Minggu, 22 November 2009

terhubung dengannya

Terkadang, aku menatap langit, dan bertanya-tanya: sedang apa ia sekarang? Dimana ia berada sekarang? dan apa yang dilakukannya?

Aku ingin bertanya pada rumput: rumput, dapatkah kau mengabarkan pada angin salam kerinduanku padanya?

Rumput meliuk, mengerti dan berkabar dengan angin.

Aku menyapa burung merpati yang hinggap di atas genting rumahku: burung, dapatkah kau terbang ke tempat dimana ia berada? lihat apakah ia baik-baik saja.

Merpati itu terbang, memenuhi permintaanku.

Lama aku menunggu, hingga seekor kucing lewat: kucing, sejauh mana kau sanggup menggembara? tolong temani ia saat rasa sepi menyergapnya dan menjadikannya jatuh.

kucing itu berlalu dengan lenggang santai, menjawab pesanku.

Aku menunggu rumput, merpati, dan kucing itu kembali dengan pesanku. Lama, tapi mereka tidak kembali.

Ah... aku kecewa, putus asa. Rindu ini, kenapa tidak terbalas?

Hingga angin dan udara malam menerpa, tidak ada yang datang membalas salam rinduku. Aku kecewa, dan sangat terusik. Kemana mereka? Kenapa dia tidak menjawab? aku rindu... Rindu... Tidak adakah pembawa pesan yang lebih baik?

Telepon, SMS, itu semua tidak lebih baik dari menitipkan pesan pada alam. Sebab aku kehilangan rasa percaya pada benda-benda usang itu, terlalu lama...

Angin menerpa lebih kencang, lalu dalam kegelapan, aku melihat mereka: merpati, rumput, dan kucing.

Kalian! panggilku. apa jawaban dari salam-salamku?

Serentak, mereka bertiga menjawab, kami tidak sanggup menyampaikan pesanmu, kami tidak dapat mencapainya.

Kenapa? tanyaku putus asa.

kami tidak sanggup. Ia terlalu jauh.

lagi-lagi hening membuatku putus asa. Lalu apa yang harus kulakukan? aku hampir menjerit.

Sudahkah kau meminta pada TUHAN untuk mengirimkan pesanmu? tiba-tiba pohon yang sedari tadi diam berkata.

aku tercekat. Tuhan?

Mereka sudah berusaha tapi tidak mampu. semua SMS, telepon, maupun dirimu tidak dapat mencapainya.Jika Tuhan tidak bisa, maka siapa lagi yang bisa?

Aku terpana, Tuhan?

"Mintalah padaKu, niscaya akan kuperkenankan..." KalimatNya terngiang.

Aku menengadahkan tangan, seperti pengemis meminta pada dermawan, memohon agar aku dan dia terhubung, selalu, selamanya... Kali ini aku percaya salamku sampai, rinduku menyentuhnya, dan cintaku tidak hampa... Sebab Tuhan tidak mungkin salah.

Dan bahkan dalam mimpi, aku melihat satu hal: kami terhubung...

Alhamdulilllah...

Gambar dari: http://www.mentalhelp.net/images/root/connected1_id145844_jpg_.jpg

Senin, 16 November 2009

Seek for the Truth: No End

Sebenarnya, aku paling tidak suka menuliskan hal-hal yang pribadi di blog. kenapa? Yah, karena hal-hal pribadi tentang aku, tidak ada yang penting untuk orang ketahui.�
aku yang senang bertualang, tidak ingin didikte, mencari kebenaran dengan caraku sendiri... untuk apa orang lain tahu?�

tapi entahlah, yang jelas aku kali ini, ingin berbagi lagi tentang topik yang sama: kebenaran.

Sudah belasan kali aku menulis tentang kebenaran di blog ini:pencarian, orang-orang yang mencarinya, cara mencarinya, dll. tapi kali ini sedikit berbeda. aku ingin berbagi tentang pencarianku akan kebenaran itu sendiri. yah, cerita yang agak sensitif.

Oke, jadi aku adalah aku. waktu kecil aku adalah anak yang selalu duduk di depan TV, penasaran dengan dunia yang aku lihat. rasanya begitu banyak yang ingin kuketahui, begitu banyak yang belum kukenal. aku ingin bertanya, aku ingin tahu.�

sayangnya, orangtuaku sewaktu kecil bukan orangtua yang ramah. tidak punya cukup waktu dan serba sibuk. aku ingin bertanya, tapi mereka tidak punya waktu untuk mendengar. karena ada daftar panjang kebutuhan rumah tangga yang harus dipenuhi: makanan, uang susu, listrik, bensin, dll. jadi aku bungkam dan hanya sekali-kali mendengar jawaban dari pertanyaanku. satu sisi positifnya adalah aku jadi terbiasa untuk tidak menerima, tapi mencari.

