini.
Jumat, 23 Januari 2009
Senin, 19 Januari 2009
Bahagia di Negeri Mimpi
Aku punya masalah dengan rambut.
Entah mengapa, rambutku ini sering sekali rontok
Terkadang rontoknya hanya sehelai, terkadang dua helai, terkadang membentuk bola rambut yang cukup bersar untuk menghantam pin bowling.
Nah, percayakah Anda? Fakta terakhir aku menemukan bahwa kerontokan rambutku ini rupanya sangat berkaitan dengan hal yang lucu; mimpi.
Saat aku bermimpi buruk, rambut-rambutku akan lemas dan besoknya aku harus memunguti potongan rambut yang berserak di seprai. Tapi saat mimpiku baik, rambut cepakku akan berdiri tegak dan anggun hingga aku tidak perlu jel lagi.
Hingga suatu hari aku bermimipi,..
"Aku berdiri di suatu tempat yang sunyi, sesunyi Banda Aceh masa darurat militer pukul 12 malam, minus suara tembakan. Aku merasa sendiri, sangat sendiri. Lalu di kejauhan kulihat satu bayangan. Ah, suatu oase! Lalu saat mendekatinya, aku merasa takjub pada apa yang kulihat. Dan semakin lama semakin takjub.
Oh, rupanya oase ini seperti sebuah desa. Ada orang-orang berpakaian sederhana. batik dengan selendang menutupi kepala.Lalu mereka masuk ke surau-surau tiap suara adzan berkumandang. Saling menyapa dan bertutur sapa dengan ramah. Wajah mereka teduh, meski aku yakin bukan wajah malaikat. Tak ada kepulan asap rokok di warung-warung kopi yang kulewati. Dan tidak seperti lazimnya warung kopi di Aceh yang tak pernah sepi meski maghrib, warung disini sepi. Aku disana cukup lama, dan tak kudapati suara televisi. Aneh! padahal aku ingin menonton sinetron favoritku, yang dibintangi artis muda yang baru putus dengan pacarnya.
Lalu kuyakinkan diriku, ini mimpi.
Sebab aku tidak melihat adanya tanda-tanda adanya waktu. matahari tidak bergerak, dan aku tidak kelelahan, haus, dan lapar meski terus berdiri tanpa makan dan minum.
Hanya kebahagiaan di desa ini, membuatku tidak ingin beranjak.
Lama, aku disana.
Menyaksikan bocah-bocah keling menendang bola sepak, lalu memberi salam tiap ada orang lewat. Wajah mereka memancarkan kepolosan. Menyaksikan remaja-remaja menyusuri jalan dengan membawa kitab Hadits, lalu duduk di teras surau di depanku atau di pos kamling sebelah surau, lalu berbicara serius tanpa kepulan asap rokok. Menyaksikan orang-orang yang dipanggil Pak RT, Pak Lurah, Pak Camat tanpa embel-embel motor dan mobil berkilap. baju mereka sederhana, wajah bersih disiram air wudhu dan mereka setia duduk di shaf belakang jika telat pergi sembahyang. Aku juga menyaksikan ibu-ibu pulang dari pasar dengan langkah-langkah lebar, saling memberi nasihat kepada sesama. Tidak ada bisik-bisik gosip. Bahkan saat seorang ibu melangkah di depanku, kudengar dia berkata,
"Anak Pak Dahlan sakit, mari kita jenguk."
Lalu bergegas pergi.
Aku terpana, meski ingat, bukankah ini mimpi?
Sebab dalam kenyataan, tidak ada kedamaian sebegini rupa. Yang ada hanyalah anak-anak muda bermata merah, mengepulkan asap seperti obat nyamuk bakar di pos ronda. Atau bapak-bapak pejabat menendang-nendang jamaah di depannya, minta shaf di depan. Atau anak kecil yang sudah tahu istilah 'pacaran', 'ciuman', sebab TV yang mendidik mereka.
Semua ini bukan di negeriku.
Betapa aku ingin tetap di sini. Dalam mimpi yang demikian nyata dan indah. Aku ingin menjelajahi desa ini. Melihat kantor camat, yang pastinya tidak ada orang yang membayar jasa pelicin, tidak ada pegawai culas yang menggantungkan stempel seperti memegang tumpukan besi. Aku juga ingin melihat kantor polisi, mungkin disana untuk mengurus SIM tidak harus bayar 150ribu. Juga gedung sekolah dimana iramanya adalah keikhlasan guru, karena jasa mereka dihargai oleh pemerintah yang tahu cara menghargai orang.
Lalu, bagaimana dengan puskesmasnya? pasti pelayanan disana ramah. Tiap orang dilayani dengan sabar tanpa gerutuan. Atau, mungkin disini ada rumah sakit? Pasti tidak ada malpraktik disana. Orang yang punya Askeskin akan mendapatkan kecepatan pelayanan sama seperti orang yang datang dengan Mercy.
