Minggu, 20 Desember 2009

Tentang Kesedihan dan Kehilangan

Saya telah dewasa

tiba-tiba saya melihat cermin dan tidak lagi menemui sosok anak usia 8 tahun yang sering tersenyum malu-malu dengan gigi jarang itu, melainkan sesosok manusia dengan wajah kusut dan kantung hitam di bawah mata

apa yang telah saya lakukan selama 20 tahun hidup ini? saya tak urung bertanya-tanya

sedikit, mungkin

sangat sedikit

betapa banyak kesempatan bagus untuk berbuat, untuk berprestasi, yang saya lewatkan begitu saja. begitu banyak peluang untuk menjadi manusia yang lebih saya campakkan begitu saja.

dan anehnya, di satu sisi saya melihat begitu banyak kebodohan yang saya lakukan. emosi yang diumbar tidak pada tempatnya, space untuk memikirkan dan melakukan hal-hal bodoh yang begitu lebar, dan bahkan manusia yang terlewatkan begitu saja.

Yah, meniru salah satu judul lagu, Yang Terlewatkan.

***

saya pernah pnya sahabat.

mungkin saya memakai kata pernah, ketimbang tanpa kata "pernah"

sebab saya ragu apakah kami masih bersahabat hingga kini. meski ketika saya bertemu dengan dia di suatu waktu, dengan latar belakang keriuhan, dan bertanya, "Kita masih bersahabat kan?"

Dia menjawab dengan senyum, "Yah, mungkin."

Jadi saya putuskan untuk tidak memaksa melabelkan bahwa kami sahabat lagi.

saya tercenung menatapnya.

Dia pernah menjadi sahabat terdekat saya. sangat dekat. dia mengenal tentang diri saya seperti membaca buku yang terbuka, dia masuk dalam kamar saya, yang dulunya adalah akses paling pribadi dalam hidup saya,. dia memiliki segala sesuatu tentang diri saya, dan dekat dengan keluarga saya.

apa lagi yang kurang?

tidak ada

kami satu pemikiran, satu visi, satu jalan. kami cocok seperti dua pasangan puzzle. saya menjadi puzzle di pojokan, dan dia yang di tengah dan menjadi pusat dari segalanya.

tapi semua tidak masalah.

lalu ada kekecewaan, kesibukan, orang-orang baru. semua berjalan. ada waktu, kebersamaan yang terlewatkan.�

hingga semuanya buyar, dan saya mencoba menghindar. kami telah menempuh satu jalan begitu lama, mengapa sekarang harus berpisah?

dan disinilah kami saat itu, menatap jalan-jalan yang bercabang di kanan, kiri, depan, gradien 1, 2, 3,... dan dia menatap ke suatu jalan,"Aku ke sini."

saya menatapnya, tidak yakin kali ini akan mengikutinya. saya selalu mengikutinya seumur hidup, tapi kali ini, aku tidak yakin."aku,... tidak ikut."

"Terserah." Lalu dia pergi.

Saya terdiam lama di persimpangan itu, hingga saya memilih jalan yang lain. dan memutuskan untuk menyerah.

mungkin kami masih bersahabat, hati saya berbisik.

mungkin kami akan berjumpa di persimpangan berikutnya.

tapi di persimpangan berikutnya dia tidak ada. dan terus, terus,,, dia tidak ada di persimpangan manapun.

Dan kini, saya hanya merasai sesak tiap mengingatnya. mungkin satu janji itu masih ada, dia masih mengingatnya hingga kini.

"Bersemangatlah! Janji ya, kita adalah teman di surga!"

dan bahkan dalam mimpi saya berharap dia masih mengingatnya. Hingga kami, bisa berjumpa di persimpangan berikutnya.meski bahkan saya tidak yakin bahwa jalan yang saya tempuh adalah yang terbaik. tapi setidaknya, kami bisa kembali memilih jalan bersama.

Mungkin...

*saat benar2 berpikir untuk menyerah

*gambar dari: http://images.quickblogcast.com/3/5/0/7/8/197822-187053/woods.jpg

Selasa, 15 Desember 2009

Ilham untuk Memilih

mungkin tidak,kita selalu benar?

mungkin tidak, kita selalu mendapatkan apapun yang kita inginkan?

dan mungkin tidak, kita selalu lurus selurus-lurusnya di jalanNya, dan tidak pernah sedikitpun menoleh pada kegelapan sekeliling?

untuk pertanyaan pertama, TIDAK MUNGKIN

pertanyaan kedua, saya ingin menjawab, juga TIDAK MUNGKIN

pertanyaan ketiga, saya tidak berani menjawab apapun, selain dengan kemungkinan2, sebab Allah menciptakan dua jalan; jalan fujur dan taqwa

dan manusia diberi ilham untuk memilih diantara dua jalan itu

Saya pernah memiliki,.. Katakanlah, seorang teman, yang sangat tidak perduli masalah agama. Baginya, agama hanya formalitas, pengisi kolom di KTP, dan cara agar dia dapat menjadi bagian dari masyarakat Aceh yang religius.

Dia hanya shalat saat orangtuanya mengomel, puasa Ramadhan saat di sekolah, karena memang tidak ada makanan, dan shalat Jumat saat ada yang mengajak.

hingga suatu hari dia berkata,"Aku ingin jadi manusia yang bisa memiliki sesuatu yang bisa kubawa ke akhirat."

Kami semua terdiam, takjub.

Dan apakah itu?

Dia yang terdiam, lalu menjawab pelan."Bermanfaat bagi orang lain."

Sigh,...

Berhakkah kita menghakimi?

moga Allah menaunginya dengan hidayah, hingga kelak ia kembali ke dalam Islam dengan kaffah.

Suatu saat nanti.

Amin...

Gambar dari: http://blogs.suntimes.com/scanners/light.jpg

Jumat, 11 Desember 2009

Postingan terpendek: BLUES

Entah kenapa, perasaanku akhir-akhir ini rada blues

kebanyakan dosa ya, sehingga sulit mengendalikan perasaan

Akhirnya, aku berharap Allah memberi kita cahayaNya, selalu