Besar sedikit, saat aku sudah dapat membaca, aku mulai melalap buku-buku yang tersedia di rumah. sebagian isinya tidak kumengerti; junal kedokteran yang rumit, koran yang mengerikan dengan ilustrasi berdarah,.. ayahku hanya sekali-kali membelikanku buku,meski aku meminta berkali-kali. sehingga aku terpaksa mengulang-ngulang satu buku bergambar yang sangat cepat habis dibaca hingga buku baru dibeli. saat aku mengorek-ngorek buku koleksi ibuku saat aku benar-benar haus akan bacaan: aku menemukan satu majalah: Annida (Annida adalah majalah islami yang sarat dengan nilai-nilai sastra. isinya kebanyakan cerpen dibanding dng konten lainnya). saat itu aku tidak mengerti apa itu. aku hanya ingin membaca, dan aku suka cerita. maka aku membaca.

Dan rupanya Annida itu sangat menarik! aku jd keranjingan membaca Annida itu, setiap datang yang baru, berebut aku dan kakakku membaca. meski Annida itu bukan majalah bersegmen anak, tapi ibuku membiarkan saja. karena toh, tidak mungkin ada konten berbahaya yang dikandung majalah bercorak islam. apalagi saat itu Annida belum seterbuka sekarang. benar-benar membumi, nilai islamnya kuat dan murni.�

Nah, dari situlah aku tahu beberapa nilai dasar; tentang jilbab, haramnya pacaran... hal-hal dasar yang dikemudian hari menjadi sangat bermanfaat. dulunya, aku tidak tahu pacaran itu haram, di TV toh kita setiap saat disuguhi adegan pacaran, cinta, dll. tapi dari Annida, aku tahu sehingga stigma yang telah terbentuk dari kecil itu melekat dengan kuat hingga dewasa. akibatnya jelas, aku dan kakakku tidak pernah sekalipun pacaran maupun tertarik untuk pacaran.�

Demikian juga masalah jilbab, dari Annidalah kami tahu dan tertarik akan jilbab. sehingga saat kami mulai baligh, kami langsung memakai jilbab permanen dan tidak dilepas lagi sekalipun, bahkan sekedar untuk keluar perkarangan rumah.dari Annida juga kami tahu jilbab yang benar itu seperti apa, dll. sehingga saat kami memakai jilbab, kami langsung memakai jilbab jadi, meski tidak panjang tapi lebar menutup dada. plus baju kurung yang longgar dan rok panjang tanpa belahan. semua terjadi alami tanpa perintah ortu. bahkan ibuku tertarik mempelajari Islam lebih jauh setelah kami disiplin berjilbab.

Pengalaman masa kecilku itu menjadi pelajaran, rupanya untuk membentuk anak memahami nilai-nilai Islam, bukan dengan memerintahnya saat dia baligh.tapi tanamkan kepadanya hal-hal yang islami dari kecil, maka saat dewasa, hal itu akan menancap padanya dalam. Dan aku terkadang heran, orangtuaku minim dengan pengetahuan agama, tapi kami, keempat anaknya mempelajari agama dengan serius, menutup aurat. adik2ku, tidak ada yg merokok. meski kami masih jauh dari nilai-nilai muslim yang ideal, tapi aku terheran-heran; bagaimana bisa jadi seperti ini dengan pengetahuan orangtua yang minim terhadap agama?�

saat aku bertanya, ibuku menjawab dengan mata berlinang, "Doa"

"Saat itu mama sadar tidak punya apapun untuk membesarkan kalian menjadi anak shalih. bahkan mama tidak begitu paham agama, tidak pintar ngaji, dan tidak memakai jilbab. tapi mama punya doa dalam tahajud tiap malam. agar Allah menjaga kalian, dan menjadikan kalian anak yang shalih. tak putus-putusnya mama berdoa tiap malam dalam tahajud. tiap ada tetangga yang haji, pengetahuan agama bagus tapi anaknya pakai baju ketat, pacaran...mama berdoa agar anak mama jauh dari semua itu."

Aku menatapnya dengan mata kaca. bagaimana kita bisa begitu bodoh mengabaikan kekuatan doa?