Aku jadi teringat, bukankah aku mahasiswa? Mungkin daripada berdemonstrasi yang tidak jelas, aku bisa belajar lebih banyak. Seperti disini. Aku bisa mengirimkan surat kepada Presiden, agar tayangan seperti sinetron dihentikan saja, sebab tidak ada manfaatnya. Hanya menjual mimpi. Aku bisa bergabung dalam aksi "Sehari Tanpa TV". karena kulihat di desa indah yang tidak punya TV ini masyarakatnya lebih baik. Tanpa TV, manusia bisa lebih survive dalam hidupnya, permikirannya...
Apakah disini ada pasangan hamil di luar nikah? Anak-anak jalanan? Korupsi? Aliran sesat? Kapak merah? Curanmor? Pelecehan di kendaraan umum? Pastinya tidak ada. Aku yakin, sebab tidak ada tayangan TV yang bisa memberi contoh buruk itu pada kepolosan penduduk negeri ini. Dan terutama, sebab tempat ini bukan negeriku.
Ya, aku bermimpi.
Saat aku ingin beranjak untuk berkeliling, siap menyaksikan negeri bahagia (bukan desa lagi), satu orang anak yang sedang bermain bola menghampiriku. AKu hampir tidak menyadari kehadirannya. Karena anak itu sangat kecil. Ia menepuk-nepuk tanganku dan berbicara dengan suara yang teramat halus, hingga aku harus menunduk untuk mendengarkan bisikannya.
"Kak, jangan pergi kemana-mana. Sebab tempat kakak bukan disini..."
entah kenapa, kakiku menjadi dingin. Dan wajah anak itu menjadi pucat, seperti di film-film horor. (maaf, tolong jangan ada yang menjerit dulu)
Maaf, apakah ada yang mendengar jeritan?
"AAAAA...!!!"
Negeri bahagia pun lenyap."
Saat aku membuka mataku, pandanganku kabur. Seolah aku telah tidur lama sekali. Dan saat kulihat bantal,...
Tidak ada sehelai rambutpun disana.
Inikah mimpi yang sangat bahagia? (meski endingnya menyeramkan).
Dan untuk menegaskan kebahagiaanku, hari ini aku tidak keluar rumah dan menghidupkan televisi.
Dan caraku ini benar, sebab ketika besok aku menghidupkan televisi, maka kasus mutilasi mayat dalam koper memberiku kenyataan:
Bahwa negeri bahagia itu, bukan disini, dan bukan sekarang.
Dan kenyataan, merontokkan rambutku lebih dari mimpi. Sebab mimpi rupanya dapat lebih baik dari tayangan TV. Dan sekarang, aku nyaris tidak punya rambut.
"Pak, bu, dek, matikan dulu TV Anda."
Entah mengapa, rambutku ini sering sekali rontok
Terkadang rontoknya hanya sehelai, terkadang dua helai, terkadang membentuk bola rambut yang cukup bersar untuk menghantam pin bowling.
Nah, percayakah Anda? Fakta terakhir aku menemukan bahwa kerontokan rambutku ini rupanya sangat berkaitan dengan hal yang lucu; mimpi.
Saat aku bermimpi buruk, rambut-rambutku akan lemas dan besoknya aku harus memunguti potongan rambut yang berserak di seprai. Tapi saat mimpiku baik, rambut cepakku akan berdiri tegak dan anggun hingga aku tidak perlu jel lagi.
Hingga suatu hari aku bermimipi,..
"Aku berdiri di suatu tempat yang sunyi, sesunyi Banda Aceh masa darurat militer pukul 12 malam, minus suara tembakan. Aku merasa sendiri, sangat sendiri. Lalu di kejauhan kulihat satu bayangan. Ah, suatu oase! Lalu saat mendekatinya, aku merasa takjub pada apa yang kulihat. Dan semakin lama semakin takjub.
Oh, rupanya oase ini seperti sebuah desa. Ada orang-orang berpakaian sederhana. batik dengan selendang menutupi kepala.Lalu mereka masuk ke surau-surau tiap suara adzan berkumandang. Saling menyapa dan bertutur sapa dengan ramah. Wajah mereka teduh, meski aku yakin bukan wajah malaikat. Tak ada kepulan asap rokok di warung-warung kopi yang kulewati. Dan tidak seperti lazimnya warung kopi di Aceh yang tak pernah sepi meski maghrib, warung disini sepi. Aku disana cukup lama, dan tak kudapati suara televisi. Aneh! padahal aku ingin menonton sinetron favoritku, yang dibintangi artis muda yang baru putus dengan pacarnya.
Lalu kuyakinkan diriku, ini mimpi.
Sebab aku tidak melihat adanya tanda-tanda adanya waktu. matahari tidak bergerak, dan aku tidak kelelahan, haus, dan lapar meski terus berdiri tanpa makan dan minum.
Hanya kebahagiaan di desa ini, membuatku tidak ingin beranjak.
Lama, aku disana.