Aku hidup dengan keyakinan itu: doa. ya, hanya doa. karena usaha, ikhtiar lumpuh dan sia2 saat tdk dibarengi dengan doa.�

saat aku beranjak dewasa, aku menyadari realita dengan hal-hal fiktif yang kubaca di Annida dulu menjadi begitu berbeda.

Makhluk yang berlabel akhwat dan ikhwan bisa saja mengumpat, berpacaran, menjalin hubungan jauh dari koridor syar'i tanpa rasa takut pada Allah.

Berpolitik secara culas di belakang, lalu melabeli orang-orang yang tidak sepikiran.

Membentuk komunitas eksklusif berlabel: pejuang dakwah, tapi malah menjadi benalu yang menggerogoti dakwah itu sendiri.

Hingga aku muak dengan tempatku berada. Saat itu kawanku mengajakku bergabung dengan jamaah lain, Hizbut Tahrir atau sering disingkat HTI (Hizbut Tahrir Indonesia).

"Beda de," kata Putri, temanku itu." Lebih konsisten terhadap Islam dan dakwah, lebih terhijab, lebih punya sikap. terutama untuk menegakkan harga diri umat melalui khilafah."

Aku manggut, lalu mencoba menempuh jalan lain. tetap di jalan dakwah. hanya mengganti pakaianku dengan jubah panjang yang saat itu kuyakini jilbab yang sebenarnya. Saat itu aku baru masuk kampus, dan di kampus yang kuat dengan nilai-nilai dari jamaah tarbiyah, keterlibatanku dengan HTI dianggap dosa. Suara-suara sumbang mulai kedengaran di sekitarku. tapi aku cuek, aku sedang mencari kebenaran, tidak hendak melakukan sesuatu yang salah.

Hanya, aku masih gamang tentang jalanku. di satu sisi, pergerakanku di dakwah kampus belum mundur, tapi aku mengikuti HTI meski lambat. rasanya seperti meletakkak 2 kaki di 2 jalan yang berbeda. seperti nasihat seorang kakakku,"Semua menuju tujuan yang sama, hanya kendaraan yang dipakainya berbeda."�

aku setuju, dan aku sadar aku tidak bisa naik 2 kendaraan yang berbeda dalam satu waktu. maka aku harus memilih. dan saat itu sesuatu datang dan mengacaukan pikiranku,

"Jangan memecah belah umat." Nasehat itu menusuk ringan.

Dan apa yang kulakukan sekarang termasuk memecah belah umat? Aku berpikir dan berusaha mencerna. Saat itu aku melihat begitu banyak golongan dalam Islam., saling menuding, mencurigai, mengklaim mesjid sebagai milik jamaah mereka,...untuk apa? aku setuju jika yang dilibas adalah golongan yang benar-benar telah mengingkari Al-Qur'an dan Hadits seperti Ahmadiyah. tapi mengapa harus bertengkar jika karena beda penafsiran? Bahkan para sahabat saat masa Nabi punya perbedaan dalam membaca Al-Qur'an dan masalah-masalah ibadah.

Saat itu aku hanya ingin keluar dari semua. aku tidak ingin memecah belah agama ini.

Aku kacau, halaqah jadi terasa tawar, amalan sunnah berantakan, yang wajib setengah hati. aku disorientasi!

Hingga aku berdoa pada Allah, doa yang sederhana saja. aku hanya minta Ia menunjukkan jalan. jalan mana saja, asal mendekatkanku padaNya.

Dan Allah menjawab doaku. perlahan-lahan aku kembali ke jamaah yang dulu. kembali ke dakwah di dunia kampus yang penuh dinamika. aku tdk punya masalah dengan HTi, aku respek dan mendukung perjuangan mereka menegakkan khilafah.,hanya aku mendukung mereka dari tempat yang berbeda.

Hingga saat lain datang, aku berkenalan dengan teman-teman dari Salafi, golongan sekuler, bahkan yang liberal (yang dulunya aku sangat antipati). Aku mengerti sedikit-sedikit tentang cara pandang mereka. berusaha bersikap toleran tanpa meninggalkan prinsipku. juga dengan orang yang berbeda agama. Lakum dinukum waliyadiin...�

Dari semua perjalanan ini, mungkin tidak semua bisa kuceritakan. tapi jika ada yang bertanya kepadaku tentang alasan aku memilih jalan dakwah ini , aku ingin menjawab, bahwa aku memilihnya dengan pencarian. aku tidak dicekoki, dipengaruhi, diajak, atau apapun. tapi aku mencarinya, mempelajarinya dengan teliti, dan juga mempelajari hal-hal lain tentang golongan-golongan lain. aku memilih, tidak sekedar menunggu untuk dipilih.

Dan masalah kecewa, aku berkali-kali dikecewakan di jalan yang aku pilih ini. tapi karena aku mengerti, dan bukan sekedar masuk, aku tidak menjadikan kekecewaan sebagai alasan untuk pergi, tapi untuk berbuat.

Apa aku berhenti?

Hei, tidak! aku masih mencari. Dan pencarianku akan kebenaran, akan selalu ada. selama hati ini masih dapat direndahkan hingga serendah-rendahnya.�

Satu nasehat untuk pencari kebenaran: rendah hatilah. sebab kebenaran tidak akan berlabuh di hati yang tinggi. dan yang terpenting, jangan lupakan DOA. sebab doa, adalah bukti kerendahhatian seorang hamba

"Ya Allah...dekatkan aku dengan orang-orang yang mendekatkan aku padaMu, dan jauhkan aku dengan orang-orang yang menjauhkan aku padaMU."

Gambar dari: http://www.panhala.net/Archive/seek%20patience.jpg

Jumat, 13 November 2009

setelah 20 tahun

Kata Raditya Dika orang-orangan, kalau mau ngeblog tulislah perasaan yang paling kuat yang kamu rasakan (dia dapat dari kata 'orang', jadi dikutip dari Raditya Dika dan orang-orangan).

sedang kata Ferdiriva Hamzah,"yang penting jadi diri sendiri aja, jangan jadi orang lain."

Menggabungkan dua nasihat bijak dari penulis cerita lucu ini, aku jadi ingin berbagi perasaan. sedikitnya, menulis untuk membagi perasaan itu sangat mententramkan. aku tidak suka curhat panjang lebar dengan orang, jadi ini jalanku untuk curhat.

simplenya, aku jatuh cinta

dan itu benar-benar simple, sehingga menjadi sesuatu yang memalukan untuk diceritakan pada orang lain, karena jatuh cinta itu simple, seperti nasehat-nasehat yang sering kita dengar dalam hidup, jangan bicara dalam ruang kuliah, jangan menikah dengan orang pendek, perhatikan kebutuhan gizi anak,hehehe...jadi bawa-bawa masalah kuliah.

yang jelas, cinta bagiku sederhana saja. jatuh cinta biasa,semuanya biasa. bukan jatuh cinta dengan orang yang biasa. sebab bagiku jatuh cinta itu frase. tidak perlu objek tambahan di depannya.

"Jatuh cinta dengan siapa?"

pasti itu kalimat yang akan keluar saat aku menceritakan hal ini pada seorang teman. dan aku ingin menjawab sambil tersenyum ringan.

"Tidak tahu."

Ya, aku jatuh cinta. tapi tidak tahu pada siapa. yang jelas, aku merasakan perasaan ini tanpa tahu objek yang mendapatkan cinta itu siapa. tapi aku menikmati tiap sensasi, saat jatuh cinta, tak perlu tahu siapa, dimana, bagaimana. cukup menikmati perasaan cinta dan semangat yang dibawa bersamanya.

aku jatuh cinta, pertama kali setelah 20 tahun!

tanpa tahu pada siapa:)

well.. mungkin inilah cara cinta yang horizontal itu bekerja. karena mencintai menjadi mudah dan sangat sederhana.

Rabu, 11 November 2009

Kerinduan Kecil

hal-hal yang sedang kurindukan sekarang, sederhananya adalah hal-hal yg tidak bisa kudapatkan. karena waktu mungkin, atau kesempatan, aktivitas, dan hal-hal lain yg benar-benar membuatku jauh.�

waktu kuanalisis, 5 hal yang paling kurindukan:

1.menginvasi perpustakaan di aceh. kadang dulu, waktu aku masih pelajar, atau mahasiswa yang hanya punya waktu untuk sekolah, di waktu senggang yang sangat banyak itu aku akan mendatangi perpustakaan yang kutahu. kdang iseng aja jalan, terus ketemu pustaka atau taman baca. lalu aku netap disana seharian. i addicted to book!!! sampai sekarang masih addicted, dan hanya di pustaka yg bisa membuatku PUAAAAAAAAAAAAS

2. menatapi kekosongan sesaat; laut, pohon, semut yg berbaris

3. mempelajari manusia; mengamati, mencatat

4. manjat pohon hingga pucuk tertinggi; ini sudah hilang lama,sejak aku berjilbab.bukan jilbabnya sih masalahnya, melainkan karena pohonnya udah g bisa dipanjat lagi.hehehe

5. bicara dengan orang yg gak dikenal di jalan-jalan; tukang parkir, pengemis,..belajar dari kehidupan sebenarnya


hal-hal sederhana, tapi begitu mahal sekarang. karena aku sibuk mengurusi begitu banyak hal untuk kepentingan orang banyak,meski agak kesepian,tp aku hanya ingin mengingat satu hal: semua ini untuk Allah, kesepianku juga.