Menyaksikan bocah-bocah keling menendang bola sepak, lalu memberi salam tiap ada orang lewat. Wajah mereka memancarkan kepolosan. Menyaksikan remaja-remaja menyusuri jalan dengan membawa kitab Hadits, lalu duduk di teras surau di depanku atau di pos kamling sebelah surau, lalu berbicara serius tanpa kepulan asap rokok. Menyaksikan orang-orang yang dipanggil Pak RT, Pak Lurah, Pak Camat tanpa embel-embel motor dan mobil berkilap. baju mereka sederhana, wajah bersih disiram air wudhu dan mereka setia duduk di shaf belakang jika telat pergi sembahyang. Aku juga menyaksikan ibu-ibu pulang dari pasar dengan langkah-langkah lebar, saling memberi nasihat kepada sesama. Tidak ada bisik-bisik gosip. Bahkan saat seorang ibu melangkah di depanku, kudengar dia berkata,
"Anak Pak Dahlan sakit, mari kita jenguk."
Lalu bergegas pergi.
Aku terpana, meski ingat, bukankah ini mimpi?
Sebab dalam kenyataan, tidak ada kedamaian sebegini rupa. Yang ada hanyalah anak-anak muda bermata merah, mengepulkan asap seperti obat nyamuk bakar di pos ronda. Atau bapak-bapak pejabat menendang-nendang jamaah di depannya, minta shaf di depan. Atau anak kecil yang sudah tahu istilah 'pacaran', 'ciuman', sebab TV yang mendidik mereka.
Semua ini bukan di negeriku.
Betapa aku ingin tetap di sini. Dalam mimpi yang demikian nyata dan indah. Aku ingin menjelajahi desa ini. Melihat kantor camat, yang pastinya tidak ada orang yang membayar jasa pelicin, tidak ada pegawai culas yang menggantungkan stempel seperti memegang tumpukan besi. Aku juga ingin melihat kantor polisi, mungkin disana untuk mengurus SIM tidak harus bayar 150ribu. Juga gedung sekolah dimana iramanya adalah keikhlasan guru, karena jasa mereka dihargai oleh pemerintah yang tahu cara menghargai orang.
Lalu, bagaimana dengan puskesmasnya? pasti pelayanan disana ramah. Tiap orang dilayani dengan sabar tanpa gerutuan. Atau, mungkin disini ada rumah sakit? Pasti tidak ada malpraktik disana. Orang yang punya Askeskin akan mendapatkan kecepatan pelayanan sama seperti orang yang datang dengan Mercy.
Aku jadi teringat, bukankah aku mahasiswa? Mungkin daripada berdemonstrasi yang tidak jelas, aku bisa belajar lebih banyak. Seperti disini. Aku bisa mengirimkan surat kepada Presiden, agar tayangan seperti sinetron dihentikan saja, sebab tidak ada manfaatnya. Hanya menjual mimpi. Aku bisa bergabung dalam aksi "Sehari Tanpa TV". karena kulihat di desa indah yang tidak punya TV ini masyarakatnya lebih baik. Tanpa TV, manusia bisa lebih survive dalam hidupnya, permikirannya...
Apakah disini ada pasangan hamil di luar nikah? Anak-anak jalanan? Korupsi? Aliran sesat? Kapak merah? Curanmor? Pelecehan di kendaraan umum? Pastinya tidak ada. Aku yakin, sebab tidak ada tayangan TV yang bisa memberi contoh buruk itu pada kepolosan penduduk negeri ini. Dan terutama, sebab tempat ini bukan negeriku.
Ya, aku bermimpi.
Saat aku ingin beranjak untuk berkeliling, siap menyaksikan negeri bahagia (bukan desa lagi), satu orang anak yang sedang bermain bola menghampiriku. AKu hampir tidak menyadari kehadirannya. Karena anak itu sangat kecil. Ia menepuk-nepuk tanganku dan berbicara dengan suara yang teramat halus, hingga aku harus menunduk untuk mendengarkan bisikannya.
"Kak, jangan pergi kemana-mana. Sebab tempat kakak bukan disini..."
entah kenapa, kakiku menjadi dingin. Dan wajah anak itu menjadi pucat, seperti di film-film horor. (maaf, tolong jangan ada yang menjerit dulu)
Maaf, apakah ada yang mendengar jeritan?
"AAAAA...!!!"
Negeri bahagia pun lenyap."
Saat aku membuka mataku, pandanganku kabur. Seolah aku telah tidur lama sekali. Dan saat kulihat bantal,...
Tidak ada sehelai rambutpun disana.
Inikah mimpi yang sangat bahagia? (meski endingnya menyeramkan).
Dan untuk menegaskan kebahagiaanku, hari ini aku tidak keluar rumah dan menghidupkan televisi.
Dan caraku ini benar, sebab ketika besok aku menghidupkan televisi, maka kasus mutilasi mayat dalam koper memberiku kenyataan:
Bahwa negeri bahagia itu, bukan disini, dan bukan sekarang.
Dan kenyataan, merontokkan rambutku lebih dari mimpi. Sebab mimpi rupanya dapat lebih baik dari tayangan TV. Dan sekarang, aku nyaris tidak punya rambut.
"Pak, bu, dek, matikan dulu TV Anda."
Langganan:
Postingan (Atom)