Dan aku yakin, suatu saat segala hal yang kurindukan ini akan kudapatkan kembali. Insya Allah...


Selasa, 03 November 2009

Mencederai Hening

Mungkin aku bisa mencenderai hening. Sebab kini hening sudah tidak bersahabat lagi. Ia bukan lagi hening yang dulu, hening-ku. Kini ia ibarat belibis, terbang kesana kemari sesukanya. Aku mencoba mengerti hening, tapi ia tiada dari diriku. Lalu, kemana akan kucari sesosok hening yang sempurna?

Kucoba, dengan usaha keras untuk menerjemahkan bahasa hening. Aku menari, menarikan tarian yang sunyi, lagu yang meronta… semua demi hening. Hanya agar hatinya yang berpaling kembali padaku.

Mengapa begitu sulit?

Hingga cintaku begitu redam. Kucoba menjauhi hening, membersamai ramai. Tapi ramai tidak punya waktu banyak untukku. Ia sekedar singgah, tidak bercerita. Bahkan ia enggan membersamaiku dalam keseharian yang sedih. Ia hanya bersama saat kami berpesta ria. Saat kami tidak bosan-bosannya mengikuti warna dan permainan yang begitu beragam. Aku mencoba memahami ramai, sama seperti aku mencoba memahami hening yang tak acuh dulunya. Tapi ramai selalu saja tak henti-hentinya membuatku luka. Hanya luka yang terceracap dalam tiap waktu yang terabaikan oleh ramai.

Jadi, apa salahku saat aku ingin kembali mencintai hening? Menyaksikan embrio kami tumbuh besar, menjadi bayi yang siap merangkak, lalu anak yang terus berlari dan melompat. Itu impianku, dulu. Saat hening belum sedingin sekarang. Meski ada embrio kami yang telah menjadi sesosok bocah yang terus melompat, tapi itu dulu. Sekarang semua telah berlalu.

Ah, luka…

Aku mencoba introspeksi. Aku-kah dulunya yang mengkhianati hening? Mendadak, aku ingat waktu saat suasana yang begitu riuh membuatku hanyut. Ada begitu banyak mulut yang butuh telingaku, sosok yang butuh tanganku… hingga aku meninggalkan hening sendiri, hanya berteman sunyi.

Sunyi-kah yang membuat hening berpaling? Sebab sunyi selalu membersamai hening saat kutinggalkan. Permohonan hening agar aku berhenti dan menatapnya, sejenak saja, selalu kuabaikan. Tapi sunyi tidak, ia punya waktu yang berlimpah untuk hening. Mungkin ia akan duduk saja disana seharian dengan hening di sampingnya. Berdua menatap menembus jendela ke arah taman dengan rumputnya yang terbakar matahari. Hingga matahari terbenam dan adzan berkumandang dari surau yang jauh.

Aku tidak disana. Ya, aku tidak ada disana. Aku menjalin kedekatan dengan riuh, bertemu dengan ketidakacuhan, tertawa dengan sesak, dan main catur dengan sibuk. Maka apa salah hening jika ia lelah, dan menjauh dari diriku? Bukan hening yang meninggalkanku, tapi aku! Aku!

Pengkhianatanku pada hening, bagaimana bisa kuingkari?

Maafkan aku…

Kuharap suatu saat maaf itu tidak nihil. Kini, saat aku begitu kehilangan hening, dan ramai tidak bersahabat lagi, maka di titik ini, satu-satunya hal yang sangat kurindukan: mencandai hening lagi. Tidak untuk mencenderai dan membuat robekan yang menganga. Hanya berharap akan kehidupan baru yang bisa tercipta…

Dari hening dan aku.

Mungkin aku harus berjuang keras. Mencairkan hati hening, menikam sunyi, memalingkan wajah dari ramai. Tapi aku tidak gentar. Sebab aku cinta hening. Cinta yang begitu bening…

*catatan saat begitu merindukan keheningan. Ah, hiruk pikuk ini, mengapa begitu ramai?